ArtikelBudayaDunia IslamPendidikan

Gendang Rampak Idul Fitri 1437 H

870 views
Tidak ada komentar

Akhirnya terpenuhilah keinginan saya bersalaman dengan Pak Anies Baswedan, Mendibud. Dalam media sosial, saya menyebutnya Mas Menteri. Sebutan itu saya dengar atas permintaan beliau sendiri saat mengadakan pertemuan dengan jajaran dinas pendidikan daerah provinsi dan kabupaten. Untuk mendekatkan jarak, begitulah kira-kira.

Keinginan untuk berjabat tangan itu telah saya niatkan hampir setahun lalu. Saat itu usai Simposium Pendidikan Nasional yang digagas olleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan (KMSTP). Mendikbud rencana menutup acara dan diperkirakan saya akan bersalaman dengan beliau. Eee …. belum rezeki, karena salamannya tidak dengan bertatap mata, apalagi dengan menyampaikan pesan.

Idul Fitri 1437 H

Dalam acara halal bihalal Idul Fitri 1437 H ini, justru acara bersalaman dengan suasana berjubel itu malah saya dapat menyampaikan pesan dan dibalasnya, meski sebentar. “Saya Suparlan.” Beliau pun menjawab super singkat “terima kasih e-mailnya.” Lega rasanya, dan terima kasih Mas Menteri. Saat yang bersamaan saya dapat pula bersalaman dengan para pejabat tinggi di Kemendikbud. Yang luar biasa saat itu adalah acara halal bihalal yang telah menghibur semua pegawai dan semua yang telah hadir, termasuk diri saya dengan acara yang amat menarik sebagai berikut:

Pertama, taushiyah agama dengan dari ustadz yang super hebat. Ceramah ini pasti menjelaskan tentang makna idul fitri dan minal aidin walfaizin, yang menurut ustadz makna sebenarnya adalah do’a yang artinya “semoga Allah, mudah-mudahan kami termasuk orang-orang yang kembali suci, dan menjadi orang-orang yang memperoleh kemenangan.” Dalam taushiyah ini tidak disebut-sebut ucapan “taqaballallahu minna waminkum, shiyamana washiyamakum” yang menjadi sedikit polemik ketika ucapan tersebut saya unggah dalam personal website saya www.suparlan.com. Terus terang, saya memang nol besar dalam Bahasa Arab, karena sama sekali tidak pernah masuk pesantren dan tidak pula masuk sekolah agama, apa lagi masuk  perguruan tinggi agama. Sejak SD sampai perguruan tinggi saya masuk sekolah umum. Nah, inilah momentum tepat kepada semua pihak untuk menyatukan dualisme yang satu ini, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama. Seperti yang saya ketahui dalam pendidikan di Malaysia, saat menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia, selama lima tahun. Saya pernah mengunjungi Sekolah Bestari (Smart School), baik yang untuk sekolah laki-laki maupun untuk yang perempuan. Saya pernah berkunjung ke SMK (Sekolah Menengah Kebangsaan) Seri Putri di kawasan Kuala Lumpur. Saat masuk halaman sekolah, saya pikir sekolah ini sedang libur, karena tidak ada suara sedikit pun. Ternyata sekolah ini sedang belajar dengan tekun. Baru ketika masuk waktu istirahat, suara beberapa siswa sedikit terdengar. Malaysia memang menganut sekolah terpisah antara laki-laki dan perempuan. Saya baca beberapa sekolah di Inggris Raya pun demikian. Hal ini saya tulis dengan harapan mudah-mudahan Ustadz tersebut membaca tulisan ini, dan saya ingin komentar beliau tentang masalah sistem pemisahan antara laki-laki dan perempuan tersebut. Termasuk tentang penyatuan pendidikan umum dan pendidikan agama.

Kedua, parade qiraat dengan suara yang merdu antara Ustadz yang usianya telah menginjak 62 tahun berduet dengan generasi muda yang telah menjadi juara qoriah tingkat nasional. Duet qairah tersebut sangat bagus. Acara semacam ini dapat dikembangkan lagi. Lagi-lagi sayang, karena penulis tidak memahami makna ayat-ayat yang dibaca. Saya teringat taushiyah Prof. Dr. Nasaruddin Umar dalam acara di kediaman Mantan Presiden Habibie bertajuk IQRA sebagai jendela ilmu. Menurut beliau makna IQRA meliputi empat tingkatan: 1) how to read, 2) how to learn, 3) how to understand, 4) how to meditate. Konsep IQRA ternyata sama dengan konsep reading menurut Paulo Freire yang terkenal dengan Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Orang-Orang yang tertindas) yang menjelaskan bahwa reading is not walking on the words, but grasping the soul of them, artinya membaca adalah bukan berjalan di atas kata-kata, tetapi menangkap jiwa kata-kata tersebut. Parade qiraat tersebut sangatlah luar biasa. Karena dua orang qiraat secara bergantian tanpa buku. Kadang dilantunkan sendirian, dan kadang bersamaan dengan lantunan suara dengan nada suara yang sama. Alhamdulillah. Terkait dengan empat peringkat IQRA yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Nassaruddin Umar dan makna reading oleh Paulo Freire tersebut, alangkah baiknya jika parade qiraat tersebut juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Ketiga, terakhir adalah gendang rampak idul fitri peringkat internasional. Kedua acara terakhir, yakni paduan qiraat dan gendang rampak idul fitri adalah sebagai acara tambahan atas khusus permintaan Mendikbud. Sebagai orang yang lebih dominan otak kanan, saya sampai meneteskan air mata. Gendang society telah tampil secara cantik dengan full instruments, dan dengan gema takbir yang mendayu-dayu. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Pakaian Adat

Pada acara halal bihalal, Selasa, 12 Juli 2016. Semua pegawai Kemdikbud berpaian adat, termasuk pejabat eselon I sampai dengan eselon IV. Pak Menteri pun juga pakai blangkon warna sedikit biru muda serasi dengan pakaian bawahnya. Dengan pakaian adat seperti itu, acara halal bihalal Idul Fitri 1437 H tersebut bak acara kemanten saja. Ada positif dan negatifnya memang. Terus terang, kalau dipakai dalam acara peringatan tertentu seperi Hardiknas, saya mendukung 100%. Tapi kalau dipakai sebagai pakaian harian kerja, agak lucu pada awalnya. Teman duduk sebelah saya dengan bangga menyatakan bahwa 34 provinsi terwakili dengan pakaian adat tersebut. Tapi kalau untuk pakaian kerja, sepertinya kurang pas rasanya. Para pegawai bukan sibuk dengan kinerjanya, tapi sibuk dengan pakaiannya. Memang, pakaian adat itu untuk menonjolkan kebhinnekaan sebagai proses karakterisasi dan internalisasi ini perlu diteliti, apa dampak positif dan negatifnya.

Memang semua perlu ada inovasi. Halal bihalal juga memerlukan inovasi. Sampai dengan gendang society pun demikian pula. Gema suara Allahu Akbar menjadi membahana untuk mengagungkan asma Allah. Amin.

*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com;

Depok, 12 Juli 2016.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel, Dunia Islam, Pendidikan

Waktu

Oleh: Suparlan *) Kita sering mengatakan “waktu itu adalah uang” atau “time is money.” Bahkan orang Arab menyebutnya…