ArtikelBudaya

Gotong Royong

333 views
4 Komentar
Oleh Suparlan *)
Kabinet Gotong Royong telah dilantik oleh Presiden Megawati Sukarnoputri pada Hari Kamis, tanggal 9 Agustus tahun 2001. Sejak itu kata gotong royong hidup kembali setelah sekian lama nyaris hilang dalam kbasanah bahasa lisan dan tulisan. Memang ia tidak sepenuhnya hilang, karena dalam pergaulan sosial dalam masyarakat, kosa kata itu masih sering kita dengarkan. Frekuensi penggunaannya menurun karena faktor sosekbud.

Penggunaan kata gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mempunyai nilai sejarah tersendiri. Gotong royong menjadi kosa kata favorit yang sering digunakan dalam berbagai kesempatan, pidato, ceramah, pelatihan, rapat RT, sampai dengan ngerumpi dengan tetangga atau kawan dekat. Kosa kata itu digunakan, tidak hanya dalam konteks bidang politik, tetapi dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Tulisan ini akan mengulas beberapa aspek etimologis dan sosiolinguistik kata gotong royong.

Etimologis

Kata ‘gotong royong’ telah menjadi kosa kata Bahasa Indonesia. Bahkan telah masuk dalam kosa kata Bahasa Malaysia (Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan, 1997, hal. 412). Kata itu mungkin masuk ke dalam khasanah perbendaharaan Bahasa Malaysia bersamaan dengan kata ‘berdikari’ (hal. 142), satu istilah yang sama-sama dipopulerkan oleh Bung Karno.

Kata ‘gotong royong’ berasal dari kata dalam Bahasa Jawa, atau setidaknya mempunyai nuansa Bahasa Jawa. Kata ‘gotong’ dapat dipadankan dengan kata ‘pikul’ atau ‘angkat”. Sebagai contoh, ada pohon yang besar roboh menghalangi jalan di suatu desa. Masyarakat mengangkatnya bersama-sama untuk memindahkan kayu itu ke pinggir jalan. Orang desa menyebutnya dengan ‘nggotong’ atau ‘menggotong’. Demikian juga ketika ada seorang anak jatuh ke selokan dekat gardu desa, dan kemudian seseorang mengangkatnya untuk mengentaskan anak itu dari selokan.

Kata ‘royong’ dapat dipadankan dengan ‘bersama-sama’. Dalam bahasa Jawa kata ‘saiyeg saeko proyo’ atau ‘satu gerak satu kesatuan usaha’ memiliki makna yang amat dekat untuk melukiskan kata ‘royong’ ini. Ibarat burung ‘kuntul’ berwarma putih terbang bersama-sama, dengan kepak sayapnya yang seirama, menuju satu arah bersama-sama, dan orang kemudian menyebutnya dengan ‘holopis kuntul baris’.

Kata gotong royong mengalami pasang surut penggunaannya mengikuti arus dan gelombang masyarakat penggunanya. Kata gotong royong telah digunakan oleh semua lapisan masyarakat, dari kalangan birokrat dan pemimpin pemerintahan sampai kalangan buruh tani, tukang ojek, sampai dengan peronda malam di kampung-kampung. Bung Karno sendiri pernah menggunakannya sebagai nama DPR Gotong Royong. Kata ‘gotong royong’ pernah digunakan sebagai nama SMP Gotong Royong di satu kabupaten yang terpencil. Kelompok Reyog Ponorogo menggunakan kata ‘gotong royong’ sebagai nama kelompok kesenian rakyat ini. Bahkan tukang becak, pedagang kaki lima, atau berbagai kelompok masyarakat telah menggunakan kata ‘gotong royong’ dan ikut mempoppulerkan penggunaan kata gotong royong sebagai khasanah perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia.

Sosiolinguistik

Bahasa menunjukkan bangsa. Language is a vital element of culture (Harm J. de Blij dan Peter O. Muller, 1986, hal. 182). Bahasa merupakan unsur budaya yang amat vital. Bahasa merupakan satu unsur dari tujuh faset budaya yang kita kenal. Tak ada budaya tanpa bahasa. Bahasalah yang berfungsi sebagai alat transformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahasa mengekspresikan keadaan lokal, regional, maupun nasional. Tak mungkin kata ‘computer’ berasal dari khasanah kosa kata Bahasa Tengger atau Bahasa Indonesia selalipun. Sebaliknya, tak mungkin kata ‘durian’ berasal dari Bahasa Inggris atau Rusia, karena di daerah itu memang tidak tumbuh tamanan seperti itu.

Kata gotong royong pada awalnya hidup dalam masyarakat yang hidup dalam mata pencarian pertanian tradisional. Ketika orang menggarap tanah, mereka memerlukan tenaga kerja yang banyak untuk mencangkul tanah, menanam benih, mengatur saluran air, memupuk tanaman dan menyiangi tanaman.. Demikian juga pada saat musim panen tiba. Warga masyarakat itu bergotong royong memetik padi, mengeringkannya, serta memasukkannya ke dalam lumbung. Lumbung adalah gudang tempat menyimpan padi. Kata ‘lumbung’ itu sendiri kini sudah mulai jarang dipakai, karena gabah yang sudah kering langsung dijual dan disimpan di dalam gudang.

