Oleh Suparlan *)
Dunia pendidikan membutuhkan perubahan pola pikir, yakni dari sekadar mengikuti petunjuk mejadi lebih mandiri dan bisa berpikir secara kreatif. Dalam desain manajemen pendidikan berbasis sekolah, sebenarnya sudah memberikan peluang pada pengelola sekolah untuk memberikan apa yang dibutuhkan siswa secara cepat
(A. Malik Fadjar)
Tulisan ini sengaja menggunakan analogi dari novel terkenal ”Robohnya Surau Kami”. Sekalian mengingatkan nama besar novel terkenal itu, kemudian sekalian mengingatkan pentingnya masalah gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai di negeri ini. Berita tentang robohnya gedung SD sering kita dengar beberapa waktu lalu.
Jangan jauh-jauh di Pulau Seribu, dimana Presiden SBY sempat membanting meja kursi di suatu sekolah. Di depan mata kita, di Jakarta ini saja berita semacam itu dapat saja kita dapatkan. Aneh bin ajaib!
Baru-baru ini, penulis memperoleh kesempatan mengikuti proses pembentukan Komite Sekolah yang benar-benar demokratis, transparan, dan akuntabel di SD Negeri Jono 2 dan SD Negeri Wonorejo 2, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah. Pembaca pasti telah mendengar nama besar kabupaten ini, yang konon berhasil dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kabupaten ini berhasil menerapkan konsep layanan publik (public services) satu atap. Tetapi kenyataannya, di kabupaten ini pun masih dapat ditemukan kondisi gedung sekolah yang sebenarnya tidak layak pakai. Gedung SD Negeri Jono 2, yang dahulu sebagai gedung SD Inpres ini, ternyata masih mempunyai sisa dua ruang kelas yang sudah tidak layak pakai, tetapi masih juga dipakai karena tidak ada ruang kelas lain lagi. HP penulis sempat mengabadikan kondisi ruang kelas tersebut berikut ini.
Mengapa Rusak?
Sudah tentu pertama karena faktor umur. Pembangunan SD Inpres pada tahun 1970-an sampai saat ini telah berumur lebih dari duapuluh tahunan. Padahal dahulu pembangunan gedung sekolah itu konon dirancang hanya untuk lima tahunan, dengan harapan agar proyek itu dapat berlangsung terus. Kedua, karena masih lemahnya sistem pemeliharaan yang seharusnya dianggarkan oleh pemerintah, dan seharusnya dilakukan oleh sekolah secara swakelola. Proses pemeliharaan gedung sekolah kurang mendapatkan perhatian oleh sekolah. Maklumlah, orientasi proyek menjadi teramat kental. Menunggu proyek dan perintah dari atasan menjadi pola yang lahir dari pembangunan yang berorientasi kepada proyek. Ada beberapa kelemahan yang terjadi dalam pelaksanaan pembangunan gedung SD pada masa itu. Pertama, penentuan lokasi pembangunan gedung sekolah yang tidak sepenuhnya berdasarkan hasil pemetaan sekolah. Ada SD yang dibangun di tengah-tengah sawah jauh dari pemukiman penduduk. Ada SD yang dibangun terlalu dekat dengan MI yang sebelumnya telah cukup lama beroperasi. Ada SD yang dibangun di daerah rawan longsor. Kedua, banyak SD yang dibangun dengan luas tanah yang sangat terbatas. Ada kesan tidak mempertimbangkan masa depan sekolah. Selain itu juga tidak atau kurang memperhatikan kepentingan ruang untuk bermain dan berolahraga. Ketiga, ada gedung SD yang dibangun kurang memenuhi standar teknis yang ditentukan. Akibatnya, banyak gedung SD yang kini telah dalam kondisi yang rusak berat. Data berikut memberikan gambaran yang lebih jelas bahwa 23,27% ruang kelas SD mengalami rusak berat, 32,27% mengalami rusak ringan. Sementara di SMP kerusakan berat hanya mencapai 4,28%, dan yang rusak ringan mencapai 9,94% saja.
Tabel 1: Kondisi Ruang Kelas SD/MI dan SMP/MTs Tiap Provinsi
No. | Provinsi | SD/MI | SMP/MTs | ||||
RB (%) | RR (%) | Baik (%) | RB (%) | RR (%) | Baik (%) | ||
1 | DKI Jakarta | 4,48 | 14,64 | 80,88 | 2,26 | 9,76 | 87,98 |
2 | Jawa Barat | 32,40 | 36,45 | 31,15 | 5,20 | 10,92 | 83,88 |
3 | Banten | 25,74 | 28,25 | 46,00 | 4,93 | 10,59 | 84,48 |
4 | Jawa Tengah | 18,94 | 38,37 | 42,69 | 1,49 | 7,76 | 90,74 |
5 | DI Yogyakarta | 14,13 | 40,70 | 45,17 | 2,38 | 8,40 | 89,21 |
6 | Jata Timur | 17,55 | 36,87 | 45,58 | 1,96 | 6,37 | 91,67 |
7 | NA Darussalam | 23,25 | 34,91 | 41,84 | 4,21 | 10,93 | 84,86 |
8 | Sumatera Utara | 20,22 | 38,64 | 41,14 | 3,74 | 9,65 | 86,61 |
9 | Sumatera Barat | 18,24 | 38,88 | 42,89 | 4,47 | 10,99 | 84,54 |
10 | Riau | 30,54 | 28,62 | 40,84 | 0,92 | 4,20 | 94,88 |
11 | Jambi | 22,26 | 25,61 | 52,12 | 3,48 | 9,14 | 87,38 |
12 | Sumatera Selatan | 21,74 | 33,17 | 45,09 | 1,90 | 6,50 | 91,60 |
13 | Bangka Belitung | 13,26 | 29,93 | 56,81 | 1,95 | 6,56 | 91,50 |
14 | Bengkulu | 31,56 | 35,66 | 32,78 | 6,61 | 14,08 | 79,32 |
15 | Lampung | 28,70 | 45,60 | 25,70 | 2,86 | 8,83 | 88,31 |
16 | Kalimantan Barat | 28,39 | 33,32 | 38,29 | 2,87 | 9,67 | 87,46 |
17 | Kalimantan Tengah | 30,92 | 31,47 | 37,61 | 1,83 | 3,48 | 94,69 |
18 | Kalimantan Selatan | 27,52 | 33,18 | 39,30 | 3,40 | 11,01 | 85,58 |
19 | Kalimantan Timur | 22,31 | 36,00 | 41,70 | 3,42 | 9,29 | 87,29 |
20 | Sulawesi Utara | 17,16 | 33,04 | 49,79 | 7,23 | 17,40 | 75,37 |
21 | Gorontalo | 21,86 | 32,95 | 48,19 | 7,54 | 12,87 | 79,59 |
22 | Sulawesi Tengah | 34,03 | 33,00 | 32,97 | 3,53 | 6,85 | 89,62 |
23 | Sulawesi Selatan | 19,68 | 31,32 | 48,78 | 4,08 | 11,08 | 84,83 |
24 | Sulawesi Tenggara | 31,99 | 33,12 | 34,89 | 3,74 | 9,01 | 87,25 |
25 | Maluku | 36,24 | 30,98 | 32,78 | 9.57 | 13,74 | 76,69 |
26 | Maluku Utara | 38,07 | 29,50 | 32,43 | 9,46 | 18,72 | 71,82 |
27 | Bali | 20,08 | 35,33 | 44,59 | 4,79 | 10,33 | 84,88 |
28 | NIB | 16,64 | 32,97 | 50,39 | 1,68 | 9,63 | 88,69 |
29 | NTT | 36,68 | 29,37 | 33,96 | 7,40 | 11,94 | 80,66 |
30 | Papua | 23,42 | 25,49 | 51,09 | 9,47 | 8,38 | 82,15 |
Nasional | 24,27 | 32,92 | 42,82 | 4,28 | 9,94 | 85,78 |
Sumber: Statistik SD dan SLTP, 2002, PDIP Balitbangdiknas.
Siapa Bertanggung Jawab?
Inilah kenyataannya. Inikah dampak negatif pembangunan gedung sekolah tempo dulu? Inikah hasil dari kebijakan pemerataan pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan aspek mutunya? Siapa yang harus bertanggung jawab? Kepala sekolah, Komite Sekolah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Dirjen, Mendiknas, ataukah malah Presidennya. Ataukah semuanya ikut bertanggung jawab, sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Banyak pertanyaan yang ingin dijawab dari kondisi ruang kelas yang rusak berat tersebut. Salah satunya adalah siapakah yang paling bertanggung jawab? Yang pertama dan utama adalah kepala sekolah. Yang kedua adalah Komite Sekolahnya. Kedua pihak itulah yang pertama harus bertanggung jawab terhadap kondisi gedung sekolah atau ruang kelas yang rusak berat itu. Cuma masalahnya pola pikir banyak pihak yang selalu masih menunggu petunjuk atasan. ”Kami sudah laporkan semua itu kepada pimpinan”. Itulah biasanya yang menjadi jawaban kepala sekolah. Padahal sesungguhnya semua itu memerlukan pola berfikir dan bertindak secara kreatif. Abdul Malik Fadjar, mantan Mendiknas, pernah menyampaikan bahwa ”dunia pendidikan membutuhkan perubahan pola pikir, yakni dari sekadar mengikuti petunjuk mejadi lebih mandiri dan bisa berpikir secara kreatif. Dalam desain manajemen pendidikan berbasis sekolah, sebenarnya sudah memberikan peluang pada pengelola sekolah untuk memberikan apa yang dibutuhkan siswa secara cepat”. Pertanyaannya, kenapa sampai menjadi rusak seperti itu? “Tidak ada biaya pemeliharaan”, itulah jawaban yang biasa diberikan. Apakah itu salah? Tidak juga, karena masalah itu memang menyangkut sistem penganggaran yang memang kurang memperhatikan aspek yang sangat penting ini, yakni pemeliharaan. Hal ini terkait dengan pola penganggaran tempo dulu. Komponen pengadaan selalu diadakan, tetapi tidak dengan komponen pemeliharaan. Mengingat pentingnya pemeliharaan, pernah muncul proyek yang diberi nama OPF (operasi perawatan fasilitas) yang akhirnya mati juga mati sebelum masalah pemeliharaan fasilitas dapat ditangani secara optimal. Lahir pula apa yang disebut sebagai biaya operasonal pendidikan (BOP), tetapi juga kurang memperhatikan kegiatan pemeliharaan sekolah. Walhasil, yang dimaksud dengan biaya operasional sekolah seharusnya juga menyangkut pemeliharaannya. Oleh karena itu, maka Dana Alokasi Umum (DAU) yang sekarang telah dilimpahkan kepada sekolah seharusnya juga meliputi biaya pemeliharaan. Kalau sistem ini telah mapan, maka masalah gedung sekolah roboh mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi.
Agar Sekolah Tidak Roboh Lagi
Mengingat besarnya masalah gedung sekolah yang telah mengalami kerusakan, khususnya SD, yang telah mengalami rusak berat, akhirnya pemerintah mengeluarkan program yang kemudian dikenal dengan nama Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam buku Petunjuk Teknis Pelaksana Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Penjabarannya Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2007 disebutkan bahwa program ini diarahkan kepada dua kegiatan. Pertama, rehabilitasi gedung/ruang kelas SD/SDLB, MI/Salafiyah, termasuk sekolah-sekolah setara SD yang berbasis keagamaan pelaksana program wajib belajar, baik negeri dan swasta; dan kedua peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar. Pada tahun anggaran 2007, alokasi DAK bidang pendidikan telah ditetapkan sebesar Rp5.195.290.000.000,00 (lima trilyun, seratus sembilan puluh milyar, dua ratus sembilan puluh juta rupiah). Itulah anggaran yang sangat besar untuk membayar kekeliruan kebijakan pada masa lalu?
