Oleh Suparlan *)
Guru biasa memberitahukan. Guru baik menjelaskan. Guru ulung memeragakan. Guru hebat mengilhami
(William Arthur Ward)Guru ialah pegawai negeri sipil (PNS) yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab oleh pejabat yang berwewenang untuk melaksanakan pendidikan di sekolah, termasuk hak yang melekat dalam jabatan
(Surat Edaran Mendikbud dan Kepala BAKN Nomor 57686/MPK/1989)Guru sebagai figur sentral dalam pendidikan, haruslah dapat diteladani akhlaknya di samping kemampuan keilmuan dan akademisnya. Selain itu, guru haruslah mempunyai tanggung jawab keagamaan untuk mendidik anak didiknya menjadi orang yang berilmu dan berakhlak
(Dr. Syed Hossein Nasr, dalam Azyumardi Azra)Jalan terpenting untuk mempertinggi mutu sekolah-sekolah itu ialah mempertinggi mutu pendidiknya
(Mr. Muhammad Yamin)Kebajikan saja tak akan cukup sebagai modal menjadi seorang guru, demikian juga pengetahuan saja. Anugerah mengajar adalah sebuah bakat yang khas dan melibatkan kebutuhan serta hasrat dalam diri sang guru sendiri
(John Kay Chapman)Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksnakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi
(Pasal 39 (2) UU Nomor 20 Tahun 2003)
Pak Paniran adalah seorang guru idola bagi murid-muridnya. Saat itu beliau menjadi guru kelas IV SD Negeri Tawing I, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, tempat penulis bersekolah pada tahun 50-60an. Beliau saya sebut sebagai guru yang all round, karena menguasai secara sempurna semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar.
Beliau mengajarkan lagu-lagu wajib tempo dulu. Setiap menjelang usai pelajaran, beliau selalu mengajak murid-muridnya menyanyi. Saya menguasai solmisasi karena suara beliau yang cukup merdu. Beliau juga mengajarkan membaca peta buta, membesarkan peta dengan menggunakan garis-garis lintang dan bujur yang diperbesar. Beliau mengajarkan cara berhitung praktis, sehingga para siswa suka terhadap mata pelajaran yang biasanya dibenci ini. Beliau juga berinisiatif membuat kebun sekolah di lahan tidur di desa itu, dan melatih anak-anak bertanam kacang tanah dengan pola tanam satu lubang satu bijih kacang tanaah, dan ditanam dengan larik-larik yang rapi. Setiap hari Sabtu, anak-anak diminta untuk membawa pupuk kandang untuk kebun sekolahnya. Hasilnya? Wuaaaah, bagus sekali. Satu buji kacang tanah rata-rata dapat menghasilkan puluhan butir kacang tanah yang besar-besar. Tanah tidur itu telah disulap oleh pada siswa di bawah bimbingan Pak Paniran sebagai lahan yang subur. Itulah profil Pak Paniran, seorang guru SD yang memiliki kompetensi yang tinggi.
Penulis sengaja memberikan ilustrasi tersebut pada awal tulisan ini untuk menunjukkan bahwa Pak Paniran, yang notabene hanya tamatan SGB, ternyata memiliki kompetensi yang sangat membanggakan, setidaknya menurut ukuran penulis. Pengalaman belajar yang telah disajikan oleh Pak Paniran dalam proses belajar mengajar di dalam dan di luar kelas telah merasuk dalam perilaku dan kepribadian penulis sampai saat ini. Kecintaan penulis terhadap tanam-tanaman terus terang adakan berkat kebiasaan yang beliau terhadap murid-muridnya. Sikap hidup, seperti ketekunan bekerja, keterampilan, dan ranah-ranah afektif dan psikomotorik yang penulis miliki pada ssat ini tidak lain berkat keteladan beliau. Penulis dapat meneruskan pelajaran ke SPG Negeri Trenggalek, antara lain adalah berkat motivasi beliau kepada orangtua penulis, yang nota bene adalah hanya seorang petani desa. Pak Paniran telah memberikan dorongan kepada kakek-nenek dan orangtua penulis agar mau menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sampai akhirnya nenek penulis berpesan kepada penulis: ”Teruskan sekolahmu nak, meski sampai habis hartaku”. Pesan ini ternyata sesuai dengan pesan Sayidina Ali yang menyatakan bahwa ilmu lebih tinggi nilainya daripada harta. Itulah sekilas cerita masa lalu penulis yang terkait dengan kompetensi guru sekolah dasar, Pak Paniran. Meski hanya lulusan SGB, ternyata beliau memiliki kompetensi yang cukup tinggi.
Itulah sebabnya, ketika penulis memperoleh informasi bahwa hampir separuh guru di Indonesia tidak layak mengajar, penulis memang amat terperanjat. Setelah dipelajari lebih lanjut, ternyata ketidaklayakan tersebut hanyalah karena faktor kualifikasinya. Lebih khusus lagi karena perubahan ketentuan tentang kualifikasi guru, yakni dari SPG ke D2, dan kemudian semua guru harus memiliki kualifikasi S1 atau D-IV. Kalau ini digunakan sebagai satu-satunya standar, maka jumlah guru yang tidak layak mengajar sudah barang akan membengkak lebih besar lagi. Paramater ini menjadi terlalu kaku, karena ketidaklayakan guru hanya diukur dari kualifikasinya, bukan dari kompetensi guru dalam proses belajar mengajar. Memang, ada kaitan antara kualifikasi dan keluasan wawasan dan mungkin juga terhadap kompetensinya. Namun, ketidaklayakan guru tidak hanya diukur dari kualifikasinya, tetapi harus diukur dari aspek kompetensinya. Untuk ini maka uji kompetensi (skill audit) harus dilakukan untuk mengetahun keseluruhan aspek kompetensi tersebut.
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai guru dan menjadi pegawai di lingkungan Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, dan kini juga ikut membantu kegiatan Program Bermutu di Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, penulis mencoba untuk menelusuri jejak-jejak sejarah kompetensi guru mulai dari munculnya konnsep competency-based teacher education (CBTE) sampai dengan terbitnya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), yang menyebutkan 4 (empat) kompetensi pendidikan, yakni (a) kompetensi kepribadian, (b) pedagogik, (c) profesional, dan (d) sosial. Jejak-jejak sejarah perkembangan perumusan standar kompetensi guru di Indonesia dalam dijelaskan dalam tulisan singkat ini.
Kompetensi Guru Pada Tahun 1864 di Amerika Serikat
Kalau dihitung-hitung, nasib guru di negeri Paman Sam pada zaman baheula sebenarnya ternyata tidak lebih baik dari nasib guru di Indonesia pada saat ini. Pada tahun 1864, guru dari negara bagian Illionis di Amerika Serikat digambarkan memiliki ”litle brain and less money” (Jame M. Cooper, 1986: 2), atau sama artinya dengan ”otak kosong dan kantong melompong”. Sebutan tersebut menunjukkan masih rendahnya kualifikasi guru di negeri Paman Sam. Karena kualifikasi yang masih rendah itu, maka kantongnya juga masih melompong. Hal yang sama juga terjadi dengan kondisi guru di Indonesia pada tahun 60-an, yang pada saat itu banyak guru SD yang terpaksa harus mencari pekerjaan sambilan, seperti menjadi tukang becak dan atau tukang ojek, dengan tujuan agar dapurnya akan tetap mengepul. Mengapa kondisi guru tersebut sampai terjadi? Hal itu terjadi karena guru di Amerika Serikat kala itu kebanyakan bukan lulusan perguruan tinggi. Akibatnya lahirlah sebutan untuk guru yang menyakitkan itu, yang di Indonesia mirip dengan ungkapan yang kurang lebih memiliki makna yang sama, yakni ”wagu tur kuru”. Wagu artinya kurang dapat menempatkan diri, karena rendahnya ilmu pengetahuan dan kemampuanya. Kuru artinya kurus, bukan karena sakit, tetapi lebih karena kekurangan gizi.
Kompetensi Guru ”Made In” Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis (Dikgutentis)
Pada tahun 70-an, muncul wacana akademis tentang apa yang disebut sebagai Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Komtensi (Competency-Based Training and Educatin) atau CBTE. Pada masa itulah maka Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis telah menerbitkan buku saku berwarna biru bertajuk 10 Kompetensi Guru, yang menjelaskan kemampuan yang harus dimiliki para guru, yaitu:
- Memiliki kepribadian sebagai guru;
- Menguasai landasan kependidikan;
- Menguasai materi pelajaran;
- Menyusun program pengajaran;
- Melaksanakan proses belajar mengajar;
- Melaksanakan penilaian pendidikan;
- Melaksanakan bimbingan;
- Melaksanakan administrasi sekolah;
- Menjalin kerja sama dan interaksi dengan guru sejawat dan masyarakat;
- Melaksanakan penelitian sederhana (Suparlan, 2006: 82)
Itulah sepuluh kompetensi guru ”made in” Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis (Dikgutentis), Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (sekarang Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah). Sepuluh kompetensi tersebut sudah demikian luas disosialisasikan dan difahami oleh kepala sekolah dan para pendidik. Sepuluh kompetensi itu dipajang pada tembok ruang kepala sekolah dan ruang guru, berdampingan dengan Kode Etik Guru Indonesia, meski belum dimasyarakatkan dalam bentuk Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri. Sayangnya, standar kompetensi itu belum pernah dijabarkan ke dalam instrumen uji kompetensi yang dapat digunakan sebagai alat ukur untuk mengetahui sudah berapa tinggi kompetensi guru. Bahkan dalam tes penerimaan guru pun sepuluh kompetensi guru itu juga belum digunakan sebagai acuan untuk menentukan kelulusan mereka untuk diangkat menjadi guru. Tes penerimaan guru kita ternyata juga masih menggunakan instrumen konvensional yang berisi materi tes tentang pengetahuan umum dan Bahasa Indonesianya.
Sepuluh kompetensi guru itupun lambat laun menjadi terlupakan dan akhirnya lenyap ditelan zaman, meski banyak dipajang di ruang kepala sekolah dan ruang guru.
Kompetensi Guru ”Made In” Direktorat Tenaga Kependidikan (Dit Tendik)
Pada tahun 2000-an, Direktorat Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis (Dikgutentis) pun telah diubah namanya menjadi Direktorat Tenaga Kependidikan (Dit Tendik). Struktur baru direktorat pun diubah dan disesuaikan dengan kebutuhan pada masa itu. Salah satu subdirektorat yang salah satu tupoksinya adalah menyusun standar kompetensi guru. Pada kurun waktu ini, lahirlah istilah Standar Kompetensi Guru (SKG). Ada 3 (tiga) komponen kompetensi guru. Ketiga komponen tersebut dijabarkan ke dalam 7 (tujuh) kompetensi guru, yang dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1
Komponen dan Kompetensi Guru
No. | Komponen | Kompetensi |
---|---|---|
1. | Pengelolaan pembelajaran |
|
2. | Pengembangan profesi |
|
3. | Penguasaan akademik |
|
Sumber: Direktorat Tenaga Kependidikan, Standar Kompetensi Guru (Suparlan, 2006: 86)
Standar Kompetensi Guru (SKG) ’made in” Direktorat Tenaga Kependidikan tersebut dijabarkan lagi dalam indikator-indikator untuk mengukur kompetensi guru. SKG tersebut juga telah dikembangkan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan, kecuali SMK, karena guru SMK memang memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan guru yang lain, terutama dengan penguasaan bidang keahliannya. Sayangnya, meski SKG tersebut telah dicetak dalam jumlah yang besar (dengan kata pengantar Direktur Tenaga Kependidikan), SKG tersebut belum di-SK-kan atau di-Permen-kan oleh Mendiknas, dan akhirnya lambat laun juga mengalami nasib yang sama dengan standar kompetensi guru yang pernah dilahirkan sebelumnya.
Kompetensi Guru ”Made In” Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Pada tahun 2005, struktur organisasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dimekarkan dan diubah menjadi: (1) Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) dan (2) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (MPDM). Direktorat PMPTK kemudian banyak melahirkan gebrakan-gebrakan yang cukup segar. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen berhasil dilahirkan, meski penyusunan naskah akademik sampai dengan proses penetapan legislasinya di DPR telah melalui proses yang panjang jauh sebelum direktorat jenderal PMPTK tersebut dibentuk. Proses penuntasan dalam penyusunan kompetensi guru juga merupakan kerja keras direktorat ini, meski prosesnya telah diawali jauh sebelum direktorat jenderal ini lahir. Kerja para pakar yang telah dilibatkan dalam proses penyusunan kompetensi guru ini merupakan peran dan sumbangan yang tidak ternilai harganya. Contoh-contoh kompetensi guru dari berbagai negara maju telah menjadi bahan pelajaran berharga untuk menyusun kompetensi guru di Indonesia. Contoh kompetensi guru dari berbagai negara telah dimanfaatkan secara optimal oleh para pakar yang telah dilibatkan dalam proses perumusan kompetensi guru di Indonesia.
Perjalanan panjang perumusan kompetensi guru di Indonesia sementara berhenti di sini. Para pakar yang terlibat dalam proses penyusunan kompetensi guru itu sampai kepada ketetapan bahwa kompetensi guru di Indonesia meliputi:
- Kompetensi Kepribadian
- Kompetensi Pedagogik
- Kompetensi Profesional
- Kompetensi Sosial
Keempat kompetensi tersebut masing-masing memiliki subkompetensi, yang dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 2
Kompetensi Guru Indonesia
Kompetensi, Subkompetensi, dan Indikator Esensial
No. | Kompetensi | Subkompetensi | Indikator Esensial |
---|---|---|---|
1. | Kompetensi Kepribadian | Kemantapan dan kestabilan kepribadian |
|
Kedewasaan kepribadian |
|
||
Kearifan |
|
||
Kewibawaan |
|
||
Akhlak mulia dan dapat diteladani |
|
||
2. | Kompetensi Pedagogik | Memahami perbedaan individual peserta didik |
|
Merancang pembelajaran |
|
||
Merancang dan melaksanakan pembelajaran |
|
||
Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran |
|
||
Mengembangkan peserta didik dan mengaktualisasikan berbagai potensinya |
|
||
3. | Kompetensi Profesional | Menguasai substansi keilmuan |
|
Menguasai struktur dan metode keilmuan |
|
||
4. | Kompetensi Sosial | Bekomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, secara pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar |
|
Sumber: ditabulasikan dari Panduan Pelaksanaan Sertifikasi Guru Tahun 2006
Kompetensi Guru di Australia Barat (West Australia): Sebagai Bahan Perbandingan
Sebagai bahan perbandingan, ada baiknya jika dalam tulisan iini dikutipkan satu contoh kompetensi guru yang digunakan sebagai standar untuk guru di negara bagian Australia Barat. Lima dimensi kompetensi tersebut indikatornya malah dibedakan antara guru yang pada tingkat dasar, menengah, dan lanjut.
Kelima dimensi kompetensi guru tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut
Tabel 3
Lima Dimensi Kompetensi Guru di Australia Barat
Dimensi | Kompetensi Guru |
---|---|
Satu | Fasilitating student learning |
Dua | Assessing student learning outcomes |
Tiga | Engaging student in professional learning |
Empat | Participating to curriculum and program initiatives in outcome focused environment |
Lima | Forming partnerships within the school community |
Sumber: Competency Framework for Teachers, Department of Education and Training, Western Australia.
Kembali Ke ”Kompetensi Pak Paniran”
Kompetensi yang ditunjukkan oleh Pak Paniran nyaris meliputi seluruh indikator yang diperlukan agar seorang guru dapat disebut sebagai guru yang memeiliki kompetensi yang memadai. Pertama, ditinjau dari segi kompetensi kepribadian, Pak Paniran memiliki sikap dan perilaku yang dapat diteladani oleh para muridnya, disegani karena perilakunya itu, memiliki kebanggaan sebagai guru, dengan etos kerja yang tinggi. Kedua, dari segi kompetensi pedagogik, Pak Paniran sangat memahami karakteristik peserta didiknya, menguasai landasan kependidikan, merencanakan dan melaksanakan pembelajaran secara efektif. Ketiga, dari segi kompetensi profesional, Pak Paniran sangat menguasai materi pelajaran secara sempurna, bahkan penulis sebut sebagai guru yang all round. Keempat, Pak Paniran juga memiliki kompetensi sosial yang sangat tinggi, karena dapat berkomunikasi dengan orangtua siswa, dan bahkan juga dengan pamong desanya ketika akan memanfaatkan lahan tidur milik warga di desa itu untuk kebun sekolah.
Perlu Instrumen Uji Kompetensi
Berdasarkan penelusuran sejarah kompetensi di Indonesia tersebut, satu sumber masalah mendasar yang mengganjal dalam upaya peningkatan kompetensi guru di Indonesia adalah belum adanya instrumen uji kompetensi yang akan digunakan oleh institusi terkait, baik LPMP, ataupun Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota untuk menentukan tingkat kompetensi guru di daerhnya masing-masing. Pemetaan tingkat kompetensi guru ini diperlukan sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan perlakuan (treatment) berupa model pelatihan berjenjang yang akan dilakukan oleh lembaga inservice training, seperti pelatihan di 12 Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) di Indonesia. Lembaga PPPG harus memiliki data base yang akurat tentang tingkat kompetensi guru mata pelajaran. Tanpa data base tersebut, maka PPPG akan tetap berkuat pada model pelatihan yang konvensional, yakni ikut pelatihan, dan setelah kembali ke daerah alumni pelatihan akan kembali dengan bernyanyi merdu ”Aku Masih Seperti Yang Dulu”.
Akhir Kata
Jalan panjang proses perumusan kompetensi guru telah dilalui. Tiada jalan tanpa ujung. Perjalanan panjang tersebut akhirnya telah menghasilkan empat kompetensi guru. Tetapi ini belum cukup. Sebaik apapun standar kompetensi itu berhasil disusun, semuanya amat tergantung pada pelaksanaannya. Untuk itu, langkah-langkah strategis dan sistemik untuk meningkatkan kompetensi guru masih harus dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah penyusunan paket-paket instrumen uji kompetensi yang akan digunakan oleh institusi terkait dalam upaya peningkatan kompetensi guru. Apakah berhenti di sini? Tidak. Aspek lain peningkatan profesionalisme guru memiliki konteks yang sangat luas. Wardiman Djojonegoro mengingatkkan kepada kita bahwa ”Masalah martabat guru, separuhnya adalah kesejahteraannya”. Guru yang telah memiliki kompetensi sesuai dengan standar yang ditetapkan harus mendapatkan ganjaran yang memadai dalam hal kesejahterannya. Itulah salah satu syarat agar guru itu sebagai profesi. Mudah-mudahan.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Lulusan S2 University of Houston, Texas, USA; mantan Kepala Bidang Pelayanan Teknis PPPG Matematika Yogyakarta, mantan Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur.
Bahan Pustaka
- Department of Education and Training. 2001. Curriculum Framework for Kindergaten to Year 12 Education on Western Australia.
- Direktorat Tenaga Kependidikan. 2003. Standar Kompetensi Guru. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan.
- Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Mulai Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi. Yogyakarta: Hikayat
- Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat
- Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat
7 Komentar. Leave new
Terimakasih pak Suparlan, ini saya cari2 untuk tambahan paper saya meski tidak selengkap yang saya harapkan. Penasaran saya tentang standard kompetensi guru ini..
Malam pak Suparlan,
Di akhir tulisan ini pak Suparlan menyarankan perlunya instrumen untuk menguji kompetensi guru. Mungkin saat tulisan ini dibuat pada 2010 yang lalu belum ada UKG yang berbasis komputer seperti yang telah dilaksanakan secara serempak beberapa waktu yang lalu.
Dalam UKG yang berbasis komputer tersebut, ada dua kompetensi guru yang diuji: paedagogik dan profesional. Sementara itu, seorang guru profesional setidaknya memiliki empat kompetensi: paedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Lalu bagaimana dengan dua komptensi lainnya (kepribadian dan sosial)?
Menurut pak Suparlan, bagaimana semestinya kedua kompetensi yang terakhir saya sebutkan itu diuji?
Terimakasih,,
Anda benar. Waktu itu belum ada UKG yang dilaksanakan oleh LPMP. Karena itu silahkan saja hubungi LPMP untuk empat kompetensi tersebut. Salam.
izin share plus copas Min..
Silakan. Salam, Suparlan.
bermanfaat banget buat aku dan izin share ya,,,,!!!!
Anda guru kah? Silahkan sharing dengan teman-teman guru yang lain. Do the best. Salam.