Oleh: Suparlan *)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2015 – 2020 telah terbentuk. Sangat demokratis, mulus, dan sangat mudah dicontoh oleh organisasi apa pun. Tulisan ini untuk menjelaskan proses dan mekanisme pemilihannya, dan kemungkinan proses tersebut dapat dicontoh oleh organisasi apa pun, misalnya organisasi sederhana seperti RT/RW, DKM, organisasi kemasyarakatan lain.
Medium
Siapa yang tak kenal dan tak tahu Muhammadiyah? Tidak seorang pun warga negeri ini yang tidak kenal dengan NU dan Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah merupakan organisasi dakwah Islam yang dekat dengan rakyat. Gerakan dakwah ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan NKRI. Untuk memilih sosok Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah barang tentu tidaklah semudah yang kita bayangkan. Model pemilihan Ketua Umum, sesuai dengan landasan organisasi yang disepakati, PP Muhammadiyah dipilih melalui muktamar, yakni pertemuan tingkat nasional yang diadakan setiap lima tahun sekali. Saat ini, periode kepengurusan PP Muhammadiyah adalah masa bakti 2015 – 2020. Dalam hal ini Ketua Umum PP Muhammadiyah sebelumnya dijabat oleh Din Syamsuddin yang menjabat dalam dua kali masa jabatan.
Mekanisme
Pemilihan Ketua PP Muhammadiyah[1] dalam muktamar dilakukan secara berjenjang. Jenjang pertama ini adalah penyebaran blangko pendaftaran dengan mengisi kesediaan untuk menjadi Ketua Umum. Dalam pendaftaran ini panitia pemilihan menyebarkan 120 blangko, yang disebar melalui pelbagai media massa. Dari formulir yang disebar secara terbuka tersebut diperoleh 82 nama yang tersaring. Pada sidang tanwir, 82 nama tersebut mengerucut menjadi 39 nama. Pada sidang tanwir berikutnya, 39 nama tersebut dilakukan melalui pemungutan suara yang diikuti oleh 2.389 peserta untuk memperoleh 13 nama. Ketiga belas nama inilah yang kemudian ditetapkan menjadi tim formatur yang akan merumuskan sosok yang akan menjadi Ketua Umum.
Ketiga belas nama tim formatur tersebut menduduki urutan calon Ketua Umum. Urutan Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut disusun berdasarkan besarnya suara. Lima besar urutan suara yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) Haedar Nasir memperoleh 1947 suara, (2) Yunahar Ilyas memperoleh 1928 suara, (3) Dahlan Rais memperoleh 1827 suara, (4) Busro Muqoddas memperoleh 1811 suara, dan (5) Abdul Mukti memperoleh 1802 suara.
Sebagai seorang anggota Muhammadiyah, saya merasa bangga karena proses pemilihan Ketua Umum PP Muhammadiyah berlangsung sangat demokratis dan rasional. Saya sangat yakin bahwa proses pemilihan tersebut tidak akan ada money politic dan black campaign dalam proses pemilihan.
Sehari sebelum pemungutan suara, Ketua Umum yang lama memang menjagokan empat orang yang layak menjadi Ketua Umum yang baru, yakni (1) Syafiq Mughni, (2) Abdul Mukti, (3) Yunahar Ilyas, dan (4) Haedar Nasir. Ternyata kenyataan menunjukkan bahwa dua nama terkhir memang bersaing ketat dalam pengumpulan hasil suara.
Musyawarah mufakat
Haedar Nasir adalah sosok yang mewakili kalangan intelektual. Sosok kelahiran tanah Sunda 25 Februari 1958 ini menempuh pendidikan S2 dan S3 dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Saat ini Haedar Nasir aktif sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Karir dalam Muhammadiyah, Haedar Nasir dirintis melalui Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah pada tahun 1983 -1986.
Sebagaimana diketahui, sosok ini sangat rendah hati meskipun menduduki urutan pertama dalam perolehan suara. Oleh karena itu urutan kedua, Yunahar Ilyas, sempat menyatakan siap menjadi Ketua Umum jika Haedar Nasir tidak bersedia menjadi Ketua Umum. Namun Yunahar Ilyas pun sadar bahwa kemungkinan Haedar Nasir mundur pun sangat kecil. Oleh karena itu, ketika Haedar Nasir menyatakan kesediaan untuk siap memimpin Muhammadiyah, maka proses pemilihan Ketua Umum Muhammadiyah pun sebenarnya sama seperti musyawarah mufakat, karena di antara lima calon yang diunggulkan sebenarnya hanya menang tipis saja.
Model yang dapat ditiru
Model yang mana yang dapat ditiru? Pertama, sikap rendah hati – bukan rendah diri – para calon yang akan bertanding. Karena ternyata para calon tersebut adalah para guru besar perguruan tinggi. Mereka adalah kaum intelektual. Bahkan ustadz dan ulama. Tentu menjadi panutan umat. Oleh karena itu karakter dan perilakunya dapat ditiru. Model pemilihan Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah tentu akan menjadi ukuran dari keseluruhan sosok organisasi maupun warga Muhammadiyah yang dapat diteladani oleh seluruh umat.
Ketika dahulu saya menjadi siswa SPG Negeri Trenggalek, saya pernah tertarik terhadap kesopan-santunan seorang guru paduan suara bergama lain. Kerajinan dan kedisiplinan, serta kelemah-lembutan beliau dalam pergaulan sempat menarik hati. Kemudian saya menemukan organisasi Muhammadiyah dan kemudian mengarahkan ke jalan yang benar. Mudah-mudahan model pemilihan Ketua Umum Muhammadiyah menjadi daya tarik tersendiri bagi organisasi di negeri ini.
Proses pemilihan Ketua Umum PP Muhammadiyah memang lebih mengedepankan musyawarah mufakat. Haedar Nasir sendiri mengatakan bahwa beliau bukanlah yang terbaik yang bersaing dalam proses pemilihan. Dalam hal ini, Din Syamsuddin sendiri menegaskan bahwa sosok Ketua Umum Muhammadiyah terpilih adalah “orang yang dimajukan selangkah dan ditinggikan seranting.” Alhamdulillah.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com. Kritik terhadap tulisan singkat ini akan saya simpan dalam guci emas untuk perbaikan tulisan ini. Terima kasih.
Depok, 9 Desember 2015
[1] Muktamar Muhammadiyah Ke-47, Gatra 19 Agustus 2015.