MEMBANGUN KEPERCAYAAN:
BEBERAPA CATATAN DARI HASIL SIMPOSIUM PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh Suparlan *)
***
تَقْوِيمٍ أَحْسَنِفِىٓ ٱلْإِنسَٰنَخَلَقْنَا لَقَدْ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
***
Pada tanggal 24 – 25 Februari 2015, Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah telah menjadi bagian penting dalam kegiatan SimposiumPendidikan Nasional dengan tema “Membumi-landaskan Revolusi Mental dalam Sistem Pendidikan. Alhamdulillah, saya sedikit dapat mengikuti pola pikir dan pola tindak Menteri yang memimpin institusi tempat saya berkiprah, mulai dari seorang guru, kepala sekolah, pejabat, dosen, sampai dengan kegiatan menulis sepanjang hayat seperti ini.
Dalam acara tersebut tampak adanya kesatupaduan antara banyak pihak, terutama pemerintah dan masyarakat. Kegiatan itu telah berlangsung secara sinergis. Antara masyarakat dan unsur birokrasi telah duduk bersama membahas enam isu pendidikan untuk menemukan jalan terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Langkah yang akan dilalui adalah untuk membangun pendidikan sebagai gerakan.
Dalam pemberian tanggapan terhadap rumusan rekomendasi hasil simposium tersebut, Menteri menegaskan bahwa yang akan dihasilkan malah bukan hanya pendidikan sebagai gerakan, tetapi “much bigger” dari itu, karena sebenarnya kita telah mengalami “defisit of trust.” Justru itulah sebabnya, kita harus “restoring the trust’, baik kepercayaan antar kelompok masyatakat, maupun antara “state and civil society”. Lebih lanjut, Menteri menegaskan bahwa untuk membangun kepercayaan, kita memerlukan tiga hal yang saling terkait, yakni “intimacy, competency, dan integrity”. Untuk dapat melakukan ketiganya, sudah pasti kita tidak boleh memiliki “self interest” atau keinginan untuk mementingkan diri sendiri.
Antara Cinta, Kepercayaan, dan Kewibawaan
Terkait dengan penegasan Menteri tersebut, saya teringat tentang hubungan sinergis antara “cinta, kepercayaan, dan kewibawaan“ yang terjadi dalam proses belajar-mengajar. Cinta akan melahirkan kepercayaan, dan seterusnya kepercayaan akan melahirkan kewibawaan. Pernahkah Anda menihat seorang anak yang ditimang-timang oleh ayah atau ibunya dengan cara dijunjung-junjung? Ya, anak itu justru akan tertawa-tawa senang. Mengapa anak itu tidak takut jatuh? Ya, karena anak itu percaya sang ayah atau ibunya tidak akan membiarkannya jatuh. Sang anak percaya bahwa ayah atau ibunya akan memegang kembali anaknya. Mengapa anak percaya? Ya, barang tentu karena anak memiliki kepercayaan karena cinta kasih antara ayah dan ibunya. Artinya, cinta akan melahirkan kepercayaan. Apa hubungannya dengan kewibawaan? Dengan kepercayaan itulah akan melahirkan kewibawaan pada sang ayah atau ibunya, yakni anak memiliki kesediaan untuk melakukan perintah dari ayah atau ibunya karena kepercayaan yang dimiliki sang anak. Singat kata, cinta kasih akan melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan akan melahirkan kewibawaan.
Penjelasan tersebut sama sebangun dengan upaya untuk melahirkan kepercayaan dengan tiga prasyarat, yakni “intimacy, competency, dan integrity” atau kedekatan, kompetensi, dan integritas, dan sudah tentu minus “self interest.” Dengan demikian yang dihasilkan adalah kepercayaan, dan yang akan dibangun lebih lanjut adalah kewibawaan, yakni kewibawaan institusi.
Hakikat manusia: Berbeda Itu, Satu Itu
Siapa itu manusia yang sebenarnya? Manusia adalah ciptaan Allah Swt., sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya. Ketinggian derajat ini terutama karena kemampuan otak dan hatinya.
Di samping itu, manusia tercipta sebagai mahluk sosial (social being) yang beraneka ragam. Untuk apa? Agar manusia dapat saling bekerja sama. Oleh karena itu, pada era ke empat peradaban manusia di muka bumi ini, sebenarny kita memang tidak boleh hidup sendirian, dan oleh karena itu tidak boleh bekerja sendirian. “We are not looking for a super one, but we are looking for a super team”. Kita tidak mencari orang yang super, tetapi mencari yang bisa membentuk tim yang super agar dapat bekerja sama secara sinergis.
Menurut antropologi, keempat era peradaban manusia itu adalah: 1) food gathering, 2) green revolution, 3) industrial revolution, dan 4) information and technology. Dalam era teknologi informasi dan komunikasi ini, manusia jangan hanya disibukkan dengan peralatan yang canggih hanya untuk diri sendiri, tetapi marilah kita gunakan untuk saling berkomunisi, menuntut ilmu, dan menginformasikannya kepada yang lain (tabligh). Jangan menyimpan ilmu yang dimiliki, karena akan menjadi amal yang mengalir nanti ketika kita telah kembali ke haribaan-Nya.
