Oleh Suparlan *)
Jika anak Adam meninggal, maka amalnya trputus kecuali dari tiga perkara, sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh
(HR Muslim)Sesungguhnya amal dan kebaikan yang terus mengirinyi seseorang ketika meninggal dunia adalah ilmu yang bermanfaat, anak yang dididik agar menjadi orang shaleh, mewakafkan Al Quran, membangun masjid, membangun tempat penginapan bagi para musafir, membuat irigasi, dan bersedekah
(HR Ibn Majah)
Penceramah yang satu ini memang bukan yang pertama kali memberikan tausiyah di Masjid Al-Mujahiddin,Taman Depok Permai. Namun, ceramah subuhnya kali ini sungguh memang luar biasa, khusuanya bagi saya. Gelar akademisnya yang LC mungkin telah memberikan ciri tersediri tentang isi ceramah-ceramahnya, yang bukan hanya soal surga dan neraka saja. Isi ceramahnya sangat jauh dari jumud.
Menurut saya, tajuk yang beliau angkat dalam ceramahnya seharusnya membuat ”telinga merah” bagi sebagian pengurus masjid yang masih bersifat tradisional. Beliau mengkritisi banyaknya masjid yang turun ke jalan meminta-minta sumbangan untuk pembangunan masjid. Sebaliknya, masjid seharusnya dapat menjadi agen pengentasan kemiskinan bagi para jamaahnya yang tergolong duafa, dengan memberikan zakat fitrah yang hanya untuk sehari. Dengan cara yang tradisional seperti sekarang ini, para duafa akan mentas dari kemiskinannnya hanya dalam waktu sehari. Besuknya duafa lagi. Bagaimana caranya? Itulah beberapa pertanyaan dari jamaah. Jawabnya, manajemen masjid harus diubah. Dan oleh karena itu, maka tradisi pengelolaan zakat harus diubah. Saya menerjemahkan pengelolaan zakat harus diubah dari yang hanya bersifat konsumtif menjadi yang bersifat produktif. Bahkan beliau memberikan contoh. Gunakan warung untuk menyalurkan zakat untuk sekian orang duafa yang ada di sekitar masjid. Para duafa itu tidak hanya menerima zakat sekali masak habis, tetapi cukup untuk katakankah sekian bulan. Zakat akan diambil sesuai dengan kebutuhan. Maka, sisa beras yang belum diambil akan diputar menjadi modal usaha si tukang warung itu. Walhasil, tukang warung akan memperoleh keuntungan dari zakat. Jika si tukang warung itu amanah, maka keuntungan zakat itu dapat diberikan kepada duafa dengan menambah sedikit lauk pauk.
Gugatan terhadap masjid juga terkait dengan pemahaman bahwa zakat harus dibagi habis sebelum hari raya tiba. Pengertian habis ini bukan berarti barangnya habis seketika itu, tetapi habis dalam arti pembagian jatahnya. Misalnya untuk fakir miskin 40%, untuk pejuang di jalan Allah (sabilillah), seperti guru ngaji, guru madrasah, petugas kebersihan masjid, sebesar 20%, demikian seterusnya zakat yang terkumpul telah habis dengan pos-pos pengeluarannya sesuai dengan ketentuan. Dengan demikian, bukan berarti habis dibagi-bagikan dalam plastik kresek. Sistem pemerataan seperti ini hanya bersifat konsumtif, sama sekali jauh dari sifat yang produktif. Memang cara tradisional yang bersifat konsumtif itu dapat menjangkau lebih banyak orang yang memerlukan. Tetapi sekali lagi, cara itu hanya dapat mengentaskan kemiskinan dalam satu hari saja. Lebih dari itu, cara seperti itu bersifat memberi ikan, bukan memberi kailnya. Don’t give him a fish, but give him how to fish. Demikian pepatah Cina yang harus kita renungkan.
Lalu, apakah siap para pengurus masjid atau Dewan Kemakmuran Masjid untuk dapat mengubah pola lama pengelolaan masjid seperti konsep yang ditawarkan tersebut. Memang, mengubah mindset atau pola piker tidaklah mudah. To say is easy, to do is diificult, to make one understand is the most difficult. Membuat mengerti orang lain adalah pekerjaan yang tersulit. Tetapi, kapan lagi kalau tidak sekarang. Akankah masjid kita hanya akan menjadi peminta-minta di jalan-jalan seperti sekarang ini? Citra masjid menjadi hancur, akibat praktik-praktik tradisional sebagian masjid seperti itu. Padahal, agama kita telah mengajarkan bahwa ”tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”.
Semua kebiasaan yang telah mentradisi tersebut sebenarnya berawal dari pemahaman kita tentang Islam yang belum kaffah. Sekarang ini masjid hanya dipandang sebagai pusat kegiatan peribadatan. Belum menjadi pusat kegiatan sosial-ekonomi-budaya, bahkan politik. Bahkan, masyarakat yang masih percaya terhadap sesuatu yang berbau Arab. Banyak hadist yang nota bene berbahasa Arab diucapkan sementara umat dipandang sebagai Hadist yang benar. Padahal Snock Horgronye pernah mengeluarkan Hadist maudu’ yang berhasil mengelabui sementara umat Islam bahwa urusan sosial-ekonomi-budaya-politik tidak boleh dibawa ke madjid. Akibatnya, tidak banyak pejabat yang betah duduk di dalam masjid, tidak banyak usahawan, budayawan, dan politisi yang datang ke masjid untuk memakmurkannya. Anehnya, banyak ulama yang memakai hadist-hadist maudu’ dengan alasan memiliki kebaikan, sementara Hadist yang benar-benar shoheh justru sering ditinggalkan. Pemahaman kita tentang agama rupanya perlu direformasi?? Saya tidak tahu apakah pemikiran penceramah kali ini juga dapat disebut sebagai upaya pembaharuan pemikiran kita sebagai umat Muhammad?
Mudah-mudahan amal puasa hari kelima kita ini dapat menjadi jalan untuk mengentaskan kemiskinan bagi saudara-saudara kita seiman. Amin, ya robbal alamin.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 15 September 2007