Oleh Suparlan *)
Dengan ilmu kehidupan menjadi baik, dengan seni kehidupan menjadi halus, dan dengan agama hidup menjadi terarah dan bermakna.
(Mukti Ali).Education should be thought of as the process of man’s reciprocal adjustment to nature, to his fellows, and to the ultimate nature of the cosmos. Pendidikan harus difikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan akhirnya terhadap alam raya ini.
(Brubacher).Mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri.
(M.J. Langeveld)
Akhir-akhir ini istilah dehumanisasi pendidikan sering dilontarkan di media masa oleh para pengamat an praktisi pendidikan. Beberapa di antaranya ada secara tersirat dalam tulisan bertajuk ‘sekolah yang membunuh siswanya’ dan malpraktik dalam dunia pendidikan’. (Kompas, 16 Mei 2005). Penggunaan istilah dehumanisai itu mengisaratkan sebagai kritik terhadap beberapa kebijakan pendidikan yang dewasa ini telah dinilai melenceng dari konsep pendidikan yang sebenarnya. Immanuel Kant menyatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menurut konsep ini, anak manusia harus dididik oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam nuansa kehidupan manusia. Dengan cara itu, anak manusia itu akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya. Cerita Kama dan Kamala di India yang mengisahkan bahwa dua anak manusia yang dipelihara oleh serigala di hutan belantara, jelas-jelas hanya akan menghasilkan manusia serigala, bukan manusia seutuhnya.
Tulisan ini menjelaskan tentang pengertian dehumanisasi pendidikan, beberapa konsepsi dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang dekat dengan kategori sebagai dehumanisasi pendidikan.
Pengertian humanusasi dan dehumanisasi
Dua istilah tersebut bermakna sebagai lawan kata. Humanisasi artinya proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia. Sedang dehumanisasi mempunyai arti sebaliknya, yakni proses menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodrat nya sebagai manusia. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengertian humanisasi dan dehumanisasi, berikut ini akan diberikan contoh sederhana. Ketika ada praktik pendidikan yang memberlakukan anak manusia sebagai burung beo, dimasukkan ke dalam kandang atau tempat yang berjeruji, dengan proses pelatihan agar anak manusia itu dapat menirukan atau dapat melaksanakan sesuai dengan instruksi tertentu, maka praktik pendidikan ini dapat dikategorikan sebagai proses dehumanisasi dalam pendidikan. Sama halnya dengan praktik pendidikan yang memandang anak manusia sebagai obyek didik, yang dapat diperintah seenaknya seperti robot dengan satu-satunya metode indotrinasi, yang memandang peserta didik sebagai masukan kasar (raw input) seperti halnya gandum yang akan diproses dalam proses produksi massal di sebuah pabrik roti, dan produksinya memiliki standar kualitas yang sama dan seragam, maka praktik pendidikan seperti itu sudah menjadi atau minimal dipengaruhi oleh proses dehumanisasi pendidikan. Jika proses pendidikan dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan indovidual anak, baik perbedaan dari aspek fisik maupun mentalnya, maka proses pendidikan seperti itu dapat dikategorikan sebagai dehumanisasi pendidikan. Jadi, sebenarnya praktik dehumanisasi boleh jadi tidak dalam bentuk kebijakan pemerintah, melainkan dapat saja muncul dari praktik pelaksanaan pembelajaran, atau dari proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sudah barang tentu, malpraktik pendidikan atau pelanggaran hak azasi manusia dalam pendidikan dapat disebut sebagai dehumanisasi dengan berbagai tingkatannya.
Sebagaimana kita fahami selama ini, yang seharusnya pendidikan harus menjadi proses humanisasi manusia, karena manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mendidik dan didik (educandum dan educabile).
Manusia dan kehidupannya
Manusia merupakan mahluk hidup yang tertinggi derajatnya. Allah SWT telah menitahkan manusia menjadi khalifah di muka bumi karena ketinggian derajatmua itu. Setiap manusia dilahirkan ke muka bumi sesuai dengan fitrahnya, dapat diartikan dengan potensi dasar berupa bakat dan kemampuanya. Bakat dan kemamuan manusia yang berbeda-beda itulah yang kini dikenal dalam teori Howard Gardner dengan apa yang dikenal dengan kecerdasan ganda (multiple intelligence). Manusia memang bersifat unik. Sama dengan cap jari yang mereka miliki, maka tidak pernah ada manusia yang sama antara satu dengan yang lainnya, meski mereka kembar sekalipun. Itulah sebabnya maka pendidikan seharusnya dimaknai sebagai upaya sadar untuk mengembangkan manusia sesuai dengan kecerdasannya, atau sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Hal itu sesuai dengan empat pilar pendidikan menurut UNESCO, yakni (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning live together. Dengan demikian, maka pemdidikan akan menjadikan manusia untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan, memiliki keterampilan, menjadi dirinya sendiri sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta dapat hidup bersama dengan sesamanya.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, manusia tidak akan dapat menjadi manusia seutuhnya, jika tidak melalui proses pendidikan oleh manusia, dengan cara manusia, dan dalam suasana kemanusiaan. Education should be thought of as the process of man’s reciprocal adjustment to nature, to his fellows, and to the ultimate nature of the cosmos. Pendidikan harus difikirkan sebagai proses penyesuaian timbal balik manusia dengan alam, dengan manusia lain, dan akhirnya terhadap alam raya ini (Brubacher). Selaras dengan pendapat tersebut, pakar pendidikan lain memberikan penegaran bahwa ‘mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri’ (M.J. Langeveld). Pakar pendidikan lain lagi juga menyatakan bahwa “mendidik ialah membantu anak supaya anak itu kelak cakap menyelesaikan tugas hidupnya atas tanggungan sendiri’ (Hoogveld). Pakar lainnya lagi menyatakan hal yang sama, ‘mendidik ialah membantu manusia dalam pertumbuhannya agar ia kelak mendapat kebahagiaan batin yang sedalam-dalamnya yang dapat tercapai olehnya dengan tidak mengganggu orang lain’ (Sir Heyster).
Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, maka proses pendidikan terkait erat dengan proses kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu proses pendidikan tidak boleh tidak harus berlangsung secara manusiawi dengan proses yang memanusiakan (humanisasi), dan bukan sebaliknya, yakni dehumanisasi.
Umur pendidikan memang sudah setua umur umat manusia itu sendiri di muka bumi. Proses pendidikan juga telah mengalami perkembangan seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat yang mengampunya. Dalam sejarah pendidikan, terjadi adanya perkembangan paradigma. Ada era yang disebut sebagai era ‘escole’ yang lebih alamiah dan batiniah. Era itu berubah menjadi era ‘school’ yang lebih mementingkan aspek akademis dan IPTEK. Ada proses pendidikan yang lebih mementingkan aspek kepribadian dan mental spiritual, ada proses pendidikan yang lebih mementingkan aspek akademis dan ilmu pengetahuan, dan ada pula proses pendidikan yang lebih mementingkan aspek keterampilan badaniah atau bodily kinesthetics. Bukankah semua itu diperlukan dalam kehidupan. Jawabannya ya, karena sesuai dengan kebutuhan kehidupan dalam masyarakat. Itulah sebabnya maka manusia perlu melahirkan adanya berbagai macam kebijakan pendidikan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tidak boleh melanggar kaidah dasar bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi tersebut. Hal ini tercermin dalam rumusan tujuan pendidikan nasional dari masing-masing negara.
Pengaruh prositif dan negatif dari era revolusi industri terhadap pendidikan
Faham kapitalisme berpengaruh terhadap sistem pendidikan di suatu negara. Lahirnya teori educational producttion process dalam pendidikan yang memandang proses pendidikan sama dengan proses produksi di sebuah pabrik. Anak didik dipandang sebagai masukan kasar (raw input), sekolah adalah sebagai pabriknya, sedang guru, kurikulum, buku, dan fasilitas pendidikan lainnya sebagai masukan instrumental (instrumental input), kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan aspek pertahanan keamanan merupakan masukan lingkungan (environmental input). Semua masukan kasar dan instrumental tersebut akan mempengaruhi keluaran yang diharapkan (output) dan hasilnya (outcomes).
Pandangan tersebut memang memiliki pengaruh positif dalam menghasilkan keluaran atau output secara massal yang memiliki standar tertentu. Semua komponen dalam sistem telah terstandar. Oleh karena itu hasilnya diharapkan juga akan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Kesalahan yang terjadi adalah mutu produk sering dikaitkan dengan mutu instrumentalnya. Jika gurunya bagus, kurikulumnya juga bagus, dan gedung sekolah, buku, dan fasilitas lainnya bagus, maka diharapkan hasilnya juga akan bagus. Namun, apa yang terjadi dalam praktik dan kenyataan. Guru telah ditingkatkan kompetensinya melalui berbagai jenis pendidikan dan pelatihan. Kurikulum telah diubah, dan fasilitas pendidikan juga telah dibangun dan dilengkapi. Kenyataannya, keluaran dan hasil pendidikan tidak pernah naik secara signifikan. Hal tersebut tejadi karena yang digarap hanya instrumental input-nya. Proses pendidikan di dalam kelas tidak terjadi proses humanisasi, melainkan dehumanisasi. Anak dipandang sebagai botol kosong yang diisi dengan muatan yang sama. Proses pembelajaran tidak terjadi secara edukatif, tidak menyenangkan, dan kelas bahkan lebih cenderung sebagai penjara, tidak PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan).
Dalam pendidikan sekolah, yang sering dilupakan adalah prosesnya, yang sebenarnya amat ditentukan oleh aspek manusianya, bukan mesin seperti dalam dunia industri (meski dalam dunia industri pun manusia juga memegang peranan penting). Proses dalam dunia pendidikan amat memegang peranan penting, karena yang diproses adalah manusia, yang memproses juga manusia. Akibatnya, sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh faham kapitalisme ini menganggap peserta didik adalah obyek, bahkan sering disebut untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) amat dekat dengan konsep dehumanisasi pendidikan. Proses pendidikan yang terjadi lebih menghasilkan manusia kuli atau manusia robot dengan standar yang ditentukan oleh kaum pemegang modal (kapitalis). Inilah aspek negatif yang ditimbulkan oleh paham kapitalistik dari era revolusi industri tersebut. Manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia secara pribadi (subyek). Inilah hakikat dehumanisasi dalam pendidikan (Intisari pengarahan Menteri Pendidikan Nasional, Bapak Bambang Sudibyo, pada acara pembukaan Lokakarya Pengembangan Pendidikan Seni, di PPPG Kesenian Yogyakarta, tanggal 23 Mei 2005).
Indikasi adanya gejala dehumanisasi dalam kebijakan pendidikan di Indonesia
Tidak semua kebijakan pendidikan di Indonesia menunjukkan adanya indikasi terjadinya dehumanisasi pendidikan. Kebijakan Sekolah Rakyat dengan kurikulum dengan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar merupakan bentuk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Adanya mata pelajaran ‘pekerjaan tangan’ dan ‘hari krida’ untuk berkebun di Sekolah Rakyat tempo dulu juga merupakan kebijakan yang selaras dengan kondisi dan kebutuhan lokal pada masa itu. Lahirnya kurikulum terintegrasi (fusi mata pelajaran) pada tahun 1968 merupakan satu bentuk kebijakan pendidikan untuk mengendalikan agar mata pelajaran tidak terlalu bersifat akademis dan terlepas dari hidup dan kehidupan manusia (contextual teaching and learning atau dikenal dengan CTL). Kebijakan sekolah pembangunan yang dilahirkan oleh Komisi Pembaharuan Pendidikan, juga tidak terlepas dari upaya dan kepentingan untuk lebih memperhatikan peserta didik yang memang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih. Ketika itu lahirlah sistem modul yang digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan sistem modul ini, siswa yang lebih cepat belajar akan lebih cepat menyelesaikan pelajarannya. Sayangnya, kompetisi seperti itu hanya berlaku dalam bidang akademis, tidak berlaku dalam bidang nonakademis. Jalur pendidikan keterampilan di SMA tidak pernah hidup. Sebenarnya di sini telah mulai adanya indikasi dehumanisasi, karena siswa yang memiliki bakat dan kemampuan nonakademis seperti seni musik, seni rupa, seni tari, dan olah raga tidak memperolah hak dan perhatian sebagaimana mestinya. Kelahiran kebijakan pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) dan Pendidikam Moral Pancasila (PMP) sebenarnya merupakan keinginan untuk memperbaikai aspek kepribadian dan moralitas bangsa melalui pendidikan. Konsep ini mengalami kemacetan dalam perjalanannya, karena model indoktrinasi dalam proses pembelajarannya kemudian dihadang secara pelan tapi pasti oleh derasnya arus informasi, demokratiasi, globasisasi, dan reformasi, yang terjadi di belahan bumi mana pun juga.
Kebijakan tentang sekolah unggulan yang pernah muncul, dan yang kini dicoa untuk dibangkitkan kembali dengan pola sekolah global, sekolah (SMP dan SMA) dengan standar nasional dan standar internasional, TK/SD model, sebenarnya merupakan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan yang makin hari makin tertinggal jauh dengan sekolah-sekolah internasional yang semakin hari semakin diminati oleh masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi. Model sekolah seperti ini dapat masuk dalam kategori dehumanisasi jika kebijakan itu tidak memiliki perhatian yang adil bagi mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi yang rendah. Pada umumnya keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk meningkatkan mutu pendidikan anaknya. Maka muncullah masalah jurang pemisah antara yang mampu dengan yang miskin. Dari sinilah muncul indikasi dehumanisasi, karena faktor sosial ekonomi. Ada kesan kuat pemerintah lebih memperhatikan pendidikan untuk kalangan yang mampu dari aspek sosial ekonomi, akibat dari kebijakan seperti itu. Timbulnya gagasan kebijakan baru tentang sekolah mandiri dan sekolah standar sebenarnya dilatarbelakangi untuk lebih memperhatikan kalangan yang tidak mampu, agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan akademis dan kemampuan ekonomisnya. Untuk itulah maka ditemukan peta keadaan pendidikan di negeri ini seperti ini, yang melahirkan gagasan tersebut. Dari sinilah muncul kritik tajam tentang isu keadilan dan dehumanisasi dari kalangan praktisi pendidikan. Jika penggolongan ini tidak dalam bentuk lembaga pendidikan yang terpisah, memang akan menjadi proses alineasi dari kalangan keluarga mampu dan tidak mampu. Dan ini akan sangat berbahaya karena bisa menimbulkan konflik sosial yang berbahaya. Tetapi, jika penggolongan itu hanya terbatas untuk digunakan dalam membangun sistem pemberian beasiswa untuk siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu, maka sistem ini tidak dapat diindikasikan dengan isu ketidakadilan dan dehumanisasi. Bukankah untuk memberikan beasiswa kepada siswa memang diperlukan data tentang prestasi akademis dan nonakademis siswa? Ketika negara masih memiliki anggaran yang terbatas, maka beasiswa tersebut hanya akan diberikan bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang rendah, supaya tidak mengalami DO. Sementara siswa yang berasal dari keluarga yang mampu dinilai telah dapat meneruskan pelajarannya sesuai dengan tingkat kemndiriannya.
Akhir kata
Dalam era reformasi sekarang ini, kritik terhadap kebijakan memang perlu diberikan. Kebijakan pendidikan yang terindikasi mengandung isu ketidakadilan dan dehumanisasi memang perlu dicermati. Tetapi, terlalu buru-buru memberikan penilaian bahwa suatu kebijakan itu bersifat tidak adil dan dehumanisasi, sudah barang tentu juga tidak bijak. Dehumanisasi pendidikan memang perlu dihindari, karena hakikat dasar pendidikan adalah proses humanisasi pendidikan.
Memang, kelahiran kebijakan pendidikan di Indonesia mungkin yang perlu dikritisi secara baik. Kebijakan merupakan kesepakatan kolektif. Oleh karena itu, kebijakan pendidikan seyogyanya dilahirkan oleh sebuah tim para ahli, seperti Komisi Pembeharuan Pendidikan tempo dulu. Dari sanalah lahir kebijakan yang telah dikaji secara mendalam, dan kemudian dilaksanakan oleh Menteri Pendidikan Nasional dengan jajarannya. Beberapa kebijakan pendidikan, seperti sekolah unggulan, link and match, life skills, memang tidak secara khusus dihasilkan oleh sebuah tim yang solid yang secara sengaja ditugasi oleh pemerintah untuk melahirkan kebijakan publik tersebut. Akibatnya sudah jelas, yakni kelahiran pomeo ‘ganti menteri ganti kebijakan’, termasuk kritik dehumanisasi dan ketidakadilan terhadap kebijakan publik tersebut. Wallahu alam bishawab.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com. Plh. Kepala PPPG Matematika Yogyakarta.
Yogyakarta, 24 Mei 2005