Artikel

Aspek Etika Dalam Kewajiban Menuntut Ilmu

274 views
2 Komentar

 

Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan, waktunya adalah dari buaian ibu (bayi), sampai masuk liang kubur

(Hadist Rasulullah SAW)

Barang siapa mencari ilmu bertujuan untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang bodoh, atau mencari perhatian manusia, maka kelak dia berada di neraka

(HR Tirmidzi)

Tajuk tulisan di atas kelihatannya mengandung dua hal yang berbeda dan bahkan saling bertentangan. Satu pihak menyebutkan tentang kewajiban menuntut ilmu, namun di lain pihak tentang larangan yang menyertainya. Kedua hal itu memang tentang menuntut ilmu. Namun jika yang pertama berkenaan dengan proses menuntut ilmu, sementara yang kedua berkenaan tentang latar belakang tujuan untuk menuntut ilmu. Singkat kata, proses menuntut ilmu memang satu substansi yang berbeda dengan tujuan yang terkandung di dalam proses tersebut.

Proses yang baik memang harus diawali dengan niat yang tulus. Atau sebaliknya niat yang tulus harus diikuti dengan proses atau tindakan yang sungguh-sungguh. Niat dan tujuan yang tulus yang tidak diikuti dengan proses atau tindakan yang sunggih-sungguh, tidak akan menghasilkan apa-apa. Sebaliknya proses atau usaha yang sungguh-sungguh juga harus diawali dengan niat yang tulus. Tanpa diawali dengan niat yang tulus, maka proses atau usaha yang sungguh-sungguh itu bahkan hanya akan mengarahkan kita ke jalan neraka, sebagaimana larangan yang telah ditegaskan dalam Hadis Riwayat Tirmidzi tersebut, yakni: “Barang siapa mencari ilmu bertujuan untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang bodoh, atau mencari perhatian manusia, maka kelak dia berada di neraka”.

 Jadi, proses menuntut ilmu memang menjadi kewajiban umat Islam. Bahkan proses menuntut ilmu dapat dilakukan di mana pun juga, termasuk ke negeri Cina. Termasuk dalam pengertian ini adalah ilmu untuk kepentingan dunia saja atau untuk kepentingan akhirat, atau juga untuk kepentingan kedua-duanya. Namun harus kita ingat bahwa proses menuntut ilmu itu semua harus dilandasi oleh niat yang tulus hanya semata-mata untuk Allah SWT, bukan untuk membanggakan diri di hadapan ilmuwan lain, bukan pula untuk bahan berdebat dengan orang-orang bodoh yang kebetulan tidak atau belum menguasai ilmu itu, atau juga bukan untuk mencari perhatian manusia. Kalau proses menuntut ilmu itu dilatarbelakang oleh tujuan tersebut, maka Hadis Riwayat Tirmidzi memberikan larangan keras, karena tempat penuntut ilmu seperti itu, tidak ada tempat yang tepat baginya kecuali neraka. A’udzubillahimidzalik.

Terus terang, proses kegiatan menuntut ilmu memang menjadi kegiatan keseharian penulis. Sebagai dosen yang mengajar di perguruan tinggi, proses kegiatan menuntut ilmu, seperti menulia artikel ini yang diterbitkan oleh koran atau majalah, menulis buku untuk buku teks bagi mahasiswa, menyampaikan paparan dalam acara workshop, lokakarya, atau seminar, kegiatan penelitian, dan kegiatan-kegiatan lain yang erat kaitannya dengan menuntut ilmu. Beberapa buku yang telah berhasil ditulis dan diterbitkan dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada pembaca, khususnya guru dan calon guru. Tulisan-tulisan dan informasi tentang buku, dan kegiatan menuntut ilmu itu juga diunggah ke dalam media personal website (laman personal) di http://www.suparlan.com. Kontak dengan pembaca pun terjadi dengan sangat tebukanya. Ketika berdiri di depan hadirin dalam pelbagai acara tersebut, kadangkala terbesit dalam hati kecil ini untuk membanggakan diri, karena telah dapat memiliki websiste, meski website itu dibuatkan oleh anak sendiri. Kebanggaan yang manakah yang dilarang dalam Hadis tersebut? Bangga terhadap hasil karya yang telah diupayakan dengan penuh kesungguhan memang patut dimiliki. Namun kebanggagaan yang mengarah kepada kesombongan, seakan-akan semua itu hanya dapat dihasilkan oleh dirinya sendiri, janganlah terbetik dalam hati yang paling dalam ini. Inilah batas yang tidak boleh kita lalui. Sekali lagi, menuntut ilmu itu memang menjadi kewajiban bagi Umat Islam, tetapi dengan niat yang bukan karena Allah, dengan tujuan untuk menyombongkan diri adalah perbuatan yang dilarang-Nya.

