ArtikelBudayaPendidikan

Cerita Doraemon dari Mana?

152 views
Tidak ada komentar

 Oleh: Suparlan *)

 

Ketika dulu jadi Kasubbab di Bagren, saya suka cerita lucu, Maksudnya agar ada suasana kerja yang enak. Ketika suasana sudah jenuh, seorang punya bahan cerita lucu akan secara otomatis mulai dengan ceritanya. Tak lama kemudian, tertawalah terbahak-bahak hampir semua PNS yang saat itu sebenarnya gajinya sudah lumayan, dibanding dengan gaji guru sebelum sertifikasi. Jika seorang sudah mulai bercerita dan direspon dengan gelak tawa, maka pegawai yang lain akan bertanya “cerita nomor berapa tu?” Oh itu cerita nomor dua puluh tujuh. Kemudian yang lain pun tertawa, dan keluarlah joke joke yang lainnya. Akhirnya joke itu pun seperti tak hentinya.

Tiga polisi jujur menurut Gusdur

Ibarat kacang goreng, joke semacam itu memang sangat renyah. Krispy kata orang kuliner. Sampai dengan masalah sosial-politik, joke-joke semacam itu pun sangat disukai siapa saja. Misalnya, Gus Dur dikenal sebagai presiden yang suka joke. Konon Gusdur mengatakan bahwa hanya tiga polisi yang jujur di negeri ini. Siapa itu? Banyak orang yang menunggu-nunggu jawaban pertanyaan tersebut dengan wajah bengong. Siapa tiga polisi itu? Siapa itu?

Ternyata tiga polisi yang jujur itu adalah Jenderal Hugeng Imam Santoso, dua polisi tidur, dan tiga patung polisi. Heee. Tertawalah orang yang mendengarkan.

Perbedaan NU dan Muhammadiyah

Untuk melahirkan jike Doraemon itu, saya pun harus memulai dengan joke yang saya peroleh dari acara Mata Najwa di televisi tentang perbedaan NU dan Muhammadiyah. Yang tampil dalam acara yang amat popular tersebut adalah PP Nahdlatul Ulama dengan sekretaris PP Muhammadiyah. Sekrektaris Muhammadiyah mengawali dengan pernyataan bahwa antara NU dan Muhammadiyah boleh dikatakan tidak banyak perbedaan lagi. Gap antara keduanya tertutup karena pendidikan. Jika ada dua orang, Muhammadiyah dan NU, yang menempuh pendidikan di satu universitas, maka dia akan belajar kepada dosen yang sama dan mempelajari mata kuliah yang sama. Akhirnya keduanya akan memperoleh pencerahan yang sama, memperoleh learning outcome (capaian hasil belajar) yang sama, dan akhirnya keduanya akan memperoleh pemahaman yang sama tentang konsep yang selama ini dipertentangkan. Mata Najwa pun tidak tahan pula untuk menanyakan perbedaan NU dan Muhammadiyah. Sekretaris PP Muhammadiyah, Dr. Abdul Mukti, pun segera menjelaskan bahwa NU dan Muhammadiyah itu berbeda pandangan dalam hal rokok. Jika ada plakat NO SMOKING di kantor-kantor, maka orang Muhammadiyah mengartikan DILARANG MEROKOK. Sementara orang NU mengartikan NO SMOKING adalah orang NO MEROKOK. Haaaa! Orang pun banyak yang tertawa mencengarkan seloroh tersebut.

Di Kantor juga banyak

Joke semacam itu pun dapat muncul dalam buku yang isinya tentang bisnis, baik yang murni bisnis maupun yang bisnis spiritual. Ternyata, buku berjudul Success Protocol tersebut sebenarnya berisi tentang agama. Karena di dalamnya berisi tentang semua amal manusia ternyata direkam dalam microchip manusia dalam tulang ekornya. Seperti kotak hitam (black box) dalam pesawat udara yang merekam semua peristiwa yang terjadi di dalam pesawat.