Kata gotong royong disebut dengan kata yang berbeda-beda antara satu daerah ke daerah yang lain. Bahasa daerah di berbagai suku dalam masyarakat bangsa Indonesia memiliki kosa kata yang bermakna sama dengan gotong royong. Kata ‘mapalus’ adalah padanan kata ‘gotong royong’ yang digunakan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Demikian juga di Bali dikenal dengan istilah ‘subak’, yakni satu bentuk gotong royong dalam sistem pengairan di daerah Bali. Kata yang bermakna sepadan dengan ‘gotong royong’ bleh saja berbeda antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia, namun makna kebersamaan, kerjasama, tolong menolong, saling membantu dengan penuh keikhlasan, akan tetap menjadi nilai yang terkandung dalam kata gotong royong.

Gotong Royong dan Semangat Kerakyatan

Kata ‘gotong royong’ memiliki ciri kerkyatan, sama dengan penggunaan kata-kata demokrasi, persatuan, keterbukaan, kebersamaan, atau kata kerakyatan itu sendiri. Kata ‘gotong royong’ telah menyatukan rakyat dari berbagai kelas dan kelompok menjadi satu kesatuan sosial dan komunitas yang dinamis. Dengan gotong royong, rakyat di suatu pedesaan, atau di suatu komunitas tertentu saling bekerja sama dalam menggarap sawah dan ladangnya, memetik hasil penen, mendirikan rumah, mengadakan hajat sunatan, menantu, atau hajatan lainnya. Dengan gotong royong, masyarakat suatu komunitas di RT atau RW bekerja bakti dalam membersihkan selokan, membangun fasilitas umum (fasum) berupa sarana ibadah, sarana olah raga, sarana bermain untuk anak-anak, dan berbagai macam sarana untuk kepentingan bersama, sampai dengan hal-hal yang terkait dengan urusan pemerintahan dan pembangunan sebaimana terbentuknya Kabinet Gotong Royong yang telah dibentuk oleh Presiden Megawati Sukarnoputri.

Total Football Management dan Surban Nabi

Dalam teori football management, keberhasilan suatu usaha bukan terletak pada seseorang atau sekelompok orang, melainkan oleh seluruh anggota tim yang terjun di lapangan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan berama. Secara maknawi, gotong royong pada hakikatnya bukan hanya memiliki ciri-ciri kerakyatan sebagaimana dijelaskan di depan, malainkan juga merupakan inti dari konsep Total Quaity Management atau yang secara populer disebut sebagai Total Football Management. Naman ini muncul untuk menggambarkan bahwa keberhasilan untuk mencetak ‘goal’ dalam pertandingan sepak bola tidak hanya ditentukan oleh pemain gelandang yang berada di ujung pertahanan, melainkan ditentukan oleh semua pemain, termasuk pemain ‘back’ dan penjaga gawang yang berada di garis belakang pertahanan.

Gambaran tentang keadaan batin dan olah kerja seluruh anggota tim dalam suatu proses manajemen juga dilukiskan dalam proses pengangkatan ‘hajar aswad’ pada saat pembangunan ka’bah. Semua kabilah masing-masing merasa memiliki hak untuk memasang meletakkan ‘hajar aswad’ pada tempatnya. Hal ini menimbulkan konflik yang tak terhindarkan di antara kabilah tersebut. Timbullah gagasan cantik dari Nabi untuk menyatukan semua kabilah itu, dengan cara menggelar surban. Semua pemimpin kabilah diminta oleh Nabi untuk memegang di semua ujung surban itu. Hajar aswad ditelakkan di tengah-tengah surban itu, dan akhirnya terangkatlah sang hajar aswad ke tempatnya oleh semua pemimpin kabilah. Semua kabilah memiliki hak dan peran yang sama untuk bersama-sama meletakkan hajar aswad ke tempat sesuai dengan keingingan bersama. Inilah lagi gambaran ‘gotong royong’ yang sungguh amat cantik telah dipraktikkan pada zaman kenabian.

Akhir Kata

Gotong royong tidak hanya memiliki nilai historis yang sudah dalam dalam kehidupan umat manusia di dunia dan di Indonesia pada khususnya. Gotong royong juga memiliki nilai politis, dan strategis dalam proses manajemen, bukan hanya yang terjadi dalam masyarakat kampung, suatu perusahaan kecil dan perusahaan raksasa, dalam pertandingan sepak bola, melainkan juga dalam seluruh perikehidupan bermasayarakat dan bernegara yang melibatkan elemenp-elemen masyarakat yang amat majemuk, tetapi yang melibatkan elemen-elemen kemanusiaan dan kebangsaan yang multidimensional. Gotong royong, yang apabila dilaksanakan dan digerakkan dengan niat lillahi taala, insyaallah akan membuahkan hasil yang kita cita-citakan bersama. Amin. Wallahu alam.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 12 Agustus 2001

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

4 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts