Oleh: Suparlan *)
Alhamdulillah. Allah jua yang telah mempertemukan saya dengan Dr. Budiono. Beliau adalah mantan Kepala Ropek (Biro Perencanaan) Sesjen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sedang saya sendiri pada saat itu adalah Saya Kepala Subbagian Monitoring Pelaksanaan Rencana dan Program (MPRP), Bagian Perencanaan, Setditjen Dikdasmen. Beliau bukan sebagai atasan langsung, tetapi atasan koordinasi. Pelaksanaan tupoksi antara kedua lembaga beliau dan saya yang membuat saya sering bertemu dengan belau. Misalnya ketika beliau memimpin rapat, kesan kepemimpinan itulah yang membuat saya teringat dengan beliau. Alhamdulillah, mudah-mudahan menjadi pertemuan yang membuat kita ingat dengan tujuan akhir kehidupan.
Kolaborasi Institusi
Dengan pertemuan itu, saya jadi ingat kata-kata mutiara ini. We are not looking for a superman, but we are looking for a super team. Kata-kata mutiara ini tidak saya ketahui siapa yang punya HAKI. Yang saya ingat kata-kata tersebut diucapkan oleh Pak Cipto Sumadi, sekarang Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Pertemuan kolaborasi institusi semacam itulah yang justru sering memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman. Demikian juga pertemuan saya dengan Dr. Budiono. Insya Allah.
Biro Perencanaan Sesjen Depdikbud
Perencanaan adalah ilmu baru bagiku. Saya seorang guru SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang tidak kenal dengan ihwal dan liku-liku perencanaan. Yang kemudian saya fahami adalah fungsi-fungsi manajemen. Perencanaan adalah salah satunya. Apalagi dengan Biro Perencaan yang ada di lembaga yang besar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bapak Drs. Sjafidoedin DA, yang telah memberikan kesempatan kepadaku dapat berkiprah dalam institusi perencanaan itu. Ketika saya menjadi Kepala Subbag MPRP, Pak Sungkowo Mudjiamano adalah sebagai Kasubbag PRP (Penyusunan Rencana dan Program). Sedang Kasubbag Data adalah Pak Guyub yang kemudian diganti oleh Hamid Muhammad, Ph. D. Yang menjadi Kabagren (Kepala Bagian Peremcamaam) yang waktu itu adalah Drs. Baedhowi. Kemistri antara Bapak Baedhowi dengan saya terbentuk demikian kuat karena sama-sama pernah menjadi guru. Saya menjadi guru SPGN Pamekasan, Madura, Drs. Baedhowi menjadi guru SMEA di daerah kelahirannya. Bedanya, Pak Pak Baedhowi dapat bertranformasi total dari guru kecil menjadi guru besar, menjadi profesor di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Sementara saya tidak. Lebih dari itu, usia saya dan beliau memang sebaya. Kemistri tersebut memberikan kesempatan kepada saya untuk memperoleh kesempatan secara optima tentang tulis-menulis dan mengenal komputer. Saya sering memperoleh tugas menulis naskah pidato, surat-surat resmi, menyusun naskah buku panduan, dan menyusun bermacam-macam laporan. Laporan tentang notulensi rapat, kegiatan proyek, kinerja institusi, akhir masa jabatan, dan sebagainya. Juga menyusun renstra dan rencana tahunan, dan dokumen-dokumen lain yang menjelaskan tentang kegiatan dalam organisasi. Semua pengalaman tersebut telah memperkuat kompetensi tentang tulis menulis yang kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Saya bertekat akan terus menulis sepanjang hayat. Insya Allah.
Kalimat panjang dan bahasa formal
Kebiasaan menulis memang saya peroleh dari pengalaman menjadi juara pertama Lomba Karya Tulis Korpri tingkat nasional pada tahun 1982. Sejak saat itu, genre menulis saya adalah menulis dengan kalimat yang panjang dengan gaya bahasa formal. Maklum, menulis naskah pidato tidak boleh menggunakan bahasa gado-gado. Karena itu, genre tulisan formal tersebut melekat erat pada diri saya. Tulisan Dr. Budiono boleh jadi telah ikut memperkuat citra tulisan saya yang menganut genre lama tersebut. Meski genre tersebut kini perlu berubah. Tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali kata perubahan itu sendiri.
Pada tahun 2015 ini, saya telah memperoleh hadiah buku bertajuk Success Protocol karya Ippho Santosa. Penulis yang sukses telah menerbitkan lebih dari satu juta eksemplar ini adalah teman anak pertama saya. Tapi saya memalumkannya sebagai mentor saya. Mengapa? Tulisannya bergenre baru. Jika buku-buku yang saya terbitkan masih menggunakan genre lama, maka sejak 2015 saya bertekat untuk menulis dengan genre baru. Dengan bahasa mudah-mudahan enak dibaca dan perlu. Bahkan juga lucu. Oleh karena itu saya akan mencobanya. Saya telah mulai menulis tulisan-tulisan pendek seperti tulisan ini. Untung, saya mempunyai laman pribadi yang didesain oleh anak pertama saya. Sehingga semua tulisan tersebut terus saya unggah ke dalam laman pribadi tersebut.