Pelaksanaan Program DAK
Pelaksanaan program DAK menuntut adanya tanggung jawab dan komitemen bersama antara pemerintah pusat dan daerah. Mendiknas telah menandatangani MOU dengan pemerintah provinsi dan kabupaten untuk ikut bertanggung jawab dalam pembangunan pendidikan di daerah, khususnya dalam pelaksanaan program DAK. MOU itu telah menyepakati anggaran rehabilitasi gedung SD dengan perbandingan 50%, 30%, dan 20% antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Ada beberapa daerah menyepakati 60%, 20%, dan 20%. Ini merupakan pendekatan baru dalam mobilisasi pembiayaan pendidikan, khususnya untuk rehabilitasi gedung sekolah. Dengan demikian, pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan pemerintah daerah secara sinergis.
Pemerintah provinsi memiliki tugas dan tanggung jawab dalam: (1) koordinasi sosialisasi, (2) pengawasan, supervisi, monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan DAK di kabupaten/kota, (3) melaksanaan pemetaan sekolah (school mapping), (4) evaluasi pelaksanaan DAK selama 4 (empat) tahun berjalan (2003, 2004, 2005, dan 2006), dan menyusun rencana alokasi biaya untuk menyelesaikan siswa sekolah atau ruang kelas SD/SDLB dan MI yang belum terselesaikan, (5) membuat laporan, dan (6) meningkatkan kontribusi dana dari APBD provinsi.
Sementara itu, pemerintah kabupaten/kota memiliki tugas dan tanggung jawab dalam hal: (1) menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari nilai DAK yang diterima, (2) menyediakan dana untuk biaya umum seperti perencanaan, sosialiasasi, pengawasan, dan biaya operasional lainnya, (3) besaran dana tersebut harus ada dalam DIPDA/DASK, (3) menetapkan nama-nama sekolah/madrasah penerima DAK, (4) menyampaikan laporan triwulananan, (5) melakukan evaluasi pelaksanaan DAK selama 4 (empat) tahun berjalan (2003, 2004, 2005, dan 2006). Hal yang sejalan juga untuk Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan pelaporan program DAK secara hirerkis tatap menggunakan jalur pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Namun dalam pelaksanaannya, kepala sekolah dan Komite Sekolah menjadi aktor pelaksana di lapangan. Dalam buku petunjuk teknis disebutkan sebagai berikut: “Kepala Sekolah/Madrasah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan program DAK di tingkat sekolah. Dalam menjalankan tugasnya kepala sekolah dibantu oleh Komite Sekolah/Majelis Madrasah” (Buku Petunjuk Teknis, 2007: 17). Dalam hal ini, Komite Sekolah/Madrasah tetap memiliki peran sesuai dengan Kepemendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yakni (1) memberikan pertimbangan, (2) memberikan dukungan, (3) melakukan pengawasan, dan (4) mediator.
Refleksi
Rencana telah disusun sedemikian rupa. Komitmen dan kerja sama antara pemerintah dan pemerintah daerah juga telah dibangun sedemikian rupa. Bagaimana pelaksanaannya di lapangan sering tidak semulus yang diharapkan. Empat tahun program DAK telah diluncurkan dengan dana yang tidak sedikit. Benarkah dana itu telah berdampai positif untuk menunjang penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun? Benarkah gedung sekolah kita tidak lagi ada yang roboh setelah DAK dilaksanakan? Laporan pelaksanaan DAK selama 4 (empat) tahun masih kita tunggu dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Harapan masyarakat, setelah DAK diluncurkan, gedung sekolah dasar kita tidak akan roboh lagi. Kita tidak ingin mendengar berita robohnya gedung sekolah kami di televisi. Mudah-mudahan.
Bahan Bacaan:
- Wardiman Djojonegoro. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Petunjuk Teknis Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Penjabarannya Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2007.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 2 Juni 2007.