ArtikelPendidikan

Penghargaan Terhadap Prestasi

374 views
Tidak ada komentar

***

Right or wrong my country, lebih-lebih kita tahu, Negara kita dalam keadaan bobrok, maka justru saat itu pula kita wajib memperbaikinya
(Prof. R Soeharso)

Kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan ataupun gaji yang tinggi
(Supriyadi)

***

Pertemuan dengan seseorang yang masih berusia tengah baya bernama Aditya memang begitu tiba-tiba. Saya naik taksi “EXPRESS” dan Adityalah sopir taksi itu. Saya naik taksi dari Lenteng Agung Jakarta Selatan ke Senayan. Saya biasa ngobrol dengan sopir taksi agar tidak mengantuk selama di dalam taksi. Maklum aja, udara dalam taksi terasa lebih sejuk, dan duduk pun terasa nyaman, telah mengundang rasa kantuk dalam perjalanan.

Saya membuka pertanyaan tentang masalah gugatan Pilpres 2014. Boleh jadi gugatan Pilpres itu benar. Sejak awal, jumlah calon pemilih pun seperti tidak tuntas benar. Apalagi jumlah pemilih yang besar, tentu akan menjadi beban tugas yang teramat berat bagi KPU. Kondisi geografis pun menjadi kendala yang besar pula. Pendek kata, pekerjaan yang berat ini akan menjadi resiko yang besar pula bagi KPU. Bayangkan, boleh jadi para petugas lebih sering tidak tidur malam lantaran harus menyelesaikan tugas yang berat itu.

Saya jelaskan, masalah dimulai dari deklarasi salah satu Timses Capres yang keburu-buru membanggakan kemenangannya atas dasar quick count dari lembaga survei yang diyakini “benar” secara statistik. Saling mendeklarasikan kemenangan pun terjadi. Untung presiden SBY alhamdulillah cepat tanggap. Kedua capres dipanggil dengan pesan penting “menahan diri”. Kalau tidak, maka adu kekuatan pendukung dan relawan dari masing-masing kubu bisa saja menimbulkan bentrok secara horizontal. Indikasi sudah terjadi. Untung, bulan Puasa Ramadhan telah mengajarkan umat agar dapat “menahan diri”, dan alhmdulillah tidak sampai terjadi bentrok secara horizontal.

Penghitungan “real count” pun akhirnya dilanjutkan dalam suasana saling beradu referensi dan argumentasi berdasarkan hasil “quick count” masing-masing kubu. Meski “real count” yang dilakukan oleh KPU telah menghasilkan kemenangan dari salah satu kubu, tetapi kubu yang lain pun menilai hasil “real count” oleh KPU dinilai adanya dugaan kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif selama penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014, yang ujung-ujungnya salah satu kubu telah mengajukan gugatan kepada MK.

Cerita ini saya tutup dengan harapan agar lebih baik kubu yang mengajukan gugatan itu biar mengalah saja, karena kalau pun tuntutannya dikabulkan, apa kubu lawan tidak akan menuntut lebih besar dan berat lagi? Ujung-ujungnya rakyat di kalangan bawah yang akan bentrok. Tetapi harapan pesimis ini pun dapat dibantah dengan alasan “agar dapat menjadi pembelajaran dalam membela kebenaran”. Bagaimana? Wallahu alam.

Inilah ujung pembicaraan saya dengan sopir taksi yang bernama Aditya itu. Aditya ternyata terpancing ketidakkpuasannya kepada pihak tertentu, karena ia menilai nasibnya saat ini adalah sebagai akibat dari ketidakadilan terhadap dirinya sebagai mantan atlet nasional. Kalau dihitung-hitung, banyak mantan atlet nasional di negeri ini yang mengalami nasib miring seperti Aditya ini. Sebut saja, misalnya Elias Pical, mantan atlet tinju, mengalami nasib lebih tragis, karena konon terkena kasus narkoba. Sebut saja atlet yang nasibnya jauh  lebih baik karena dimanfaatkan negara asing sebagai pelatih profesional tentu saja dengan gaji yang wah, namun dengan resiko telah kehilangan rasa nasionalismenya, karena tidak lagi membawa nama bangsa dan negara.

Aditya, seorang mantan atlet nasional balap sepeda. Demikian akunya. Aditya telah rela menjadi sopir taksi, yang kalau ditelusuri lebih dalam lagi, sebenarnya terjadi karena rendahnya penghargaaan pemerintah terhadap prestasi seorang atlet nasional. Rendahnya penghargaan terhadap prestasi di negeri ini.

Tetapi, hasil penelusuran ini pun akan berjumpa dengan salah satu prinsip yang luhur yang sebenarnya harus dijunjung tinggi sebagai berikut:

Pertama, “Right or wrong my country, lebih-lebih kita tahu, Negara kita dalam keadaan bobrok, maka justru saat itu pula kita wajib memperbaikinya” (Prof. R Soeharso). Kalau pun negara kurang menghargai prestasi seorang atlet, katakanlah keadaan negara kita dalam keadaan bobrok, tidak mempunyai anggaran cukup untuk memberikan penghargaan kepada mereka, atau belum mempunyai sistem untuk memberikan penghargaan kepada warga negara yang berprestasi, maka siapa lagi yang harus memperbaikinya, kecuali kita sendiri pula. Akhirnya kita perlu menyadari bahwa “kita harus tetap mempunyai kebanggaan bahwa prestasi merupakan bentuk pengabdian kita kepada negara”

Kedua, Pahlawan kita Supriadi menyatkan bahwa kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan ataupun gaji yang tinggi. Demikian juga menjadi atlet nasional. Prestasi yang tinggi tidak dalam ukuran tingginya pangkat dan kedudukan maupun gaji.

Memang, prestasinya yang tinggi sebagai atlet nasional sebaiknya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk pembinaan profesional berkelanjutan bagi calon-calon atlet nasional berikutnya. Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi bahan pelajaran bagi semua pihak, termasuk kepada saudaraku Aditya, seorang mantan atlet nasional yang kebetulan bertemu di dalam taksi, sebagai sopirnya. Salam.

Depok, 8 Agustus 2014.

 

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts