Artikel

Menyatukan Kembali Pendidikan dengan Kebudayaan, Masih Talak Satu

216 views
Tidak ada komentar

 

***

Education is not preparation for life, but it’s life itself

(John Dewey)

 

No teacher, no education; no education, no social-enonomic development

(Ho Chi Mienh, Bapak Pendidikan Bangsa Vietnam)

 

***

 

Pak Satria Dharma, mantan ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan, mengirimkan tulisan Daoed Yoesoef (Kompas, Jum’at, 7 November 2014) melalui e-mail. Itulah kebiasaan Ketua IGI ini. Kalau ada tulisan dengan topik yang menarik, tak lupa beliau selalu mengirimkan tulisan itu kepada saya dan koleganya. Beliau sendiri menjadi penulis yang sangat produktif. Kalau tidak percaya, silahkan buka laman pribadinya www.satriadharma.com. Buku kumpulan tulisannya telah diterbitkan sendiri dan diberikan kepada kawan-kawan dan siapa saja yang memerlukan.

 

Kesalahan Fatal

 

Daoed Yusoef menegaskan bahwa pemisahan kementerian pendidikan dengan kebudayaan merupakan kesalahan fatal. Salah satu alasannya, karena pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan. Alasan lainnya adalah tentang nasib Fakultas Ilmu Budaya, Akademi Seni Rupa dan Musik serta Kerawitan, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Bukankah semua lembaga pendidikan itu termasuk urusan pendidikan tinggi yang telah berpisah dengan Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Oh ya juga ya, pikir konseptor yang konon dari Forum Rektor Indonesia yang telah mengusulkan kepada Presiden Jokowi atau Tim Transisi. Akankah lembaga-lembaga pendidikan tentang seni dan budaya tersebut harus diserahkan kepada Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah?

 

Pernah suatu masa pendidikan dan kebudayaan juga dipisah menjadi Departemen Pendidikan dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Toh kita tahu “dunia tidak juga kiamat”, kata para pendukung pemisahan antara pendidikan dan kebudayaan. Juga kata para pendukung yang memperoleh manfaat dari pemisahan pendidikan dengan kebudayaan. Itulah yang terjadi di negeri ini, yang sering sulit memahami orang lain. Rapat dan apalagi debat di meja lembaga yang terhormat sering melahirkan adu jotos yang memalukan, sehingga kita dapat menonton manusia yang tidak berbudaya.

 

Kesulitan Lain

 

Dari aspek teknis, dinas-dinas di kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia itu dibentuk berdasarkan nomenklatur kementerian yang dibentuk oleh pemerintah. Dengan pemisahan pendidikan dan kebudayaan juga akan berimbas kepada pembentukan dinasnya. Selama ini, kita mengenal nama-nama dinas yang beraneka ragam. Ada dinas pendidikan dan olah raga, ada pula dinas pendidikan dan kebudayaan. Dengan lahirnya Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah, yang terpisah dari Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek, sudah barang tentu akan semakin sulit lagi menggunakan nomenklatur yang ada di daerah kabupaten/kota, dan provinsi. Menanggapi masalah ragam nomenklatur tersebut,    salah seorang pegawai dinas pendidikan di kabupaten/kota sampai akhirnya berseloroh “asal Dinas Pendidikan itu tidak digabung dengan urusan pemakaman saja”, katanya ketus.

 

Menyatukan Kembali Pendidikan dan Kebudayaan

 

Dalam tulisan tersebut, Daoed Yoesoef memperingatkan agar Presiden dan Wakil Presiden dapat segera menyatukan kembali pendidikan dan kebudayaan menjadi satu kementerian. Belum terlambat, dan masih ada kesempatan emas untuk menyatukannya, masih talak satu belum talak tiga, semampang nasi belum telanjur menjadi bubur. Kembalikan keutuhan pendidikan dan kebudayaan. Tegasnya.

 

Penyatuan pendidikan dan kebudayaan justru dapat menjadi mementum untuk memecahkan masalah pendidikan. Misalnya masalah pendidikan yang lebih mementingkan ranah kognitif akan menjadi mementingkan ranah afektif dan psikomotor jika menggunakan pendekatan budaya, karena konsen moral dan moralitas adalah budaya. Lebih dari itu, pendidikan karakter akan dapat dilaksanakan dengan pendekatan budaya. Semua pilar nilai-nilai karakter seperti jujur, gemar belajar, dan 18 (delapan) macam nilai karakter yang dirumuskan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Dikbud semuanya hanya dapat diimplementasikan memalui proses pembudayaan. Delapan belas pilar nilai-nilai karaktekr tersebut adalah sebagai berikut:

 

No. Nilai-Nilai Deskripsi
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2 Jujur Perilaku yang dilaksanakan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6 Kreatif Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar
10 Semangat Kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
11 Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuai yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain
13 Bersahabat/ Komunikatif Tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya
16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kekrusakan alam yang sudah terjadi.
17 Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

 

Sumber: Pusat Kurikulum, Balitbang Dikbud.

 

Membangun pendidikan harus dilakukan dengan menyemai dan menumbuhkan nilai-nilai karakter tersebut, bukan hanya dengan cara menstransfer pengetahuannya. Membangun budaya antri, konon menurut orang Australia memerlukan proses pembudayaan dalam beberapa tahun. Proses ini jauh lebih sulit dibandingkan mempelajari matematika yang dapat diselesaikan dalam beberapa bulan. Ketika saya menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kualalumpur di Malaysia, saya selalu mengamati proses budaya antri anak-anak Sekolah Rendah naik “bas sekolah” di Jalan Raya Pandan Jaya.

 

Kenapa pendidikan di negeri ini sulit menanamkan budaya antri, budaya membuang sampah pada tempatnya, budaya bekerja keras, budaya tepat waktu, dan delapan belas nilai karakter tersebut? Jawabannya karena kita tidak membungkusnya dengan wadah budaya. Kita hanya menstranfernya sebagai ilmu pengetahuan. Bahkan, yang kita sebut sebagai “pendidikan agama’, lebih banyak diberikan sebagai pengetahuan tentang agama, dan bukan penerapan ajaran ajaran agama sebagai jalan kehidupan manusia (hudallinass). Kita lebih banyak menghafalkannya, ketimbang memahami, apalagi mengamalkannya.

 

Menyatukan kembali pendidikan dan kebudayaan harus segera kita lakukan bukan hanya dengan konsep atau, tetapi dengan implentasi, agar kita tidak kehilangan jejak untuk mencari tujuan pendidikan nasional yang kita idam-idamkan.

 

Jakarta, 11 November 2014.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts