Artikel

Kelahiran Ilmu-Ilmu Kauniyah (II)

184 views
2 Komentar

Oleh Suparlan *)

***
Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya
(Sayyidina Ali)

***
Ilmu dan Bahasa

Sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya, perlu ditambahkan bahwa kelemahan umat Islam, termasuk penulis, adalah soal Bahasa Arab. Umat pada umumnya umat Islam memang dapat membaca surat-surat atau ayat-ayat dengan lancar. Katakanlah, penulis hampir hafal Surat Yasin, karena sering ikut Yasinan, tetapi tidak tahu maknanya. Bahkan banyak yang melantunkan surat-surat atau ayat-ayat itu dengan suara yang merdu, tetapi sekali lagi tidak memahami maknanya. Tidak seperti seorang penerjemah yang konon dari Nusa Tenggara Barat, yang secara langsung menerjemahkan ceramah dari seorang ustadz yang asli Arab. WNI dari Nusa Tenggara Barat tersebut memang sebagai penduduk tetap yang dikenal tinggal lama di Mekah atau Madinah. Penerjemah tersebut langsung menjelaskan kutbah atau ceramah dalam Bahasa Arab. Artinya apa? Hukum-hukum atau ilmu-ilmu yang tertuang dalam Bahasa Arab belum tentu dapat kita fahami dengan pas. Bahkan, ketika shalat Jum’at di Masjidil Haram, penulis tidak lagi dapat tempat di dalam masjid. Oleh karena itu penulis dan istri harus sabar untuk berpanas-panasan di halaman masjid Haram itu. Alih-alih memahami isi lengkapnya kutbahnya, malah rela terkena panas teriklah yang kita peroleh.

Bahasa menjadi media untuk penyampaikan informasi, termasuk tentang ilmu pengetahuan. Tanpa menguasai Bahasa Arab secara sempurna, umat tidak mungkin dapat menguasai ilmu-ilmu Islam, baik melalui ayat-ayat kauliyah maupun ilmu kauniyah. Ada seorang teman mengucapkan beberapa ayat dalam surah dalam Bahasa Arah, dan kemudian menerjemahkannya. Lumayan, memang. Di samping hafal ayat-ayat kauliahnya, juga menyampaikan terjemahannya, tetapi berupa hafalan, bukan terjemahan pengertian atau pemahaman. Pendek kata, untuk dapat memahami ilmu kauliyah kita harus menjadikan Bahasa Arab sebagai Bahasa kedua (second language), bukan hanya seabagai Bahasa Asing (foreign language). Dalam berbagai kesempatan pengajian, saya selalu menyampaikan kepada semua aaaaaaaaaaapeserta tentang masalah ini. Tetapi responnya tidak ada. Program pengajian atau kajian Islam tidak banyak dihadiri oleh umat, karena ustadz sibuk sendiri dengan pelafalan surat dan ayat, biar dikatakan bahwa ustadz menguasai Bahasa Arab, sedang umat atau hadirin terbengong-bengong dengan ayat-ayat dan surah-surah tersebut karena tidak diketahui maknanya.

Itulah sebabnya, literasi dalam Bahasa Arab dalam masyarakat harus menjadi gerakan. Wajib belajar Bahasa Arab harus menjadi program da’i kecil, gerakan hafiz Al Qur’an, dan sejenisnya harus menjadi kurikulum sekolah Islam modern seperti Sekolah Islam Terpadu (SIT). Bukan hanya dengan kegiatan talkin dan Yasin yang hanya dilakukan saat ada tetangga yang meninggal dunia, atau hanya sekedar mencari pahala melalui berkat yang dibawa pulang ke rumah masing-masing.

Di samping itu, budaya literasi harus kita giatkan. Konon ada yang menyebutkan bahwa budaya umat ini masih budaya ngrumpi, belum memiliki budaya berkata, belum memiliki bukan budaya menulis. Itulah sebabnya kata-kata bijak Sayyidina Ali tersebut haruslah kita fahami dan kita laksanakan. Ikatlah Ilmu dengan menuliskannya. Ketika penulis gagal memahami kutbah Jum’at di Masjidil Haram, terbetiklah dalam hati, kenapa kutbah tersebut tidak disebarkan kepada hadirin dalam berbagai Bahasa yang digunakan oleh jama’ah yang telah hadir dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut? Bahasa Arab harus digunakan sebagai Bahasa Internasional bagi Islam.

Ilmu itu Bebas Nilai?

Is that science value free? Apakah memang semua ilmu itu bebas nilai? Seorang ustazd yang juga seorang scientist menyatakan demikian. Ketika penulis menanyakan lebih baik mana orang Islam tetapi buta ilmu atau bukan Islam tapi mengamalkan ilmunya dengan benar. Contohnya, ketika PT KA dikelola oleh orang Islam, tetapi tidak menerapkannya dengan ilmu manajemen yang benar, dibandingkan dengan ketika dipimpin oleh non-mulim tetapi dilaksanakan dengan menggunakan ilmu manajeman yang benar. Ustadz ini menjelaskan ilmu-ilmu itu bersifat value free atau bebas nilai. Artinya ilmu-ilmu tersebut mempunyai manfaat bagi penggunanya tidak dipengaruhi oleh apa pun agama, kepercayaan, dan idieologi penggunanya. Ilmu ekonomi, siapa pun yang menggunakan produktivitas aktivitas yang melaksanakan ilmu ekonomi tersebut. Manfaat obat-obatan yang dihasilkan oleh biologi (ilmu tentang mahluk hidup) akan memiliki manfaat yang sama tidak dipengaruhi oleh agama, kepercayaan, ideologi yang melaksanakannya. Walhasil, ilmu-ilmu kauniyah murni tersebut bersifat value free atau bebas nilai. Dengan kata lain, pelaku ilmu itu melaksanakannya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuannya. Ilmu itu akan menghasilkan sesuai dengan kaidah Ilmu-ilmu murni tersebut, tak peduli apa agamanya, kepercayaan, dan ideologinya, sosialis, komunis, atau atau ideologi apa pun. Lebih jauh lagi, ketika ada pertanyaan pengelolaan tentang kehebatan manajemen kereta api yang telah dipimpin oleh seorang yang beragama Kristen, sementara itu malah terjadi banyak kerugian dan kebocoran ketika kereta api itu dipimpin oleh seorang yang beragama Islam, maka persoalannya adalah karena ilmu manajemen tersebut termasuk bebas nilai. Tetapi, apakah ada ilmu pengetahuan itu benar-benar memang bebas nilai?

Katakanlah, seorang Islam dalam melaksanakan ilmu astronomi. Apakah nila-nilai yang dianut (Islam) tidak akan berpengaruh terhadap ilmunya? Bukankah dia harus berdo’a terlebih dahulu ketika ia melaksanakan ilmunya itu? Pada awal perkembangan para ilmuwan Islam, banyak ilmuwan Barat yang malah berhasil mengadopsi hasil ilmu ilmuawan Islam yang kemudian diterapkan oleh Ilmuwan Barat. Itulah sebabnya, banyak ilmuwan Barat justru mengagumi hasil penemuan yang telah dihasilkan oleh misalnya Ibnu Khaldun, Ibnu Sina (Avicena), Iman Ghazali, Ibnu Taimiyah, Al Jabar, dan sebagainya. Urgensi Menulis dalam Prespektif Islam (Pentingnya Budaya Literasi) sangatlah penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

