ArtikelPendidikan

Menilai RPS di Sekolah dan Renstra di Kabupaten/Kota

211 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Kerjakan hari ini, apa yang jadi keinginan Anda di hari-hari esok
(Robert Kiyosaki, penulis buku laris The Rich Dad, Poor Dad)

Tanpa bekerja, kehidupan akan berkarat. Bekerja tanpa jiwa, kehidupan akan menyesakkan
(Albert Camus, 1913 – 1960, novelis Perancis)

Si pesimis menemukan kesulitan dalam setiap kesempatan, si optimis menemukan kesempatan dalam setiap kesulitan
(LP. Jacks)

Speed is irrelevant if you are going in the wrong direction
(Mahatma Gandhi)
Dari tanggal 28 – 31 Oktobe 2009, penulis terlibat dalam kegiatan penyusunan instrumen untuk menilai dokumen Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) dan Rencana Strategis Pendidikan Kabupatan/Kota (Renstra Kabupaten/Kota). Setelah itu, instrumen penilaian itu kemudian digunakan untuk menilai sekian ratus RPS dan Renstra yang telah dihasilkan dari kegiatan workshop WDD-WSD (Whole District Development dan Whole School Development) yang selama ini telah dilaksanakan oleh Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP) di berbagai daerah provinsi dan kabupatan/kota di Indonesia. Banyak hal penting yang dapat penulis jadikan bahan pelajaran berharga dari kegiatan itu. Tulisan ini diharapkan juga dapat menjadi bahan pelajaran berharga bagi para kolega yang bekerja sebagai pegiat pendidikan di sekolah dan kabupaten/kota di Indonesia.

Tiga aspek yang terkait dengan rencana

Penulis melihat ada tiga aspek yang terkait dengan penyusunan rencana di tingkat sekolah sampai di tingkat yang lebih tinggi.

Pertama, aspek teknis konseptual. Model seperti apa RPS dan Renstra itu mau dibuat. Sering kita diberikan contoh model RPS dan Renstra dari dari sekolah atau daerah terentu, dan model itulah yang kemudian diikuti oleh semua sekolah dan daerah lain. Panduan yang diberikan sering tidak dipelajari dengan cermat. Penyusun RPS dan Renstra mencari jalan termudah dengan copy paste dokumen yang telah dibuat olaeh sekolah dan daerah lain. Akibatnya, narasi kalimat dalam dokumen RPS dan Renstra tersebu menjadi sama dan monoton. Satu dokumen yang amat sangat rencah mutunya. Karena ada contoh yang telah diberikan kepada sekolah dan daerah, maka model RPS dan Renstra tidak pernah lahir, karena ada anggapan model yang lain itu akan dinyatakan salah. Kita jadi cenderung suka yang sama dan seragam. Dari aspek teknis konseptual ini, kita jadi pembeo yang hebat, bukan menjadi manusia yang kreatif dan inovatif.

Kedua, aspek budaya. Proses penyusunan RPS dan Renstra sangat dipengaruhi oleh aspek budaya. Perlu diakui bahwa budaya masyarakat kita dewasa ini lebih budaya bicara atau oral ketimbang budaya menulis. Maka membuat rencana juga rencana tertulis memang belum menjadi kebiasaan kita. Apalagi harus mengikuti model yang formalistis sesuai dengan panduan atau contoh yang diberikan. Akibatnya, banyak sekolah dan daerah yang membuat RPS yang sekedar sebagai pemenuhan kewajiban, belum sebagai kebutuhan. Hal ini sama dengan kasus pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) bukan untuk persiapan mengajar, tetapi hanya untuk menjadi bahan lampiran fortopolio sertifikasi guru. Demikian juga RPS disusun kebanyakan sebagai proposal untuk memperoleh subsidi atau grant. Hal ini juga terkait dengan aspek budaya kita yang lebih suka mempunyai tangan di bawah daripada di atas.

Ketiga, aspek pelaksanaan. Membuat rencana memang penting. Salah satu ciri manusia modern adalah membuat rencana. Siapa yang membuat rencana, akan membuat kegagalan. Namun, kenyataan di negeri ini ada rencana yang disusun hanya untuk dokumen semata, bukan untuk dilaksanakan. Rencana yang dibuat untuk 4 sampai 5 tahun sering tidak lagi menjadi dasar untuk membuat rencana tahunannya. Faktor penyebabnya antara lain karena sistem perencanaan kita lebih berorientasi kepada uang atau anggaran ketimbang disusun berdasarkan program prioritas yang telah disepakati. Bahkan, ketika kita mempertanyakan visi dan misi, banyak visi dan missi yang disusun hanya oleh seseorang atau konsultan. Visi sekolah tidak disusun dengan mekanisme yang benar-benar telah melibatkan semua pemangku kepentingan di sekolah. Akibatnya para pemangku kepentingan di sekolah tidak atau kurang merasa memiliki (self belonging) sekolah itu.

Rumitnya menyusun visi

Merumuskan visi ternyata memang tidak semudah yang kita bayangkan, meski rumusan visi hanyalah sepenggal kalimat bernama frase. Visi merupakan kristalisasi aspirasi. Ada kesalahan besar yang biasa terjadi di negeri ini, karena visi yang dipandang sebagai frase kalimat suci itu pada umumnya ternyata hanya dibuat oleh seorang diri, sabagai lamunan diri dari kepala sekolah, atau wakil kepala sekolah bidang kurikulum, atau kepala unit kerja yang mengurus perencanaan. Bahkan boleh jadi oleh seorang staf ditugasi untuk itu. Ada juga visi yang ditulis oleh perusahaan konsultan pendidikan yang dibayar untuk itu. Padahal di perusahaan swasta ada manajer perusahaan yang bserusaha untuk menangkap aspirasi anak buahnya dengan cara mengadakan outbond di Gunung Gede dalam beberapa hari kerja. Merumuskan visi memang harus melalui mekanisme seperti itu. Visi harus merupakan statement kesepakatan semua warga (atau melalui wakil-wakilnya).

Depdiknas telah memberikan contoh dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009. Rumusannya singkat begini ”Insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif”. Wow, sangat singkat. Sama singkatnya dengan visi Departemen Pendidikan Amerika Serikat, yakni ”No Child Left Behind”. Namun, menurut penulis visi kita tinggi melangit, sedang visi Amerika Serikat benar-benar membumi. Tidak ada anak yang tidak bisa masuk sekolah. Ketika Amerika Serikat sudah berusia ratusan tahun, visi yang sesederhana itu pun masih dipandang sangat relevan untuk negara Paman Sam tersebut.

Visi tidak hanya dirumuskan pada tingkat pemerintah pusat atau tingkat departemen. Namun, visi juga harus dirumuskan pada tingkat satuan pendidikan. Kembali kita perlu diingatkan bahwa ”visi” merupakan ”the ideal destination” atau tujuan ideal. Dengan kata lain, visi adalah ”where the school wants to be” atau kemana sekolah akan menjadi. Tentu saja, visi itu “should be challenging, innovative and forward-looking” atau menantang, inovatif, dan berpandangan ke masa depan. Sementara misi merupakan “the route to the destination” atau rute untuk mencapai tujuan. Dibandingkan dengan visi, rumusan misi lebih bersifat praktis tentang apa yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Berikut ini satu contoh visi sekolah di Inggris. “…. a place of excellence where children can achieve full potential in their academic, creative, personal, physical, moral and spiritual development (http://www.becal.net/lc/vision/statements.htm) atau “satu tempat yang unggul untuk mengembangkan potensi peserta didik secara penuh dalam bidang akademis, kreatif, personal, fisikal, moral, dan spiritual”.

Di sisi lain, penjabaran visi dan misi menjadi program dan kegiatan, maka analisis SWOT merupakan teknik yang harus digunakan, yang sering kita sebut sebagai ALI (analisis lingkungan internal) dan ALE (analisis lingkungan eksternal). Hasil analisis SWOT itu kemudian digunakan dasar untuk menerjemahkan visi, misi, dan tujuan menjadi program kegiatan yang lebih operasional. Hubungan fungsional antara visi, misi, tujuan, program, dan kegiatan dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan: Hubungan antara visi, misi, dan tujuan organisasi

Bagan tersebut menunjukkan bahwa visi akan dicappai melalui sejumlah misi yang dirumuskan. Sementara itu, misi hanya akan dicapai melalui sejumlah tujuan yang telah ditetapkan. Lebih dari itu, tujuan akan dapat dicapai melalui sejumlah program dan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Hasil Penilaian

Beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian kita, hasil penilaian terhadap RPS dan Restra tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, sebagian besar RPS dan Renstra merupakan hasil ”copy paste” dari contoh yang diberikan oleh fasilitator. Ada beberapa kemungkinan penyebab mengapa sebagian besar sekolah melakukan seperti itu. Salah satu faktor penyebabnya antara lain adalah masih rendahnya pemahaman mereka tentang konsep RPS dan bagaimana menyusunnya.

Kedua, pada umumnya RPS dan Renstra tersebut kurang dilengkapi dengan data yang lengkap dan akurat. Terkait temuan pertama, bahkan sistem ”copy paste” tersebut bukan hanya yang terkait dengan redaksionalnya, tetapi juga sampai dengan datanya.

Ketiga, pada umumnya RPS dan Renstra yang dinilai sebenarnya belum layak sebagai ”RPS dan Renstra” yang sesungguhnya tetapi lebih sebagai ”draft kasar”. Bahkan untuk Renstra banyak yang masih berupa ”lembar kerja kegiatan workshop” yang merupakan bahan awal untuk menyusun Renstra. Bahan kasar tersebut seharusnya masih harus disusun dan dirangkai kembali dalam kegiatan tindak lanjut menjadi Renstra mendekati jadi.

Keempat, penulis sering mendengar laporan dari daerah bahwa sebenarnya sekolah menyusun RPS bukan bertujuan sebagai rencana yang sebenarnya, tetapi lebih sebagai ”proposal” yang biasa diminta sebagai persyarakat untuk memperoleh block grant. Sudah tentu, tidak semua sekolah seperti itu. Tetapi, jika motivasi sebagian besar sekolah seperti itu, maka RPS sebenarnya kurang mempunyai makna untuk menjadi acuan sekolah dalam mengembangkan sekolahnya.

Kelima, RPS dan Renstra kemungkinan besar sebenarnya tidak disusun bersama dengan pemangku kepentingan. Kalau pun ada beberapa RPS dan Renstra ditandatangani oleh semua pemangku kepentingan, seperti Komite Sekolah, maka sebagian besar tanda tangan yang telah diberikan itu hanyalah tanda tangan yang sifatnya formalitas belaka.

Akhir kata

Masih panjang jalan menuju tujuan. Membuat rencana strategis memang belum menjadi kebiasaan sebagian besar dari kita. Membuat rencana belum menjadi kebiasaan kita, sekolah ataupun masyarakat kita. Perlu sosialisasi lebih luas lagi agar kebiasaan membuat rencana menjadi bagian dari kehidupan kita. Marilah kita bentuk kebiasaan-kebiasaan itu, dan insyaallah kebiasaan-kebiasaan tersebut yang kemudian akan membentuk kita (John C. Maxwell). Wallahu alam bishawab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, Oktober 2008

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel, Pendidikan

Kecerdasan

Ilmu itu dapat dikatakan baik apabila dapat diamalkan dan berguna bagi kesejahteraan masyarakat (John Dewey) Tuhan menciptakan otak…