Dalam buku Success Protocol karya Ippho Santosa, menyertakan puisi joke. Inilah tanya jawab antara istri dengan suaminya ketika akan berangkat ke kantor. “Pak, itu, nasi gorengnya sudah siap dinikmati, kalau mau berangkat,” pinta istrinya agar memperoleh aleman dari sang suami. Tapi apa jawab suami? “Nggak Bu, ini buru-buru. Nasi goreng seperti itu banyak di kantor.” “Oyalah,” jawab sang istri mulai kesal. “Kalau gitu, itu komi susunya dengan kopi cap luak mumpung masih hangat,” tawaran istri kepada suami yang sudah mulai pegang-pegang tas kantor. Apa jawab suami? “Aduh buru-buru nih” jawab suaminya singkat. “Di kantor itu juga banyak,” tambah suaminya. Karena beberapa tawaran istrinya tidak diterima sang suami, maka akhirnya istri pun akhirnya “ya kalau semuanya nggak, yang sudahlah cium pipi kiriku ini,” sambil mendekat suaminya. Apa jawab suami? Sambil buru-buri merapikan laptop barunya, suami mengatakan “Aduh Bu aku benar-benar buru-buru, nanti harus segera ke bandara.” “Di kantor juga banyak.” Jawab suami sambil ngeloyor ke mobilnya. Pastilah siapa yang mengikuti puisi tersebut akan tertawa terbahak-bahak. Haaaa. Atau malah tidak, karena narasinya kurang pas.

Doraemon dari mana?

Akhirnya kembali ke laptop. Biasa diucapkan Mas Tukul. Tidak seorang pun yang sebenarnya tahu dari mana Doraemon. Ah, dari mana kalau bukan dari Jepang? Dari namanya saja sudah jelas itu dari Jepang. Tidak seperti nama Tukijan, atau Sumiatun, atau nama sejenisnya. Pastilah itu nama orang Jawa. Seperti juga nama Gatot, Tukul, atau nama yang menggunakan awal SU seperti Suparlan, Sukarno, Sukarni, Sutjipto, Supardi, dan sejenisnya, pastilah nama orang Jawa. Waktu masuk Sekolah Dasar, nama saya diterka oleh Kepala Sekolah. Ketika ditanya Kepala Sekolah, saya hanya menyebut LAN. Kemudian Kepala Sekolah menulisnya Suparlan, karena apa? Karena Paklik saya sudah dikenal dengan nama Supardi. Sampai menulis joke ini, nama saya masih tetap dikenal dengan Suparlan. Nama itulah yang tertulis dalam buku Rapor Sekolah Dasar.

Karena nama budaya nama seperti itulah yang menyebabkan orang dapat mudah menebak DORAEMON adalah nama orang Jepang. Tetapi dalam tulisan ini, nama DORAEMON dibuat joke yang berbeda dengan biasanya, yang mudah-mudahan dapat membuat orang lain bisa tertawa terbahak-bahak. Atau setidaknya bisa tersenyum sinis dibuatnya.

Lalu, nama DORAEMON itu sebenarnya dari mana? Beberapa orang teman semakin penasaran untuk segera mengetahui asal usul nama DORAEMON. Akhirnya, sang pembuat cerita joke harus mengatakan bahwa DORAEMON adalah nama orang JAWA. Lho masa iya, DORAEMON dari Jawa? Pembuat joke tidak kalah akal. Karena katanya DORAEMON itu masih sesaudara dengan DHORAMANGAN artinya podho ora mangan artinya sama-sama tidak makan, DHORATURU artinya podho ora turu, DHORANGGENAH, DHORANGGUYU, dan masih banyak yang lain. Haaaaaa! Tertawalah sendirian, sang pembuat joke DORAEMON.

*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com;

 

Depok, 6 November 2015.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Budaya, Pendidikan

Ayo Menyanyi

Oleh: Suparlan *) Saya jadi ingat guru saya di SR (Sekolah Rakyat), namanya Paniran. Sayang, saya belum sempat…