“Bisa kita bayangkan jika tidak ada budaya keilmuan dalam Islam, maka tidak ada kitab Islam kita tersampaikan dengan utuh, tidak ada sejarah Islam dan pelajaran-pelajarannya” jelas Ade Suyitno yang mengutip pendapat dari www.muslimheritage.com yang digagas oleh The Foundation for Science, Technology and Civilisation (FSTC) yang berpusat di Manchester UK berupaya menemukan Oase keilmuan Islam dengan tag line “Discover The Muslim Heritage”. Kemudian dijelaskan tentang peroide waktu keemasan Islam yang dianggap bangsa Barat sebagai “Dark Age” karena mereka mengalami kemunduran dan mereka belajar Ilmu dari peradaban Islam. Lebih lanjut dijelaskan bahwa “sejarah menunjukan peradaban Emas Islam adalah peradaban dengan puncak keilmuan yang tinggi. Salah satu instansi budaya yang berpengaruh dalam kemajuan peradaban Islam adalah perpustakaan-perpustakaan umum yang saat itu dikenal dengan istilah Darul Ulum. Darul Ulum mulai didirikan pada abad IV hijriah. Perpustakaan umum pertama didirikan berlandaskan tradisi terpuji wakaf dalam Islam. Mari kita melihat sekilas peradaban Emas Keilmuan Islam di Asia dan Eropa.”
Darul Ulum yang didirikan kalangan Fatimi adalah di antara pusat-pusat ilmiah di masa itu. Perpustakaan umum ini dibangun pada tahun 395 hijriah di Kairo. Di lembaga ini diajarkan ilmu matematika dan ilmu alam yang juga dilengkapi dengan perpustakaan yang menampung lebih dari sejuta buku. Kemudian juga terdapat Darul Ulum Mosul, Darul Ulum Tripoli, Baghdad, Baitul Maqdis dan lain-lain yang masing-masing menampung ribuan buku. Para ilmuwan juga selalu menjadikan perpustakan–perpustakaan sebagai tempat aktivitas keilmuan dengan penelitian.
Selain Darul Ulum, terdapat pusat ilmiah dan budaya yang sangat berpengaruh dalam kemajuan peradaban dan kebudayaan Islam. Pusat ilmiah itu dikenal dengan istilah Nizamiya. Di pertengahan abad kelima hijriah, Khaje Nezam al-Molk yang juga menteri di masa Alp Arsalan Saljouqi, mendirikan sekolah-sekolah dengan nama Nizamiya di Baghdad, Nishobour dan kota-kota lainnya. Dengan sekolah-sekolah tersebut, tingkat pendidikan umat Islam mencapai puncaknya. Nizamiya di Baghdad didirikan pada tahun 459 hijriah. Di tempat itu, Abu Ishaq Shirazi mengajar. Tingkat tertinggi pengajaran di sekolah ini adalah pada saat Imam Ghazali yang sampai saat ini pemahamannya menjadi kebenaran ilmu yang diakui dunia, misalnya “Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kunciny.” Setelah itu, sekolah-sekolah Islam berkembang pesat di dunia Islam dan merambah kedaratan Eropa. Di Eropa terdapat wilayah cerah yang gilang gemilang di tengah kegelapan dunia, yaitu Andalusia (Spanyol).
Kemajuan Al-Andalusia sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman I, Abdurrahman II, dan Abdurrahman III. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting di antara penguasa Bani Umayyah di Al-Andalus dalam hal ini adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976)
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di Al-Andalus, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan budaya dunia Islam.
Universitas Cordova yang letaknya di Masjid Cordova adalah tempat yang paling baik untuk belajar pada saat itu. Saat itu telah ada jurusan astronomi, matematika, kedokteran, teologi dan undang-undang/hukum. Amir Hasan Siddiqi sebagaimana dikutip Salmah menyatakan: “Pada abad ke-10 M Apabila Cordova (ibu Negara kerajaan Umaiyah Spanyol) mula menyaingi Baghdad, pasang surut aliran budaya dan pembelajaran yang bertimbal balik. Semasa abad yang berikutnya, bertambah ramai lagi pelajar dari wilayah Islam Timur dan Kristian Eropah berduyun-duyun datang ke Universiti Cordova, Toledo, Granada dan Seville untuk menimba ilmu dari perigi ilmu pengetahuan yang mengalir ke sana dengan banyak sekali.”
Menulis adalah kegiatan yang sangat penting dalam Islam. Hal ini terbukti kitab al-Quran sebelum seperti sekarang ini berawal dari firman Allah yang kemudian di tulis dalam lembaran-lembaran pelepah kurma dan kulit binatang. Kemudian lembaran-lembaran tersebut di kumpulkan menjadi kumpulan pada masa Khalifah Usmani.
Pengembangan intelektual dalam Islam tidak terlepas dari karya-karya tulisan para cendekiawan Muslim yang aktif terus berkarya yang meningkatkan pengetahuan ilmu agama, ilmu pengetahuan, dalam berbagai disiplin ilmu yang mengispirasi umat untuk terus mengembangkan keilmuan yang telah ada.
Menulis dalam Islam al-Quran terdiri dari tiga akar kata, yaitu kata “pena” (qalam), tinta (midad), dan menulis (kataba). Di dalam al-Qur’an kata “pena” secara eksplisit hanya disebutkan tiga kali; (1) pada Surah al-Alaq, (2) kata “pena” (qalam) dalam Surah yang diberi nama al-Qalam yang dibuka dengan huruf nun, dan (3) kata pena qalam yang terdapat dalam Surat Al-Luqman: 27.
Perintah untuk menulis di dalam Al-Qur’an memang banyak, tetapi jika dibandingkan dengan perintah untuk membaca, berfikir, dan menggunakan akal secara kuantitatif jumlahnya lebih sedikit. Sedikitnya, perintah menulis, bukan berarti kegiatan menulis menjadi tidak penting. Sebaliknya, sedikitnya perintah menulis itu seharusnya lebih memotivasi umat Islam untuk lebih giat menulis sebagaimana yang dilakukan oleh ulama-ulama besar tempo dulu. Peradaban Emas Islam tidak terlepas dare budaya ilmiah “membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi,’’ jika budaya itu hilang, pantaslah umat Islam menjadi terbelakang, tambah Ade Suyitno . Dampak lebih lanjut parah adalah terjadinya keterbelakangan dalam bidang keilmuan sangat berpengaruh terhadap perkembangan teknologi yang tergolong sebagai penerapan ilmu, dan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi dan politik, yang nota bene tergolong bukan sebagai pure science.
Jadi, mana yang pure science? Apakah yang bebas nilai hanya berlaku dalam ilmu murni? Misalnya dalam sosiologi terdapat konsep kerjasama antara semua anggota atau warga masyarakat tersebut? Bukankah ini juga bersifat pure science, karena siapa pun mereka harus bekerjasama, tidak peduli asal usulnya tanpa melihat latar belang agama dan kepercaannya. Dalam kelompok masyarakat kita tidak boleh saling melakukan kekerasan. Demikian seterusnya, apakah hal tersebut tidak masuk dalam kategori pure science dan oleh karena itu juga bersifat value free?
Sumbangan ilmu Kauniyah

Ilmu Kauniyah adalah imu yang dilahirkan dari akal manusia sebagai mahluk yang tertinggi derajatnya. Marilah kita ingat ketika Adam diminta untuk menjelaskan nama-sama binatang, tumbuhan yang ada di dunia. Malaikat dan iblis tidak bisa menyebutkannya, karena mereka tidak memiliki ilmunya. Itulah sebabnya Malaikat bersujud kepada Adam sebagai wakil Allah Swt. di muka bumi. Sementara iblis tidak mau melakukannya, karena iblis menganggap merasa lebih tinggi derajatnya karena iblis dibuat dari api, sementara Adam dibuat dari segumpal tanah. Jadi ilmu kauniyah adalah hasil proses berfikir manusia, yang telah melahirkan berbagai macam ilmu dengan segala macam cabang dan rantingnya.

Bagaimana dengan ilmu Kauliyah yang diciptakan oleh Allah Swt? Apa fungsinya dibandingkan dengan ilmu Kauniyah? Ilmu Kauliyah adalah sumber kebenaran. Oleh karena itu Ilmu Kauliyah menjadi standar kebenaran untuk mengukur tingkat kebenaran ilmu Kauniah.

Sumber Ilmu Kauniyah

Semua ayat-ayat Kauliyah diturunkan oleh Allah Swt. kepada para Nabi melalui Malaikat-Nya. Sementara ayat-ayat Kauniyah lahir bersumber dari alam seisinya, yang berkat akal manusia tercipta menjadi ilmu dengan cabang dan ranting-rantingnya. Kembali kita diingatkan tentang kemampuan Adam ketika diminta oleh Allah Swt. untuk menyebutkan nama-nama alam seisinya

Demokrasi sesungguhnya lahir sebagai protes terhadap sistem pemerintahan di Eropah yang dikuasai oleh Raja-Raja yang adi kuasa. Para ilmuwan memeras otak untuk melahirkan ilmu yang dapat mengatasi sistem yang adi kuasa tersebut. Oleh karena itu lahirkan Trias Politika yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan harus dibagi dalam tiga ranah masing-masing, yakni ranah pelaksana pemerintahan, ranah pembuat undang-undang, dan ranah yang mengadili undang-undang. Sistem ini kemudian dinamakan demokrasi (berasal dari kata demos artinya rakyat, dan kratos artinya kekuasaan). Sistem baru ini dinilai lebih dapat diterima, karena sistem itu menganut keseimbangan, tidak dimonopoli oleh penguasa yang otoriter seperti oleh raja-raja, tetapi rakyat juga ikut menentukan kekuasaan.

Sementara itu, beberapa kalangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap ilmu-ilmu kauniyah. Misalnya ketidaksetujuan terhadap demokrasi, karena suara terbanyak tidak selalu menampilkan kebenaran. Ketidak setujuan terhadap nasionalisme karena adanya beberapa praktik penghormatan terhadap simbol-simbol negara yang dianggap sebagai dosa besar. Ketidak setujuan terhadap hak-hak azasi manusia khususnya kesamaan derajat laki-laki dengan wanita, khususnya tentang hak laki-laku sebagai pemimpin bagi wanita. Sementara isme-isme seperti komunisme, karea faham yang tidak mengakui adanya Allah Swt, sudah barang tentu sebagai ilmu-ilmu atau faham yang betentangan dengan Islam. Termasuk faham-faham kapitalisme, kolonislisme, neokolonialisme, imperalisme, liberalisme, termasuk neoliberalisme, bahkan radikalisme, yang semua itu harus dikaji karena sangat bertentangan dengan konsep Islam.

Gerakan Syar’iyah

Gerakan syar’iyah, semacam yang digagas oleh Sjafii Antonio dengan ekonomi syar’iyah, bank syar’iyah. Dalam tausiah di Masjid Baitut Tholibin, Kompleks Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta, pernah membuat jama’ah terpukau dengan uraian beliau tentang ekonomi dan bank syari’ah. Dengan Al-Qur’an yang diacung-acungkan kepada jama’ah, beliau menegaskan bahwa umat ini belum mempunyai manual tentang bagaimana mengurus ekonomi, dan urusan lain secara Islami. Memang, mantan penganut Kong Huchu itu tidak membahas tentang manual untuk mengurus demokrasi secara syari’ah. Kalau ada ekonomi syari’ah, kenapa tidak ada demokrasi syari’ah? Sehingga tidak perlu menolak demokrasi hanya gara-gara ilmu atau isme itu dari Barat. Gerakan syari’at, boleh jadi tidak perlu menunggu negeri ini berdasarkan Islam. Gerakan yang dilakukan oleh Syafii Antonio harus diteruskan, sampai menjelajah ke semua ilmu atau isme-isme yang lain. Misalnya tentang pedagogi syari’ah. Mendidik secara syari’ah, berpakaian secara syari’ah. Semuanya perlu manual operasional. Demikian penjelasan Syafii Antonio tentang Ekonomi Syari’ah, yang sering mengutip ayat dalam Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang fasih.

