Artikel

Kabupaten Rejang Lebong

384 views
Tidak ada komentar

***

No one realizes how beautiful it is to travel until he comes home and rests his head on his old, familiar pillow
Tidak seorang pun yang mengetahui betapa cantiknya untuk bepergian sampai ia pulang dan menidurkan kepalanya di bantal tua miliknya
(Lin Yutang)

Wherever you go, go with all your heart
Kemana pun Anda pergi, pergilah dengan seluruh hatimu
(Confucius)

Travel can be one of the most rewarding forms of introspection
Bepergian dapat menjadi sebagai salah satu bentuk instropeksi yang paling berharga
(Lawrence Durrell)

***

Ketika saya pernah bertugas ke Kepulauan Aru, kemudian saya tulis dengan menggebu-gebu tentang Aru (Aku Rela Untukmu). Ketika saya juga pernah bertugas ke Bima, Nusa Tenggara Barat, dan kemudian saya menulisnya dengan mengutip bahasa Bima “Kalempo Ade” atau terima kasih. Lalu, bagaimana kalau saya juga bertugas ke Kabupaten Rejang Lebong, maka sudah so pasti, saya juga harus menulisnya, meski sedikit berbeda suasananya.
Begitu travel Avanza dari Bandara Fatmawati Sukarno mulai menanjak jalan berliku ke arah Kota Kepahyang, terasa udara mulai dingin. Saya bayangkan seperti di kawasan Puncak Bogor. Di kawasan ini, saya memperoleh cerita tentang asal muasal “mabuk kepayang”. Apa artinya mabuk kepayang sudah banyak orang yang tahu artinya, yakni jatuh cinta yang luar biasa. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti asal usul kata mabuk kepayang, seperti tidak tahu asal muasal suatu ayat atau surat diturunkan oleh Allah Swt.

Mengapa orang mengucpkan mabuk kepayang? Ceritanya begini. Di daerah Kapahiyang ini, jalan ketika itu begitu sempit, terjal, dan berkelok-kelok. Bayangkan seperti “Kelok Apek-Ampek di Provinsi Sumatera Barat. Saking berkelok-keliknya jalan itu, maka banyak orang yang naik kendaraan yang pada mabuk, dan sudah barang tentu, konon banyak yang sampai muntah-muntah segala. Sejak saat itulah, maka banyak orang menyebutnya sebagai mabuk kepahyang, atau singkat kata mabuk kepayang. Begitulah ceritanya.

Kembali ke cerita Kabupaten Rejang Lebih, jalan menuju ke sana haruslah melalui kawasan perbukitan yang berkelok-kelok di Kabupaten Kepahyang ini. Bagi saya pribadi, jalan seperti ini bukan masalah, karena kalau saya pulang mudik ke Kabupaten Trenggalek, khususnya ke Kecamatan Mungjungan, satu kecamatan di pantai Selatan Kabupaten Munjungan, jalannya sampai saat ini masih naik terjal dan berkelok-kelok. Entah sampai kapan jalan itu mendapat perjatian dari pemerintah. Padahal sebenarnya rakyat tidak perlu berbagai kartu yang kini diluncurkan oleh Pemerintah Jokowi. Yang diperlukan adalah jalan yang mulus dan lancar, karena dengan jalan yang mulus dan lancar, sumber penghasilan dari Kecamatan Munjungan akan dapat dipasarkan di daerah lainnya. Artinya ekonomi menjadi maju. Ya begitulah. Pemerintah melihat Indonesia dengan kaca mata Jakarta.

Kembali ke Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Kasusnya juga tidak banyak berbeda dengan Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur, yang penduduknya sering menyebut sebagai “Krandhah Nyai Lorokidul”. Setelah sampai Kecamatan Curup, saya mengetahui bahwa daerahnya sebenarnya sangat subur. Hasil bumi sayur mayur dan buah-buahan sama dengan kawasan Kota Batu, Malang, atau daerah Puncak, Bogor. Di tengah perjalanan antara Kabupaten Kapahyang dan Kebupaten Rejang Lebong, meskipun tidak bosang-bosannya saya melihat bentang alam pegunungan yang sejuk ini, ternyata saya juga merasakan sedikit kebosangan. “Kok nggak sampai-sampai ya,” pikirku dalam hati. Untuk mencari Kantor Dewan Pendidikan dan Kantor Dinas Pendidikan saya harus naik ojek. Untung orangnya baik sekali. Bahkan ia mau menunggu sebelum akhirnya menemukan pintu kantor Dinas Pendidikan yang masih terbuka, karena ada dua orang pegawai yang sedang nglembur, yakni Pak Budiman (orang keturunan Jawa di Rejang Lebong) dan Pak Henry Dunan yang masing melaksanakan kerja lembur di kantornya. Ketika sampai di Kantor Dinas Pendidikan, karena Hari Sabtu dan memang sudah menjelang sore hari, kantornya sudah tutup. Akhirnya kedua pegawai inilah yang mengantarkan saya ke sebuah hotel, setelah perjalanan panjang sehari dari pukul 05.00 WIB dari rumah sampai pukul 17.00 WIB tiba di hotel.
Mengingat udara yang cukup dingin inilah, maka saya matikan saja AC-nya. Meski secara umum saya tidak menghadapi masalah sejak dari Bandara Fatmawati Sukarno sampai dengan Hotel, ternyata diam-diam masalah ada saja, karena HP saya sama sekali tidak berfungsi. What’s wrong with my hanpone? Setelah kutanyanyan kepada pegawai hotel, Excel ternyata memang tidak ada koneksi, drop sampai 0%. Untuk pengurus Dewan Pendidikan datang ke Hotel menjelaskan dan membantu saya untuk menyelesaikan instrumen monitoring yang harus diselesaikan besoknya, baik ke Dinas Pendidikan maupun ke Dewan Pendidikan. Bahkan untuk kembali ke Jakarta, melalui Bandara Fatmawati Sukarno besok hari, saya sudah dipesankan travel, lagi-lagi Avanza, yang akan siap menjemput pukul 05.00 pagi hari. Tugas mengumpulkan instrumen monev sudah selesai, dan rencana perjalanan kembali ke Jakarta pun juga sudah siap.

Besok pagi saya sudah siap di pintu Hotel untuk menunggu jemputan travel pada pukul 05.00 pagi. Kembali saya harus melalui jalan naik turun terjal yang berliku-liku. Cerita tentang mabuk kepayang teringat kembali. Sampailah saya ke bandara Fatmawati. Check in pun sudah saya laksanakan. Eeeee akan naik pesawat tetnyata ditemukan masalah. Tiket saya ternyata bukan pagi itu pukul 08.40 WIB, tetapi untuk besok pagi. Saya kaget bukan kepalang. Meski saya sama sekali tidak mabuk kepayang ketika dalam perjalanan, namun saya tidak dapat naik pesawat pagi itu. Aneh juga, karena di meja check in kesalahan itu tidak ditemukan. Waktu mau naik pesawat kesalahan itu baru ketahuan. Tentu, awal kesalahan adalah karena saya tidak teliti mengecek tiket elektronik itu. Untungnya, saya dapat naik pesawat berukutnya siang jam 14.00, dengan resiko menunggu cukup lama di bandara.

Semua peristiwa ada hikmahnya. Ketika menunggu pesawat cukup lama ini, saya bertemua tiga orang yang akan pergi ke Rejang Lebong dari Jakarta, satu lelaki dan dua orang wanita. Cerita punya cerita, saya dapat memperkenalkan ilmu yang baru saya pelajari, yakni Brain Development. Dengan menggunakan kedua tanggannya saya dapat menebak dengan tepat tipe kecerdasan mereka. “Pak, tepat sekali Pak,” teriaknya dengan girang. “Kok Bapak dapat meramalnya dengan tepat Pak,” tanyanya kepada saya. Saya menjelaskannya, dan mereka pun dapat memahami teori kecerdasan ganda konsep Howard Gardner ini. Saya berencana untuk menulis buku “Makna Pendidikan (The Meaning of Education),” yang di dalamnya akan menjelaskan tentang Kecerdasan Ganda konsep Howard Gardner tersebut. Mudah-mudahan dengan semangat dari Kabupaten Rejang Lebong ini buku tersebut dapat segera terbit.

Kendaraan yang menjemputnya telah datang, dan saya pun akan salat Dhuhur, dan siap-siap untuk check in kembali untuk kemudian naik pesawat Garuda Indonesia, dari bandara Fatmawati Sukarno ke bandara Sukarno Hatta Jakarta.

Jakarta, 17 November 2014.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Puisi

Kapan Kita Merdeka Lagi?

Oleh: Suyanto   Merdekanya negara dan bangsa yang pertama kali telah kita nikmati Merdekanya negara dan bangsa dari…