ArtikelDunia Islam

Kuliah Tertulis Ramadhan Hari Ketiga: Makna Ramadan

133 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Setiap amal anak Adam adalah untuk anak Adam itu sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu bagi-Ku, dan Aku membalasi puasa itu
(HR Bukhary)

Puasa itu melatih ”tidak” karena kehidupan sehari-hari kita adalah melampiaskan ”ya”. Sekurang-kurangnya mengendalikan ”ya”. Mental manusia lebih berpihak pada ”pelampiasan” dibanding ”pengendalian”
(Emha Ainun Najib)

Saat ini memang benar-benar menjadi era SMS. Berbagai SMS menyambut dan mengagungkan kedatangan Ramadan tidak henti-hentinya membanjir di-forward-kan ke para sahabat dan handai taulan. Paling sedikit bunyinya “Selamat Menunaikan Ibadah Puasa”. Bahkan penulis juga telah menerima ucapan yang sama dari kolega yang beragama Nasrani. Itulah salah satu gema yang membahana ke seantero penjuru dunia untuk menyambut puasa. Alhamdulillah.

Sebenarnya apakah itu Ramadan? Inilah yang masih sering kita tanyakan dalam beberapa kesempatan. Dalam koran Seputar Indonesia, 15 September 2007, Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, menjelaskan tentang makna Ramadan, dengan harapan dapat memberikan pencerahan tentang makna Ramadan kepada kita.

Pertama, Ramadan berasal dari kata al-ramadh, artinya “panas batu akibat sengatan sinar matahari”. Dengan demikian, Ramadhan dapat diartikan sebagai proses terjadinya sengatan sinar matahari yang mampu “mempengaruhi” dan “memanaskan” batu.

Kedua, Ramadan berasal dari akar kata ramadha, artinya ”keringnya mulut orang yang berpuasa akibat haus dan dahaga”.

Ketiga, Ramadan juga sering disebut sebagai syahr al-shiyam (bulan puasa). Dalam Bahasa Arab, al-syiyam diartikan sebagai “penahanan diri” atau “pengendalian diri”.

Kesimpulan yang dapat kita petik dari ketiga makna etimologis tersebut, Ramadan dapat diartikan sebagai berikut: (1) bulan pemanasan terhadap hati yang telah membatu, (2) bulan penahanan dan pengendalian diri. Meminjam istilah Emha Ainun Najib, dalam bahasa agak kocak, Ramadan atau bukan puasa adalah bulan untuk melatih ”tidak” atau sekurang-kurangnya untuk mengendalikan ”ya” (Emha Ainun Najib), sebagaimana dikutip sebagai kata-kata mutiara yang diletakkan dalam awal tulisan ini.

Kata batu dalam Bahasa Al Qur’an, bahkan juga dalam ungkapan Bahasa Indonesia, sering diumpamakan sebagai orang yang memiliki hati yang keras. Orang yang berkepala batu artinya orang yang hatinya telah tertutup dan tidak mau menerima saran dan pendapat dari orang lain. Hati orang itu telah membeku seperti batu. Karena hatinya telah menjadi batu, ia tidak akan lagi dapat menerima hidayah dan kebenaran. Bahkan ia tidak lagi memiliki kepekaan terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Tidak lagi memiliki kepekaan dan kepedulian sosial. Dalam teori kepedulian sosial, orang ini dikenal memiliki tingkat kepedulian yang paling rendah, yakni yang dikenal dengan EGP (emangnya gue pikirin). Tingkat pertama ini diikuti tingkat yang kedua yang dikenal dengan sebutan KRIDO (kritik doang). Pada tingkat kedua ini, dalam menghadapi masalah di lingkungannya, orang ini hanya pandai mengkritisi dengan omongan doang (OMDO). Biasanya tanpa solusi. Bahkan kalau diberikan kepercayaan, ia sebenarnya tidak dapat berbuat apa-apa. Bisanya memang hanya kritik doang atau omong doang. Tingkat yang lebih tinggi dikenal dengan MAU TAPI TAK MAMPU. Ada kemauan untuk membantu, tetapi sebenarnya dia tidak memiliki kemampuan secara fisik apa-apa. Bahkan juga dalam bentuk do’a sekali pun. Tingkat kepedulian yang tertinggi adalah mereka yang AMANAH. Mereka yang memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Mereka memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk mau dan mampu membantu dan menyelesaikan masalah yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan secara amanah melakukan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Memasuki bulan Ramadan, kita diwajibkan menunaikan ibadah puasa. Mereka yang menunaikan puasa dengan baik dan benar, maka mereka akan melalui proses pembakaran hatinya yang telah beku, tidak melakukan perbuatan fasad, munkar, dan penyakit-penyakit sosial yang lain. Dengan demikian, berpuasa di Bukan Ramadan dengan baik dan benar mempunyai makna untuk segala sesuatu yang dilarang saat berpuasa, meski segala sesuatu itu sebenarnya halal saat tidak berpuasa, apalagi yang diharamkan.

Mudah-mudahan amal puasa hari ketiga ini, benar-benar menjadi alat untuk memanaskan hati kita yang telah beku, atau mengendalikan segala amal dan perbuatan kita ke arah jalan yang lurus, yakni jalan yang diridhoi oleh Allah. Amin, ya robbal alamin.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 15 September 2007

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel, Budaya, Pendidikan

Membangun Kepercayaan

MEMBANGUN KEPERCAYAAN: BEBERAPA CATATAN DARI HASIL SIMPOSIUM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh Suparlan *) *** تَقْوِيمٍ أَحْسَنِفِىٓ ٱلْإِنسَٰنَخَلَقْنَا لَقَدْ Sesungguhnya…