Penerapan ilmu kauniyah sudah barang tentu harus dikaji dan dibandingkan dengan ilmu kauliyah lainnya. Bahkan harus dikembalikan dengan hukum-hukum yang berasal dari ilmu kauliyah. Semuanya masih harus dianalisis kebenarannya. Tentu sudah pasti harus dikembalikan kepada ayat-ayat kauliah, tetapi juga harus mempertimbangkan kebenaran ilmu-ilmu kauniyah. Dengan demikian gerakan syar’iyah sebenarnya gerakan untuk mengembalikan ilmu-ilmu kauniyah kepada jalan yang benar yang dituntun oleh ilmu-ilmu kauliyah, ilmu-imu yang berdasarkan Kitabullah.

Bagaimana dengan Demokrasi Syari’ah

Teori tentang suara terbanyak konon tidak sesuai dengan hukum Islam, karena suara terbanyak belum tentu sesuai dengan kebenaran hukum berdasarkan firman dari Allah. Katakanlah, anggota DPR sedang membahas tentang praktik perjudian, atau praktik minum keras, atau tuna susila, atau hukum tentang monopoli air yang kini sedang giat dibahas oleh mereka yang duduk di lembaga legistlatif. Jika jumlah terbanyak anggota DPR justru setuju dengan semua praktik itu, maka hukum yang dipakai adalah hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Swt. Dengan demikian ungkapan tentang “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan,” tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dari ayat-ayat kauliyah. Dengan alasan itulah, maka demokrasi mendapatkan penolakan. Padahal, boleh jadi karena demokrasi belum diterjemahkan dalam manual-manual yang berdasarkan Syariáh. Penolakan seperti itu, tentu akan terkait dengan teori, ilmu, dan isme-isme yang lain.

The heart of religion is the religion of heart. The heart of the heart is peace and love

Pandangan ini sebenarnya sama dengan “Addinul khusnul khulub” artinya “agama itu bersumber dari akhlak” (maaf kalau kurang pas). Kaidah ini saya peroleh dari kutbah shalat Jum’at di Masjid Al-Mujahiddin Taman Depok Permai, tanggal 1 Mei 2015 kemarin. Jantung agama adalah cinta dan damai. Jantung agama adalah akhlak mulia. Dengan demikian pas. Jadi ayat kauniyah cocok dengan ayat kauliyah. Hanya bahasanya saja yang berbeda.

Ada pandangan yang menyatakan bahwa sistem demokrasi kita anggap tidak relevan lagi dalam abad ini, termasuk ilmu-ilmu dan isme-isme yang demikian banyak itu. Konon katanya sudah hitungan abad ilmu-ilmu dan isme-iseme tersebut kita gunakan, tetapi toh tidak dapat mengubah dunia. Alih-alih dapat memperbaiki dunia. Malah sebalinya menghancurkannya barangkali. Pasti akan terjadi perbedaan pendapat dan pandangan terhadap kedua ayat tersebut, baik kauliyah dan ayat kauniyah. Allah Swt. menyampaikan bahwa perbedaan itu fitrah. Justru karena perbedaan itulah yang seharusnya melahirkan kerja sama. Adakah jalan untuk menyatukan perbedaan pandangan tersebut? Jalan panjang sudah tentu. Dengan dinamika sudah pasti.

Bid’ah Modern?

Apakah memang benar isme-isme dan ilmu-ilmu kauniyah tersebut salah? Atau bahkan dapat disebut sebagai bid’ah dholallah? Adakah ilmu-ilmu dan ilmu-ilmu kauniah tersebut adalah dapat disebut sebagai bid’ah? Bahkan sebagai bid’ah? Karena menjadi way of life atau panduan hidup yang tidak berasal dari ayat-ayat kauliyah.

Bagi penulis, bid’ah harus dikembalikan kepada makna sebenarnya, yakni aturan baru tentang ibadah mahdhoh. Bukan ibadah ghoiru mahdhoh. Bukan ilmu-ilmu atau isme-isme yang berasal dari ayat-ayat kauniyah. Ilmu-ilmu atau isme-isme tersebut merupakan kemerdekaan manusia karena akatnya yang melahirkan ilmu-ilmu dan isme-iseme yang berasal dari ayat-ayat kauniyah, yakni ayat-ayat yang berasal dari alam raya. Astronomi, sebagai contoh adalah ilmu-ilmu kauniyah yang menjelaskan tentang jagad raya seisinya tentang sistem tata surya. Geologi adalah ilmu kauniyah yang menjelaskan tentang isi perut bumi yang menjelaskan tentang bebatuan bahkan sampai dengan magma yang karena kehendak Allah Swt. menjadi erupsi gunung berapi. Klimatologi adalah ilmu kauniyah yang mempelajari tentang aklim di dunia ini yang kini telah mengalami perubahan iklim karena ulah manusia yang membuat kanaikan panas bumi. Dan masih banyak lagi ilmu-ilmu kauniyah yang menjelaskan tentang alam raya seisinya. Mengapa? Karena yang melahirkannya semua ilmu tersebut adalah mahluk Allah Swt. yang tertinggi derajatnya yang bernama manusia. Ilmu-ilmu dan isme-isem tersebut adalah hasil karya otak manusia, baik otak kiri (the left brain) yang berurusan tentang hitung menghitung atau berhubungan dengan otak kiri, dan otak kanan (yang berurusan dengan tentang kepribadian, Bahasa, dan sebagainya. Untuk meluruskannya, marilah kita saling duduk bersama dengan cinta dan damai. Bukan dengan menggebrak meja seperti yang sekarang terjadi.

Refleksi

Jika kita berandai-andai menyatakan bahwa ilmu-ilmu atau isme-isem kita tolak mentah-mentah, katakanlah misalnya demokrasi, multikulturalisme, hak azasi manusia, kesetaraan gender, dan mungkin banyak ilmu dan isme lainnya, maka sistem apatah lagi yang harus menggantikannya? Apakah sistem itu sudah diujicobakan dalam kehidupan? Inilah awal dan akhir pembahasan kita tentang kelahiran ilmu-ilmu kauniyah dewasa ini. Sekali lagi, marilah kita mendiskusikan dan membahasnya dengan prinsip cinta dan damai (love and peace). Karena perbedaan adalah fitrah manusia. Allah akan mudah sekali untuk menyatukan perbedaan itu dalam sekejap. Tetapi Allah Swt. tidak akan. Mengapa? Agar manusia dapat bekerja sama. Wallahu alam bishawab.

Bahan kepustakaan:
1. www.satriadharma.co,
2. Bulletin Hisbuttahrir Indonesia;
3. Sayidiman Suryohadiprojo, Mengobarkan Kembali Api Pancasila.
4. Laman: www.suparlan.com;
5. Surel: me@suparlan.com.
Jakarta, 21 April 2015

Tags: Ilmu, Kauniyah

Related Articles

2 Komentar. Leave new

  • Hisham El Qaderie
    Jumat, 29 Mei 2015 09:46:05

    jika ilmu kauniyah itu telah benar, maka dia adalah sunnatullah, sunntaullah itu islam. jadi ilmu kauniyah itu juga islam adanya jika ia benar. wallahu a’lam

    Balas
    • Cocok! Eee, masih beredar ya Pak. Salam kepada teman-teman mantan guru SPG Negeri Pamekasan. Alhamdulillah, saat ini saya menjadi ulama (usia lanjut masih aktif). Saya pernah ketemu Pak Tawil di Jember. Alhamdulillah sehat. Bagaimana kalau kita mengadakan reuni? Itu proyek kebahagiaan lho. Cucu saya sudah lima (laki-laki semua). Salam, Suparlan

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel

Lembaga Ad Hoc Pendidikan

***  Pendidikan adalah senjata terkuat yang bisa digunakan untuk mengubah dunia (Nelson Mandela, pejuang anti-apartheid dan politikus Afrika…