Oleh: Suparlan
Suara gamelan di alun-alun itu terdengar nyaring bertalu-talu. Suara “dua kenong” dan “gendang-nya” dengan nada suara dan irama yang unik terdengar sampai ke pelosok desa. Tambahan lagi suara terompet, yang ditiup oleh seorang kakek tua, telah membuat paduan suara dari sebuah simponi seni yang sangat khas, tidak ada duanya.
Empat penari sedang menunggang kuda lumping berjingkrak-jingkrak ibarat berada di atas kuda yang sedang berlari kencang. Penari barong singa meliuk-liukkan bulu merak yang menjulang tinggi. Penari topeng behidung mancung Kesenian apakah itu gerangan? Itulah kesenian Reog yang berasal dari Ponorogo. Karena itu disebutlah Reog Ponorogo.
Itulah petikan kalimat dari pendahuluan sebuah naskah buku Sejarah Ponorogo dan Reog Ponorogo, yang saat ini masih dalam proses penyuntingan. Penulisan buku ini berawal dari sebuah karya tulis seorang mahasiswa bernama Amin Kurniawan. Masih sangat elementer memang. Tetapi berkat informasi dari sumber referensi lain, karya tulis itu diharapkan dapat disunting menjadi satu buku yang cukup lengkap. Sumber lain itu justru berasal dari luar negeri yang sejak lama telah mengamati tentang kesenian Reog Ponorogo (http://wwwsshe.murdoch.edu). Memang, kita harus secara jujur mengakui bahwa sumber dari dalam negeri sendiri kurang banyak membantu.
Mudah-mudahan, naskah buku ini dapat segera diterbitkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mudah-mudahan ini dapat menjadi salah satu cara dan upaya nyata untuk menghargai kesenian kita sendiri. Insyaallah.