Oleh Suparlan *)
Schools and classes are communities of students, brought together to explore the world and learn how to navigate it productively.
(Bruce Joyce, Marsha Weil with Beverly Showers)
Sekolah dan Ruang Kelas
Bruce Joyce (1992: 1) menyatakan dengan tegas bahwa “Schools and classes are communities of students, brought together to explore the world and learn how to navigate it productively”. Sekolah dan kelas adalah komunitas para siswa, yang dibawa bersama untuk mengekplorasi dunia dan belajar bagaimana mengemudikannya secara produktif. Dengan kata lain, efektif dan produktif tidaknya proses pembelajaran tidak lain terletak di sekolah dan kelas. Apa yang terjadi di sekolah dan di kelas, boleh jadi akan menjadi satu-satunya faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Ketika peserta didik di suatu sekolah berteriak kegirangan jika dewan guru sedang sibuk rapat, atau tidak masuk sekolah dengan berbagai sebab, maka sudah dapat dipastikan bahwa letak kekeliruannya ada pada sistem yang terjadi di dalam sekolah dan ruang kelas. Bukan pada siswanya yang dikatakan mbandel, atau tidak mau belajar. Bukan. Sebaliknya, jika para siswa yang ketika dijemput orangtuanya masih tidak mau pulang, karena masih mau berada di sekolah, maka sudah dapat dipastikan bahwa sekolah dan kelas telah menjadi tempat yang menyenangkan bagi mereka. Dua contoh fenomena sekolah dan kelas tersebut boleh jadi menjadi catatan penting yang telah terekam dalam kotak hitam (black box) yang bernama sekolah dan ruang kelas. Bagaimana rekaman yang terjadi di dalam sekolah dan ruang kelas tersebut amat ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh pilot dan para krunya, yang di sekolah dan ruang kelas bernama guru dan tenaga kependidikan yang terlibat di dalamnya.
Sekolah dan Ruang Kelas di SD Kasin di Kota Malang dan di Gibbs Street Primary School di Australia Barat
SD Kasin di Kota Malang adalah SD unggulan yang begitu dibanggakan oleh Kepala Dinas Pendidikan, Bapak Drs. Sofwan, M.Si. Kelas di SD ini dijadikan sumber belajar yang menyenangkan bagi siswa. Ada kelas “Eksplorasi Dasar Samodra” dengan nuansa sains tentang kehidupan dasar laut. Ada kelas dengan nuansa surga dan keagamaan, kelas bernuansa gunung dan hutan, nuansa kecakapan hidup dan pengolahan limbah sampah, dan masih banyak lagi yang lainnya. Ketika masuk ruang kelas, kita seakan memasuki dunia dengan nuansa sebagaimana lukisan dan berbagai artefak yang dipasang di ruang kelas itu. Anak-anak kelihatannya menyenangi ruang kelas yang dirancang seperti itu. Tembok dalam dan luar kelas penuh dengan pajangan hasil karya siswa.
Pemandangan yang sungguh mengesankan seperti yang ada di SD Kasin di Kota Malang itu kurang lebih sama dengan pemandangan yang dapat dilihat di Gibbs Street Primary School di Australia Barat. Tembok ruang kelasnya penuh pajangan hasil karya siswa. Boleh dikata tidak ada tembok yang kosong. Sayangnya pemandangan yang ada di ruang kelas di SD Kasin seperti itu belum berlaku di semua kelas di Indonesia. Tembok sekolah di kebanyakan ruang kelas di Indonesia belum dirancang dengan menggunakan softboard atau papan lunak yang dapat dipajangi gambar dan berbagai media pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran. Kondisi seperti itu pun juga dipengaruhi oleh kreativitas guru yang memang rendah. Jarang guru kita yang mau membuat alat peraga sendiri. Kondisi ini ditambah lagi oleh kepala sekolah tidak mengalokasikan dana untuk pengadaan media dan alat peraga yang akan dibuat oleh guru. Akibatnya, sekolah dan ruang kelas menjadi tempat gersang, yang tidak menarik bagi sebagian besar peserta didik. Dengan kata lain, sekolah dan ruang kelas tidak menjadi tempat untuk memperoleh pengalaman belajar bagi peserta didik. Bahkan sekolah dan ruang kelas menjadi penjara bagi anak-anak kita. Buktinya, kalau ada kelas tidak ada gurunya (kelas kosong), maka para siswa secara spontan bersorang kegirangan, ibarat mereka lepas dari penjara.
Bermain
Ada kekeliruan yang menyesatkan tentang makna ‘bermain’, baik menurut pemahaman orangtua, guru, maupun kebanyakan anggota masyarakat lainnya.
“Awas, jangan bermain terus, ayo belajar”. Demikianlah kalimat yang sering diucapkan oleh kebanyakan orangtua kepada anaknya yang sedang asik bermain. Bermain diberi nilai yang sangat negatif, seperti buang-buang waktu, tidak produktif, tidak berguna bagi anak, dan nilai negatif lainnya. Agar anak tidak bermain, orangtua juga sering menyuruh anak-anaknya tidur sidang. Orangtua bahkan ada yang memberikan hukuman tertentu agar anak-anaknya dapat ‘bobok-bobok siang’ (BBS), dan tidak bermain. Jadi, tidur siang dianggap lebih baik dari bermain. Bahkan, bermain dipandang sebagai kegiatan yang tidak baik. Padahal di dalam bermain ada proses pendidikan, dan dengan demikian ada proses belajar. Guru di sekolah dan di ruang kelas pun juga mengatakan hal yang sama tentang bermain.
“Ayo, masuk kelas anak-anak. Kita belajar lagi. Ayo semua berhenti bermain”. Demikian teriak seorang guru untuk untuk mengajak siswa masuk ruang kelas, karena pelajaran akan segera dimulai. Kalimat tersebut sama sekali tidak ada bedanya dengan apa yang diucapkan orangtua siswa ketika menyuruh anaknya untuk segera mandi dan belajar.
Walhasil, bermain diberi makna negaitf. Padahal di dalam bermain terdapat nilai-nilai pendidikan. Seperti metode kepanduan, justru materi pelajaran yang akan diberikan harus dibungkus dalam kegiatan bermain. Dalam sistem pendidikan Taman Kanak-kanak, berlaku model ‘bermain seraya belajar’. Dengan metode bermain peran (role playing), guru justru mengajak bermain tentang norma-norma sosial dan berusaha membentuknya dalam kehidupan sehari-hari anak didik.
Meningkatkan Kompetensi Guru
Sebagian besar indikator kompetensi guru dapat diukur dari kegiatan guru di sekolah dan ruang kelas. Apakah guru membuat persiapan mengajar dengan benar, apakah guru mengajar dengan menggunakan strategi dan metode mengajar yang sesuai, apakah guru menggunakan media dan alat pembelajaran, apakah guru mengadakan penilaian hasil belajar dengan benar, dan masih banyak lagi, semuanya dapat diukur dari kegiatan guru di sekolah dan ruang kelas. Pendek kata, sekolah dan ruang kelas benar-benar menjadi kotak hitam (black box) yang telah merekam semua sepak terjang guru dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Upaya peningkatan kompetensi guru sebenarnya dimulai dari proses pendidikan sebelum bekerja (presevice education) di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Lembaga ini secara akademis bertanggung jawab untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi sebagai tenaga kependidikan. Selepas itu, pembinaan guru menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, termasuk di dalamnya lembaga pendidikan tempat mereka bekerja sebagai guru. Lebih itu, lembaga diklat juga memiliki tugas dan fungsi untuk membengkeli para guru, meningkatkan kompetensinya agar selaras dengan perkembangan baru dalam kebijakan pendidikan nasional, termasuk perkembangan teori dan konsep kependidikan. Kerja sama yang sinergis antara ketiga lembaga (three in one), yang meliputi preservice education, inservice education, dan on the job training menjadi satu keniscayaan, dengan tujuan untuk meningkatkan kompetensi guru. Guru menjadi komponen penentu dalam proses pengajaran dan pembelajaran di sekolah dan ruang kelas. Hitam putihnya rekaman yang tertulis dalam kotak hitam (balck box) tersebut banyak ditentukan oleh kinerja guru dalam proses pengajaran dan pembelajaran.
Model Pembelajaran di Ruang Kelas
Sebagai contoh, berikut ini dilukiskan kinerja guru di suatu SD Antah Berantah. Sang guru masih sibuk ngobrol sesama kolega entah tentang apa di ruang guru, sementara murid menunggu sekitar lima sampai sepuluh menit di dalam kelas. Memang kelas tidak gaduh, karena kebanyakan muridnya takut kepada gurunya, yang sering menghukum berdiri di depan kelas dengan mengangkat satu kakinya. Bel berbunyi telah sepuluh menit yang lalu. Sang Guru masih juga asik mengobrol. Dengan menenteng satu tas hitam bertuliskan ‘diklat bla bla bla’ dia masuk kelas. Dengan spontan sekitar 40 murid berdiri dan langsung mengucapkan salam dengan serempak ‘Selamat Pagi Pak Guru”. Guru pun menjawabnya ‘Selamat Pagi’.
“Anak-anak, sekarang kita akan belajar Matematika. Coba buka buku kalian, halaman 25. Coba perhatikan. Jangan ada yang gaduh. Rumus luas segitiga adalah setengah alas kali tingi. Jadi kalau ada segitiga, alasnya 4 cm, dan tingginya 6 cm, maka luasnya adalah 12 cm. Mengerti anak-anak?”. Demikianlah proses pembelajran berlangsung dengan kondisi yang mencekam.
