Oleh: Suparlan *)
Ada beberapa orang muda – dalam aspek usia – yang berhasil dihadirkan dalam Acara Mata Najwa di Televisi. Dalam acara itu telah hadir Zum Zola, Emil Dardak, dan darah muda yang lain. Tepuk tangan bertalu-lalu menyemangati jawaban atau komentar yang disampaikan kepada Mata Najwa. Bukan karena sama-sama berasal dari kota yang sama, Trenggalek, jika saat ini saya coba membuat tulisan singkat tentang darah muda daerah ini. Saya sangat bangga dengan generasi muda ini. Mudah-mudahan menjadi pemimpin generasi emas Indonesia, bukan hanya karena saya juga berasal dari kampung halaman yang sama; Trenggalek.
Masa depan Indonesia
Terus terang saya salut kepada mereka generasi muda yang yang siap tampir di panggung generasi emas Indonesia, yang usianya sebenarnya sama dengan usia anak pertama saya. Ini perlu saya kemudakan juga untuk pelajaran anak-anak saya sendiri. Benar sekali jika Mata Najwa memberikan makna generasi muda ini tersebut sebagai darah muda daerah. Bukan berasal dari daerah ibu kota Jakarta, tetapi juga berasal dari Jambi, Sumatera Barat, dan tidak lupa Trenggalek, Jawa Timur. Selama ini, saya mengenal kota Trenggalek dengan makna “terang nggone wong elek.” Dengan kompetensi saya menulis sekaligus menggaet juara pertama dalam lomba karya tulis Korpri tingkat nasional pada tahun 1982.
Alhamdulillah, insya Allah mudah-mudahan, darah muda-darah muda daerah dapat mengubah citra daerahnya masing-masing. Seperti citra Trenggalek menjadi “TERANG DI HATI.” Saya ingat tembang pucung dari Kakek saya yang dilantunkan dengan lirik lagi: NGELMU IKU, KALAKONING KANTHI LAKU, LEKASING LAWAN KAS, TEGESE KAS AMUNGKASI, SETYO BOGA PANGEKESE DUR ANGKORO.
Itu pulalah yang menyebabkan saya mendukung Mata Najwa dan sekaligus Bapak Budiono, mantan Wakil Presiden yang memberikan dukungan kepada generasi muda ini. Benar sekali kalau beliau menyebutnya sebagai masa depan Indonesia. Darah muda daerah tersebut adalah generasi emas yang siap menjadi pemimpin Indonesia. Saya percaya sepenuh jiwa bahwa setiap generasi akan melahirkan pemimpinnya sendiri-sendiri. Karena setiap zaman memiliki tantangan dan beban kerja masing-masing.
Generasi Pelurus dan Generasi Pencerah
Terus terang, kita harus berani megubah ungkapan keliru yang sering kali kita gunakan pada masa lalu. Sebagai contoh, ungkapan “kita harus menjadi generasi penerus.” Ungkapan tersebut benar dalam arti meneruskan keberhasilan yang telah dicapai pada masa lalu. Namun, ungkapan tersebut menjadi kurang atau bahkan tidak tepat, kalau tidak boleh disebut salah, jika yang diteruskan itu adalah perilaku yang negatif.
Terus terang, kita tidak usah menjadi generasi penerus. Karena banyak kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan zamannya. Kebiasaan itu tidak boleh diteruskan. Saya memiliki contoh delapan tragedi di negeri ini. Sebagai contoh, perilaku korupsi, perilaku konsumtif, perilaku narkoba, dan perilaku-perilaku lain yang tidak sesuai dengan citra masa kini, tidaklah perlu diteruskan. STOP sampai di sini. Oleh karena itu, darah muda daerah harus berani menjadi – bukan hanya generasi penerus – tetapi menjadi GENERASI PELURUS, bahkan GENERASI PENCERAH.
Beberapa Tragedi di Negeri ini
Terkait dengan beberapa tragedi yang harus diwaspadai di negeri tercinta ini, darah muda daerah harus lebih mewaspadai TRAGEDI[1] yang telah dan sedang terjadi di negeri ini, yakni (1) tragedi nol buku (literasi), (2) tragedi korupsi, (3) tragedi narkoba, (4) tragedi penelantaran, kekerasan, dan pembunuhan anak, (5) tragedi asap (lingkungan hidup), (6) tragedi perpecahan antar warga negara, dan (7) tragedi-tragedi lainnya. Tragedi-tragedi tersebut harus menjadi fokus perhatian yang menjadi prioritas program dan kebijakan para pemimpin di negeri ini. Ketujuh tragedi tersebut pastilah akan menjadi penghalang dan rintangan untuk mencapai tujuan masa depan yang gilang kemilang.
Sebagai orang pendidikan, saya ingin berpesan tentang pembangunan pendidikan. Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Demikian pesan John Dewey kepada kita semua. Saya ingat pesan Kaisar Hirohito ketika melihat sisa-sisa kehancuran Kota Nagasaki dan Hirosima. Maaf, Emil Dardak sendiri telah mengambil S3 di Jepang. Tentu Emil Dardak memahami filosofi pendidikan dalam membangun Jepang. Sart untuk membangun pendidikan di Indonesia dan Jepang relatif sama. Oleh karena itu, kita berlomba dalam membangun Jepang dan Indonesia.
Mengutamakan tujuan, bukan keadaan
Steven Kosasih menulis Mendahulukan yang Terakhir di Kompas, 31 Desember 2015. Tulisan tersebut mengutip pendapat Stepen R. Convey dalam buku 7 Habits of Highly Effective People yang menyatakan bahwa salah satu sifat pemimpin yang efektif adalah “begin with the end in mind.” Dalam tulisan tersebut, Steven Kosasih menegaskan bahwa sebaiknya pengambilan kebijakan seharusnya berorientasi kepada tujuan yang telah disepakati bersama seluruh warga. Program dan kebijakan yang diambil jangan sampai menjauhkan diri dari tujuan. Ingat tujuan, tujuan, dan tujuan membangun masa depan, karena generasi muda daerah adalah masa depan kita semua. Amin, ya robbal alamin.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com. Kritik dan masukan terhadap tulisan ini akan saya simpan dalam guci emas yang akan saya gunakan untuk perbaikan di masa depan. Terima kasih.
Depok, 25 Januari 2016.