Di samping itu, hakikat manusia sebagai makhluk pembelajar, karena hanya manusialah yang dapat dan harus belajar. Berbeda dengan makhluk lain yang hidup hanya karena instinknya, manusia belajar dengan proses olah pikir, olah hati, dan olah raga (3H) atau head, heart, dan hands, bahkan 4 H (head, heart, hands, and health). Dari perspektif tersebut, jika Jokowi mengajak kita untuk membuka lebar-lebar bidang kerja bagi semua warga negara, kita memang memerlukan semua bidang, yang kalau dipilah-pilah, bukan hanya memerlukan kompetensi dalam bidang otak kiri dan olah hati, tetapi juga olah fisik (ragawi). Itulah yang dikenal dengan tiga ranah tujuan pendidikan: kognitif, afektif, dan psikomator. Dalam konteks ini pendidikan vokasional (seperti yang ditanyakan oleh Saudara Eka Simanjuntak), secara politik pertanyaan itu sebenarnya menyangkut perlunya perhatian pemerintah terhadap pengembangan kemampuan vokasional untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti perkapalan, otomotif, kreatif, dan sebagainya. Dengan demikian kebhinnekaan atau multikulturalisme dalam berbagai aspek juga melekat dalam dunia pendidikan itu. Suatu saat pernah dimunculkan keseimbangan jumlah sekolah umum dengan sekolah kejuruan (40% dan 60%). Ketika masa kepemimpinan Wardiman Djojonegoro, bahkan tujuan pendidikan pun lebih menekankan untuk meningkatkan link and match atau lebih mementingkan upaya mencapai tujuan life skills. Namun sebenarnya sebenarnya ketiga ranah tujuan pendidikan tersebut sebenarnya harus dicapai secara seimbang, menyeluruh, dan komprehensif.
Pelbagai jenis perbedaan dalam dunia pendidikan memang bukan hanya soal jenis sekolah seperti sekolah inklusi, sekolah untuk anak yang memiliki kemampuan luar biasa, sekolah alam, sekolah, sekolah terpencil, sekolah pesantren, sekolah terpadu, sekolah satu atap, dan mungkin masih banyak jenis yang lain. Dengan demikian, melalui bidang pendidikan, kita juga dapat berlomba-lomba untuk mencapai kebaikan.
Pendidikan Merupakan Bagian dari Kebudayaan
Simposium ini memang membahas tema-tema tentang pendidikan. Namun Menteri tidak mau membuang keksempatan ini untuk memberikan penjelasan bahwa pendidikan harus diletakkan sebagai bagian integral dalam kebudayaan, sekaligus sebagai klarifikasi terhadap tulisan Daoed Joesoef (Kompas, 7 November 2014) yang dalam tulisan tersebut menyatakan Kementeiran ini “sungguh tega mempermainkan pendidikan”. Menteri sekali lagi menegaskan bahwa pendidikan adalah bagian dari pendidikan.
Penegasan Menteri ini sebenarnya selaras dengan pandangan Prof. Dr. Engkoswara (alm) yang menjelaskan tentang empat formula kurikulum.
Pertama, kurikulum merupakan jalan yang harus ditempuh oleh siswa, “cure” artinya pelari, dan “curere” artinya tempat berlari.
Kedua, kurikulum adalah sigma sejumlah mata pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa.
Ketiga, kurikulum semua kegiatan yang dirancang sekolah untuk dilaksanakan oleh peserta didik.
Keempat, kurikulum adalah semua mata pelajaran, semua kegiatan, dan segala sesuatu yang mempengaruhi tujuan pendidikan yang akan dicapai. Bahkan hidden curriculum termasuk dalam pengertian segala sesuatu yang mempengaruhi tujuan pendidikan tersebut termasuk perilaku guru dalam proses pembelajaran.
Sementara itu, yang dimaksud dengan kebudayaan adalah sebagai semua aspek sikap dan perilaku manusia dan masyarakatnya, termasuk yang dilaksanakan oleh peserta didik. Dengan demikian apa yang terjadi di sekolah akan menjadi bagian dari kebudayaan. Katakanlah bagaimana membangun kesadaran tentang pentingnya membuang sampah pada tempatnya, atau juga kebiasaan antri. Ketika bertugas menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur di Malaysia, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah, saya sering mengamati anak-anak Sekolah Rendah (SR) yang belajar (maksudnya membiasakan) antri untuk naik “BAS SEKOLAH). Sebelum BAS SEKOLAH tiba di halte, tas peserta didik sudah letakkan secara teratur di bawah pohon di trotoar. Setelah BAS SEKOLAH tiba, maka secara tertib masuk ke dalam BAS SEKOLAH satu demi satu dengan antri untuk masuk BAS SEKOLAH tersebut.