“Mengapa setengah alas Pak”, seorang siswa yang bertubuh agak besar bertanya kepada Sang Guru dengan rasa ingin tahu.
“Itu rumus luas segitiga. Hapalkan saja. Itu bukan rumus luas persegi empat, rumusnya adalah panjang kali lebar”, jawab Sang Guru tanpa ragu-ragu.
Anak-anak terdiam, tidak berani bertanya lagi, meski di benaknya timbul banyak pertanyaan yang ingin diajukan.
“Anak-anak, dalam bukumu telah ada beberapa contoh penerapan rumus itu. Perhatikan itu. Kemudian, pada halaman selanjutnya terdapat banyak latihan yang harus kalian kerjakan. Tugas kalian sekarang adalah mengerjalan latihan-latihan itu. Nah, sekarang kerjakan soal-soal itu. Hasil pekerjaanmya nanti dikumpulkan”. Demikian perintah Sang Guru kepada muridnya, dan kemudian dia ngeloyor ke ruang guru.
Bel berbunyi tanda pelajaran telah selesai. Sang Guru masuk kembali ke kelas dan mengumpulkan pekerjaan anak-anak. Tanpa pesan tanpa permisi, Sang Guru ngeloyor lagi ke ruang guru dengan membawa setumpuk kertas hasil pekerjaan anak-anak. Kita tidak tahu apa nasib tumpukan kertas-kertas itu. Apakah kertas-kertas itu akan menjadi dokumen protofolio atau akan memenuhi tempat sampah, wallahu alam.
Sebagai perbandingan, proses pembelajaran di salah satu ruang kelas di Gibbs Street Primary School dapat diceritakan seperti ini. Seorang guru wanita (cantik) sedang mengajarkan Bahasa Inggris. Murid di kelas itu tidak lebih dari dua puluh anak. Proses pembelajaran telah dimulai beberapa menit yang lalu. Anak-anak secara berkelompok ramai mengerjakan sesuatu. Ternyata, masing-masing kelompok itu menyusun kalimat sesuai dengan menggunakan kata tanya sesuai dengan tugas yang diberikan kepada kelompok itu, berdasarkan sebuah teks yang telah dibacakan sebelumnya. Ada kelompok yang membuat kalimat dengan menggunakan kata “What”. Kelompok lain membuat kalimat dengan kata “Where” Ya, ada lima kelompok, karena ada 4 W dan 1 H. Semua kata itu ditulis pada kertas manila berwarna dengan bentuk kaki, dan kertas manila itu dilaminating sedemikian rupa. Guru itu telah membuatnya untuk media pembelajaran. Setiap kelompok membawa kertas itu, sambil menyusun kalimat. Setelah selesai, semua ketua kelompok membacakan hasil pekerjaan kelompoknya. Sang Guru memberikan komentar terhadap pekerjaan mereka, dan menanyakan komentar dari kelompok yang lainnya. Keadaan ruang kelas sedikit gaduh dengan celoteh anak dalam memberikan komentar pekerjaan kelompok yang lain. Setelah bel berbunyi, para siswa secara otomatis mengucapkan yel motivasi “I have super brain” dengan suara keras, dengan gerakan tangan ke dada dan ke kepala secara ritmis. Guru pun memberikan pesan-pesan moral sesuai dengan isi bacaan yang telah diberikan. Good afternoon, students. Good afternoon, sir.
Dari gambaran selintas kilas tentang dua model pembelajaran tersebut, kita dapat menyatakan bahwa model pembelajaran yang pertama berlangsung dua arah saja, dan amat berpusat kepada guru (teacher-centered). Sementara model yang kedua berlangsung banyak arah, dan amat berpusat kepada siswa (student-centered). Model pembelajaran yang kedua dinilai paling memenuhi konsep PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).
Akhir Kata
Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak boleh tidak harus dimulai dari sekolah dan ruang kelas. Pembelajaran yang efektif yang terjadi di sekolah dan ruang kelas, yang rancang dan dilaksanakan oleh guru yang efektif, diharapkan akan menghasilkan mutu pendidikan yang kita harapka. Kotak hitam tidak ada di mana-mana, tetapi ada di sekolah dan ruang kelas. Untuk menciptakan sekolah dan ruang kelas yang kodusif seperti itu harus didukung oleh kepala sekolah, pengawas sekolah, dan jajaran Dinas Pendidikan, serta Komite Sekolah yang berwibawa, yang dapat digugu dan ditiru oleh para guru. Insyaallah, demikian.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Plh. Kepala PPPG Matematika Yogyakarta.
Yogyakarta, 2 Maret 2005