Beratnya mengubah gaya kebiasaan
Saya merasakan beratnya mengubah kebiasaan. Mengubah kebiasaan menulis dengan genre lams dan mengubahnya ke genre baru ternyata sangat sulit. Meski tidak ada yang tidak dapat diubah, kecuali kata perubahan itu sendiri. Semuanya dapat diubah, kecuali ketentuan dari Yang Maha Kuasa.
Pertemuan saya dengan Dr. Budiono tersebut saya harapkan menjadi momentum berharga untuk berubah. Berubah menjadi lebih baik. Berubah dari genre lama menjadi genre baru. Saya ingin terus menulis, meski kini saya telah menjadi ulama (usia lanjut masih aktif). Saya merasa diejek oleh Dr. Anwar Fuadi, alumni Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa dan Unhas. Katanya, kalau kuliah Anda jangan putus ditengah jalan, belum selesai S3 misalnya. Karena ibarat kain baju dibikin baju belum selesai, maka akhirnya hanya akan menjadi serbet saja. Seakan sindiran itu ditujukan kepada saya. Karena pemerintah tidak memberikan beasiswa hanya sampai S2 di University of Houston Texas. Kalau saja ada yang memberikan beasiswa S3, saya pastilah akan dapat menyelesaikannya. Meskipun jangan sampai menggunakan kata “kalau” karena kurang yakin akan ketentuan Allah.
Akhirul kalam, saya yakin bahwa pertemuan saya dengan Dr. Budiono bukan satu yang kebetulan. Tapi itu takdir Allah. Maka Allah jualah yang menentukan hikmah-Nya. Insya Allah.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com;
Depok, 30 Oktober, 2015
2 Komentar. Leave new
Balasan komentar ini sebenarnya sudah saya kirim langsung ke Pak Dadang Adnan Dahlan. Allahu Akbar. Saya harus mengatakan apa. Kemistri itu memang benar-benar terjadi. Tidak ada janji. Saya ketemu Dr. Budiono pun tidak sengaja. Beliau sudah lama tidak pernah berjumpa. Konon masih ngajar di UI. Tapi saya nggak pernah ketemu. Ketemu di depan lobby kantor dari shalat Dhuhur. Hampir lupa wajahnya. Maklumlah. Mungkin beliau pun demikian. Tahun 1980-an, ketika saya pertama kali masuk Dikdasmen. Dr. Budiono sudah menjadi Kepala Biro Perencanaan. Bukan atasan saya memang. Tapi atasan untuk koordinasi. Karena saya kemudian menjadi Kepala Subbag Monitoring Pelaksanaan Rencana dan Program (MPRP). Begitulah. Eeee tahu-tahu Pak Dadang suka membantu sang ayah untuk mencari tulisan dari kliping ketika sang ayah untuk mencari ILMU KLIPING dan ILMU PAPER (IKIP). Salah satu tulisan itu adalah karya Dr. Budiono. Ketika itu mungkin saya pun menikmati tulisan Dr. Budiono ini, karena saya memang mengagumi penampilan beliu sebagai seorang doktor di Dikdasmen. Orang-orang yang doktor masih dapat dihitung dengan jari. Saya sendiri sering dipanggil M.Pd oleh teman-teman, karena sudah banyak orang punya M.Pd. Padahal saya M. Ed. yang saat itu juga tidak banyak. Ya OK-lah itu dulu.
Pak Dadang sendiri kenal dengan saya ketika beliau menjadi Ketua Komite Sekolah SDN Cibeusi Jatinangor, yang demikian terkenal karena memperoleh rekor MURI lantaran telah menulis lagu terbanyak tentang sekolahnya. Silahkan baca laman pribadi http://www.suparlan.com, dan carilah Komite Sekolah SDN Cibeusi. Itulah yang telah membuat saya memiliki kemistri (ibarat cairan kimia yang telah menyatu). Saya telah mengirimkan naskah buku saya berjudul GENERASI EMAS CERDAS, kalau berkenan menjadi kolaborator sebagai penulis kedua, dengan catatan mohon bantuan untuk menyunting naskah buku tersebut. Sebagai penulis, saya tahu pekerjaan yang paling berat dan lama adalah proses penyuntingan. Jika Pak Dadang berkenan, malah saya ingin dapat mengusahakan untuk membantu mencari penerbitnya. Ehhhh ternyata beliau juga bergerak dalam bidang penerbitan. Saya juga baru tahu setelah komentar beliau terhadap tulisan saya DR. BUDIONO YANG SAYA INGAT.
