Oleh: Suparlan *)
Kata menebak memang tidak terlalu pas. Karena dalam tulisan ini bukan hanya asal menebak. Tebakan yang dilakukan bukan hanya perkiraan. Tapi menggunakan dasar teori yang sudah sahih, yakni Dual Brain Development. Jadi istilah yang lebih tepat adalah analisis kecerdasan. Bukan asal mengatakan, seperti makin panjang jenggot makin goblok. Makin panjang jenggot makin dedel. Maaf, wallahu alam bishawab. Menurut saya ini tidak ada landasan teorinya, terutama dari ilmu kauniyah.
Pengalaman
Meskipun tidak menggunakan penelitian yang scientific, saya mempunyai beberapa pengalaman dalam menebak kecerdasan. Suatu saat saya bertugas ke Bengkulu. Saya bertemu beberapa orang mahasiswa, laki-laki dan perempuan, di kantin Bandara Fatmawati Sukarno. Secara spontan saya memanggil mereka. Come here, saya lihat gayanya mahasiswa. I want to show you. I think this is very important for you. Boleh saya menebak kecerdasan Anda? OK pak, jawabya tak kurang spontannya. Lakukan cara begini. Saya menunjukkan tangan dengan saling menggabungkan jari-jari kedua tangannya seperti gambar berikut. Dengan memperhatikan jempol jarinya, saya akan dapat menebak kecerdasan dengan dual brain development. Jika jempol kanannya di atas, maka potensi kecerdasannya adalah otak kiri atau matematis. Jika sebaliknya, maka secara garis besar potensi kecerdasannya adalah otak kanan atau non matematis. Dengan demikian sekelompok mahasiswa di Bengkulu tadi dengan cepat saya tebak kecerdasannya. Yes, you are mathematic. Selanjutnya no, you are non-mathematic. Demikian seterusnya. Mereka semua bengong. Kok bisa pak? Kembali saya tanyakan ada yang tidak cocok? Apakah semua benar? Mereka semua mengangguk. Tidak seorang pun mahasiswa yang menolak tebakan kecerdasan tersebut. Dari mana bapak tahu? Dari jempol Anda. Bila jempol kiri di atas, Anda adalah non-matematis. Sebaliknya jika jempol kanan yang di atas, maka Anda adalah matematis. Ada syarat yang penting. Posisi tangan Anda tersebut harus yang enak. Tidak dipaksa.
Sumber: www.google.com
Cara menebak keserdasan tersebut sangat sederhana. Kita dapat mengetahui kecerdasan anak sejak dini. Ini penting! Setidaknya untuk mengarahkan anak-anak tentang jurusan apa yang cocok dengan potensi kecerdasan anak kelak ketika dewasa.
Adakah ciri-ciri dan perbedaan kedua kecerdasan tersebut? Teori dual brain development sebagai berikut:
Teori bisa meleset. Yang menentukan usaha Anda
Memang, saya mempunyai sedikit pengalaman negatif. Saya menebak seorang Afganistan di Bandara Sukarno Hatta setelah berbincang beberapa hal tentang masing-masing negara. “May I want to show you some things? Yes, sure. Please do like this. Saya minta beliau melakukan menyatukan kedua tangannya seperti gambar di atas. Dan dengan cepat saya mengatakan “Yes, you are non-mathematic”. No! I am engineer. Balasnya lebih cepat. Excuse me see sir. Saya tidak dapat menjelaskannya tentang mengapa saya menebaknya sebagai non-mathematic. Itulah sebuah teori. Pasti yang Maha Tahu adalah Allah. Saya hanya tahus sedikit tentang ilmu kauniyah. Saya berpisah karena panggilan pesawat sudah diumumkan. Beliau seorang insinyur, saya hanyalah mantan seorang guru. Semua teori pasti ada melesetnya. Namanya teori buatan manusia. Namanya ilmu kuniyah. Tetapi manusia tetap harus berusaha. Allah jugalah yang menentukan. Jempol kanan dan kiri belum tentu pas untuk menentukan kecerdasan. Dengan Multiple Intelligence karya Howard Gardner sekali pun. Apalagi hanya dengan panjang pendeknya jenggot. Heee. Semua peristiwa ada hikmahnya. Kita dapat memetik hikmah tersebut. Amin.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com.
Depok, 11 Oktober 2015.
1 Komentar. Leave new
DSCS Komite Sekolah SDN Cibeusi Jatinangor Sumedang terbiasa memberikan PIAGAM PENGHARGAAN I s.d. III kepada siswa berprestasi masing-masing kelas (rombel) pada akhir semester (ganjil dan genap). Ada hal yang menarik, yakni siswa yang meraih peringkat tinggi ketika di kelas I, cenderung bertahan hingga kelas VI, kalaupun ada penurunan prestasi tidak lepas dari peringkat tiga besar (bagaimana menurut teori paedagogik?).
Saya berkeyakinan, apabila seorang anak telah berprestasi sejak di sekolah dasar, maka dia cenderung terus berprestasi (alamiah, memang ia pintar!). Sebaliknya, apabila anak kurang berprestasi ketika di sekolah dasar, maka orangtua harus benar-benar (ekstra) mengawasi dan membimbing anak, agar ketika melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dapat meraih prestasi yang membanggakan.
Sehubungan dengan kecerdasan, beberapa tahun lalu — jauh sebelum Ust. Gito Rollies wafat — saya pernah membaca atikel dalam sebuah harian, hasil wawancara dengan Gito Rollies yang jalan hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat, setelah secara kebetulan beliau menemukan selembar piagam penghargaan lusuh dalam lemarinya yang menerangkan bahwa ketika duduk di bangku SMP: BANGUN SUGITO ADALAH SISWA YANG MEMILIKI AKHLAK TERPUJI yang dengan piagam itu menyadarkan kembali akan fitrah dirinya ke jalan Ilahi.
Jelang memasuki tahun pelajaran 2015-2016 lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mencanangkan secara resmi Program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). PBP adalah pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah, yang dimulai sejak masa orientasi peserta didik baru sampai dengan kelulusan, dari jenjang Sekolah Dasar (SD), sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menegah Kejuruan (SMK), dan sekolah pada jalur pendidikan khusus.
Budi pekerti yang tinggi adalah bentuk kecerdasan, kecerdasan ruhani.
GITO ROLLIES DAN BUDI PEKERTI LUHUR
Karya Dadang Adnan Dahlan
Figur Gito Rollies tercatat sejarah
Rocker Superstar asal Kota Kembang
Napza narkoba jurang terali besi
Akhir hayat taubat: dai pendakwah
Piagam penghargaan lusuh hantarkan
Sadar kembali pada jalan Ilahi
Saat menuntut ilmu di bangku sekolah (SMP)
Bangun Sugito berbudi pekerti luhur
Kini Program Penumbuhan Budi Pekerti
Ajak pembiasaan peserta didik
Bersikap dan berperilaku positif
Sejak pertama kali masuk sekolah
Alur pembudayaan budi pekerti
Awal dajarkan, lalu dibiasakan
Dilatih konsisten jadi kebiasaan
Bangun karakter, masyarakat berbudaya
Jatinangor, 22 Juli 2015