Aspek Etika

Mengucapkan basmallah ketika memulai untuk menuntut ilmu merupakan aspek etika yang pertama sekali harus kita lakukan. Ucapan basmallah memiliki makna bahwa apa yang kita lakukan hanyalah semata-mata hanya karena Allah SWT. Jika dalam menuntut ilmu itu sejak awal telah dilandasi oleh tujuan yang tidak diridhoi oleh Allah SWT, dalam arti tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT, maka menuntut ilmu yang demikian itu sudah masuk dalam kategori membanggakan diri yang melebihi batas, karena seakan-akan ia telah menjadi Tuhan yang melebihi kekuasaan Allah SWT, Allah Yang Maha Mengetahui. Jika di dalam hati kecil sudah terdapat indikasi seperti itu, sudah sepatutnyalah kita harus kembali ke pangkal niat yang tulus dan suci hanya karena Allah SWT. Untuk inilah, maka ketika kita menulis sesuatu, seringkali kita perlu mengemukakan wallahu alam bishawab, karena hanya Allah jualah yang mengetahui semuanya. Pengetahuan kita tentang suatu ilmu hanyalah sebagian kecil saja dari pengetahuan Allah Yang Maha Mengetahui.

Etika yang lain dalam menuntut ilmu, tentu saja terkait dengan etika-etika keilmuan yang disepakati oleh para ilmuwan. Sebagai contoh, dalam menulis, kita dilarang menjiplak tulisan orang lain, tanpa menyebutkan sumbernya. Dalam hal etika ini, semua profesi memiliki kode etik masing-masing. Ada kode etik guru, kode etik kedokteran, kode etik jurnalistik, dan sebagainya. Dalam Kode Etik Jurnalistik antara lain disebutkan bahwa “Wartawan Indonesia berskap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktiad buruk”.  Makna “beriktikad buruk” tersebut sesungguhnya berkenaan dengan niat yang tulus sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam Pembukaan Kode Etik juga disebutkan “wartawan tidak menyebarkan berita yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. wartawan menghargai dan menghormati hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan tidak dibenarkan menjiplak, wartawan tidak diperkenankan menerima sogokan, dsb.

Akhir Kata

 Menuntut ilmu, apa pun ilmunya, baik ilmu untuk dunia, maupun ilmu untuk akhirat, memang menjadi kewajiban kita semua. Menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap orang, bukan hanya sebagai wajib kifayah, yang kalau telah dilakukan oleh seseorang, orang lain tidak terkena kewajiban itu. Bukan! Menuntut ilmu merupakan wajib a’in yang harus dilakukan setiap orang di sepanjang hayatnya, mulai dari bangun tidur sampai dengan saatnya ditidurkan di liang lahat. Menuntut ilmu sekali lagi merupaka kewajiban setiap individu, karena manfaat ilmu itu pertama kali untuk kepentingan diri sendiri, lalu juga untuk orang lain yang memanfaatkannya. Oleh karena itu, marilah kita teruskan untuk menuntut ilmu sampai kapan dan di mana pun. Tetapi jangan lupa aspek etika yang ada di dalamnya, seperti jangan menyombongkan diri karena ilmu itu. Menuntut ilmu tanpa etika ibarat kita hanya melebarkan jalan ke neraka.

Untuk menutup tulisan ini, saya dapat mengunduh kata-kata bijak dari google.com tentang “Tujuh Dosa Mematikan” dari Mahatma Gandhi untuk kita semua.

Kekayaan tanpa kerja
Kenikmatan tanpa nurani
Ilmu tanpa kemanusiaan
Pengetahuan tanpa karakter
Politik tanpa prinsip
Perdagangan tanpa moralitas
Ibadah tanpa pengorbanan. ”
– Mahatma Gandhi

Depok, 23 November 2012.

 

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

2 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel

Guru

Oleh Muhammad Sami’in Pagi ini begitu indah, deruan angin menerpa wajah Dingin menyelimuti langkah penuh keikhlasan Renungan hanya…