***
Sekolah sebagai taman yang menyenangkan bagi anak-anak
(Anies Baswedan)
***
Saya baru saja tiba di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta. Turun dari lift lantai 5 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Terlihatlah tayangan televisi yang dipasang di tembok yang kokoh di antara pintu yang berjajar pada lift di gedung itu. Terlihatlah tayangan tentang gedung SD Negeri Giligenteng, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur, yang sedang didemo oleh penduduk setempat yang mengaku sebagai pemilik tanah sekolah itu. Berhentilah sejenak saya melihat tayangan itu.
SEKOLAH INI DITUTUP. Demikianlah bunyi tulisan tangan yang baru saja dipasang di pintu gerbang sekolah SD Negeri Giligenteng Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pemilik tanah yang merasa sebagai pemilik tanah tempat berdirinya sekolah itu, telah memasang tulisan itu pada hari ini Selasa, tanggal 8 April 2015. Pertanyaannya, hari begini kok masih ada saja sekolah yang tanahnya bermasalah? Hari begini kok masih ada sekolah yang belum memiliki otentik kepemilikan tanah. Padahal tanah itu kelihatan telah lama didirikan bangunan sekolah yang cukup besar. Sembari menunggu apa yang terjadi dengan aksi penutupan sekolah oleh penduduk desa yang mengaku sebagai pemilik tanah, anak-anak SD, lengkap dengan baju seragam merah putih, saling bergerombol di depan sekolah. Demikian juga dengan para guru di sekolah itu, lengkap baju seragam coklat mudanya.
Jauh dari suasana yang menyenangkan
Saya baru saja sadar dan ingat satu konsep sekolah sebagai taman yang menyenangkan bagi anak. Konsep ideal tersebut baru saja diluncurkan oleh Menteri Anies Baswedan. Demikiankah sekolah yang diharapkan? Tentu saja bukan. Bahkan bukan sekolah yang terkena ancaman dari beberapa orang yang mengaku sebagai pemilik tanah tempat ia bersekolah. Meski tidak ancaman fisik dari beberapa orang itu, tentu akan masuk ke dalam jiwanya tentang suasana yang sama sekali tidak menyenangkan baginya.
Terlihatlah wajah anak-anak yang bergerombol di depan sekolah yang pagarnya telah ditutup paksa oleh empunya tanah. Hilang sudah wajah ceria mereka. Yang tampak adalah wajah cemberut, dengan pertanyaan yang tidak terjawabkan. Mengapa sekolahku ditutup dengan paksa oleh orang-orang itu? Padahal orang-orang itu sudah tentu adalah para tetangganya juga. Boleh jadi mereka juga orang tua teman-teman mereka yang bersekolah di sekolah itu. Lalu, mengapa mereka harus menutup paksa sekolahnya?
Ada apa gerangan. Pikiran mereka tidak sejauh itu dapat menjelaskan teka-teki ini. Sudah tentu ini menjadi peristiwa yang tidak menyanangkan. Susana ini sudah tentu jauh dari suasana yang diinginkan. Lalu, para guru pun pasti akan bertanya-tanya tanpa jawaban. Demikianlah suasana psikologis para siswa, guru, yang bergerombol di depan sekolah yang sedang ditutup paksa oleh yang merasa empunya tanah. Suasana haru ini ikut menyebabkan saya, sebagai mantan guru SD, juga merasa prihatin terhadap peristiwa ini.
Gedung sekolah, begitu pentingkah?
Sebenarnya, komponen sarana dan prasarana pendidikan hanyalah merupakan komponen pendukung (supporting components) saja. Komponen pendidika utamanya adalah peserta didik, kurikulum, dan guru. Mengapa disebut komponen utama? Karena, kalau tidak ada siswa, siapakah yang akan diajar? Kalau tidak ada kurikulum, apa yang akan diajarkan? Dan, kalau tidak ada guru, siapa pula yang akan mengajar? Lalu, mengapa gedung sekolah dan sarananya hanyalah sebagai komponen pendukung? Karena, kita dapat memberikan pelajaran kepada anak-anak di bawah pohon yang rindang, duduk di tanah, tidak pakai meja kursi, bahkan tidak perlu papan tulis. Kita dapat melaksanakan proses pendidikan dalam alam yang luas. Maka lahirlah konsep sekolah alam.
Meki demikian, pada saat ini gedung sekolah itu sudah berdiri. Unit gedung baru (UGB) sudah lama didirikan. Bahkan ruang kelas baru (RKB) sudah waktunya dibangun untuk menampung siswa yang semakin giat untuk belajar. Oleh karena itu, masalah tanah sekolah yang belum tuntas dalam proses ganti ruginya sudah harus diselesaikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Apa boleh dikata
Pada hari ini, satu peristiwa telah terjadi. Satu lagi gedung sekolah yang telah ditutup oleh pemilik tanah. Boleh jadi peristiwa ini bukan hanya di sini. Ibarat gunung es di kutub Utara, yang terlihat di puncak memanglah kecil saja. Tetapi, siapa tahu di dasarnya ternyata besar sekali. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mencari tahu masalah ini, dan menyelesaikan masalahnya dengan tuntas. Kita tidak ingin peserta didik bak anak ayam telah kehilangan induknya. Dahulu banyak peristiwa robohnya sekolah kami. Sekarang terjadi ditutupnya sekolah kami. Biarlah ini menjadi peristiwa yang terakhir.
Sekolah efektif
Saya teringat konsep sekolah efektif menurut Dr. Larry Lazotte dalam www.education.com yang menjelaskan tentang What Makes School Effective. Sekolah efektif memiliki tujuh pilar, yakni:
1) Be a Safe and Organized Place
2) Set High Expectation for Students
3) Have a Relatable Leadership
4) State a Clear Mission
5) Provide Opportunity to Learn
6) Monitor Student Progress
7) Build a True Partnership between Home and School.
Yang dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai berikut:
1) Jadikan tempat yang aman dan terorganisasi dengan baik
2) Bikin harapan yang tinggi bagi peserta didik
3) Miliki kepemimpinan yang dapat berganti-ganti
4) Nyatakan misi yang jelas
5) Sediaan kesempatan untuk belajar
6) Monitor kemajuan peserta didik
7) Bangun kerja sama yang benar antara keluarga dan sekolah
Ketujuh pilar tersebut memang perlu diperjelas. Tapi tidak sekarang. Perlu ditulis dalam buku yang lebih leluasa untuk menjelaskannya.
Kapankah sekolah-sekolah kita dapat memiliki tujuh pilar tersebut di suatu saat nanti, sehinga sekolah-sekolah di negeri ini dapat menjadi sekolah efektif? Bagaimana pula dengan sekolah yang satu ini? Yang gedung sekolahnya terpaksa harus ditutup oleh orang-orang yang mengaku memiliki tanah tempat sekolah itu dibangun?
Sebenarnya, yang mengetahui seluk beluk sekolah itu adalah kepala sekolahnya, Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dan sudah barang tentu termasuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolahnya sebagai representasi dari masyarakat tempat anak-anaknya menuntut pelajaran di sekolah itu. Seharusnya kita hanya dapat bertanya kepada mereka semua untuk mengetahui mengapa mereka menutup paksa sekolah itu. Dari jawaban mereka itulah kemudian dapat dicari upaya untuk memecahkan masalahnya. Mudah-mudahan.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com.
Depok, 8 April 2015