Akhirnya, mudah-mudahan beliau membaca tulisan saya, komentar Pak Dadang Adnan Dahlan, dan sekalian komentar ini. Salam, Suparlan.
BEGITU membaca JUDUL artikel Pak Parlan di atas, kemistri — demikian menurut istilah Pak Parlan — saya teringat era 1980-an, ketika saya duduk di bangku kelas tiga es-em-a, dan ayah saya sebagai guru sekolah dasar yang mengajar sejak 1958, turut ‘hijrah’ dari Garut ke Kota Bandung ‘ngekos” untuk mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa reguler jurusan Fundasi-Fundasi Pendidikan (kemudian berganti Filsafat dan Sosiologi Pendidikan) IKIP Bandung, meski ketika itu ayah saya telah berusia 44 tahun (lahir 5 November 1936). Tidak seperti sekarang, ketika itu, belum ada pembatasan usia untuk memasuki PTN melalui jalur seleksi tulis.
Di tengah kesibukan ayah sebagai guru sekolah dasar, tentu sayalah yang harus membantu menyelesaikan tugas-tugas ayahanda dalam berbagai mata kuliah dengan membuat kliping, karangan, ringkasan buku dan lain-lain dengan bantuan mesin tik. Puncaknya membantu penyusunan skripsi, sehingga ayahanda bisa menyelesaikan perkuliahan tepat empat tahun (usia 48 tahun). Tidaklah berlebihan apabila IKIP saya plesetkan menjadi ilmu kliping dan ilmu paper, saking banyaknya tugas paper/karangan/ringkasan-resume, dll.
Kaitan dengan judul artikel Pak Parlan di atas, saya seringkali mengutip tulisan Dr. Budiono dalam membuat artikel-artikel untuk ayahanda, terutama dalam penyusunan skripsi yang judulnya masih ingat betul: “Peranan SMP Terbuka dalam Upaya Pemerataan Pendidikan: Studi Kasus di SMP Terbuka Plumbon Kabupaten Cirebon”, baik dari majalah ataupun jurnal yang saya peroleh dari Perpustakaan IKIP Bandung. Saya ingin katakan, meski saya tidak langsung bersentuhan dengan ilmu kependidikan, ketika itu dapat mengambil saripati tulisan-tulisan Dr. Budiono dengan enak dan mudah dimengerti. Mungkin berkaitan dengan perencanaan pendidikan … sebagaimana yang Pak Parlan maksudkan.
Itulah takdir, rentetan perjalanan hidup yang menjadikan kedekatan saya dengan dunia pendidikan: (1) lahir dari keluarga guru; (2) pernah membantu ayahanda menyusun tugas-tugas perkuliahan hingga penyusunan skripsi; (3) ketika di bangku es-em-a mendapatkan guru bahasa Indonesia yang telaten yang seringkali menunjukkan kesalahan karya tulis siswanya dengan tinta merah; (4) di lingkungan remaja masjid dituntut untuk melakukan diskusi buku (bahtsul matsail) juga mengelola buletin mingguan; (5) berdagang buku pada masa kuliah; (6) sekitar tiga tahun bekerja di dunia penerbitan dan percetakan; dan (7) sekarang menggeluti profesi bidang penerbitan dan percetakan.
Kiranya, bait-bait puisi berikut mengekspresikan perjalanan hidup di atas dikaitkan dengan kekinian sebagaimana Pak Mendikbud pesankan.
GURU PANUTAN DAMBAAN SISWA *)
Karya Dadang Adnan Dahlan
Guru panutan dambaan siswa
Siswa ceria rajin belajar
Belajar mengajar menyenangkan
Menyenangkan teladan andalan
Guru panutan dambaan siswa
Siswa empati rukun harmonis
Harmonis sinergis tulus bijak
Bijak bestari berintegritas
Guru panutan dambaan siswa
Siswa simpatik berbudi baik
Baik hati santun murah senyum
Senyum sapa salam bahagia
Guru panutan dambaan siswa
Siswa semangat baca pustaka
Pustaka cakrawala Dunia
Dunia ilmu cerdas trengginas
Guru panutan dambaan siswa
Siswa gemar kaji pertanyaan
Pertanyaan jelajah pikiran
Pikiran tenang gagasan datang
Guru panutan dambaan siswa
Siswa kreatif disiplin waktu
Waktu selaras tegas humoris
Humoris optimis bersahaja
Guru panutan dambaan siswa
Siswa tangguh unggul motivasi
Motivasi inspirasi mimpi
Mimpi prestasi ibu pertiwi
Guru dambaan Mendikbud Anies Baswedan pastikan
Pertama, berintegritas memberi keteladanan
Kedua, belajar mengajar baik dan menyenangkan
Ketiga, mampu membangun ragam mimpi siswa
Jatinangor, 30 Mei 2015