Dengan demikian, kegiatan pendidikan di sekolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan. Kegiatan-kegiatan pendidikan menjadi bagian dari nilai-nilai kebudayaan yang memang ada yang harus ditanamkan atau disemai di sekolah, seperti disiplin, jujur, dan semua nilai budaya lainnya, di samping ada nilai-nilai negatif yang harus dibasmi, seperti budaya menyontek yang telah melahirkan perilaku koruptif di negeri ini.
Roh Kepercayaan
Marilah kita buat lembaga pendidikan sebagai institusi yang kita percaya dalam hal pelaksanaan nilai-nilai seperti jujur, disiplin, bahkan religius (18 pilar nilai karakter menurut Pusat Kurikulum). Jika nilai-nilai tersebut tidak dipraktikkan dalam proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, ini sama artinya dengan merobohkan rasa kepercayaan.
Contoh ini perlu diteladani di Malaysia. Saat mendaftarkan masuk kerja di Bank Mandiri Syariah, ijazah anak saya kebetulan entah terselip di mana. Katakan saja, ijazah S1 dari Universiti Utara Malaysia hilang. Kejadian seperti itu tentu akan membuat kita pusing tujuh keliling. Tetapi apa yang terjadi? Ternyata ijazah itu dapat kita peroleh di Malaysia, dengan sedikit mengelarkan sedikit ringgit. Tetapi anak saya masih dapat memperoleh ijazahnya kembali. Dapatkan kita memperoleh ijazah asli di negara kita? Untuk memperoleh surat keterangan pengganti ijazah pun mungkin harus melalui urusan yang berliku-liku dan bahkan harus membayar uang sogok. Sementara di Malaysia dengan mudahnya anak saya dapat memperoleh kembali ijazahnya yang asli dengan proses yang cepat. Ini berarti, institusi apa pun harus menciptakan kepercayaan kepada masyarakat pengguna layanan apa pun, termasuk layanan pendidikan. Lembaga pedidikan, lembaga eksekutif bidang lain, semua lembaga penegak hukum dan lembaga yudikatif lain, lembaga legislatif, dan semuanya, marilah kita membangun kepercayaan. Sungguh kita semua telah “devisit of trust”, kata Menteri.
Peserta Simposium Pendidikan dari Yogya telah mengadu kepada Menteri dengan menyatakan satu hal sangat tragis, bahwa guru tidak lagi mendidik dan mengajar, malah sebaliknya telah menjadi “deft collector” yang menagihi uang SPP kepada anak-anak yag tidak mampu. Bahkan anak yang telah lulus selama tujuh tahun, ijazahnya belum juga diserahkan kepada pemiliknya, hanya lantaran belum lunas membayar uang ijazah dan uang-uang lainnya. Apakah hal seperti itu benar-benar terjadi? Jika hal tersebut benar ada, maka hal itu sama artinya institusi sekolah telah menghancurkan dan mematikan roh kepercayaan.
Refleksi
Dengan penuh perhatian, Menteri telah mendengarkan pembacaan hasil kesimpulan Simposium Pendidikan Nasional. Di samping itu, Menteri juga telah mendengarkan dengan saksama pertanyaan untuk membangun kepecayaan. Itulah sebannya, maka panitia telah membuka ruang untuk bertanya kepada peserta dan mengemukakan “uneg-uneg”, menyampaikan pikiran dan perasaan tentang bagaimana melakukan turun tangan menyelesaikan masalah pendidikan, “bukan hanya urun angan”, “tidak hanya berpangku tangan” dan bahkan “tidak lepas tangan”, tetapi harus sekali lagi dengan “turun tangan” membangun pendidikan sebagai upaya untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pertemuan seperti inilah yang diharapkan dapat menyatukan kembali antara birokrasi dan masyakat untuk saling diskusi, bahkan dapat saling bedebat, karena Menteri yakin dan percaya bahwa lawan bicara adalah kawan untuk membangun persatuan, persamaan, dan kolaborasi. Tentu saja, proses interaksi semua pihak dalam kegiatan tersebut akan menjadi bahan pembelajaran bagi semua pihak. Intensitas interaksi tersebut mudah-mudahan akan menghasilkan semakin tingginya kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat, khususnya masyarakat peduli pendidikan, kepada kita semua.
Depok, 24 Februari 2015.
2 Komentar. Leave new
Perubahan adalah hukum alam. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali kata perubahan itu sendiri. Tapi jangan sekali-kali membuat perubahan sekedar hanya untuk berubah. Seharus perubahan untuk perbaikan. Insyaallah.
Bola-bali kalau hanya komentar dan berteori “mayar” gampang. Justru terus2an berteori itu yg bikin pusing, sedikit2 ada aturan baru, guru capek bukan karena mempelajari materi ajar tetapi mempelajari aturan baru yg hanya berdasar teori dan angan2. Gombal…