***
Anak-anak di dalam kelas kita mutlak lebih penting daripada pelajaran yang kita ajarkan kepada mereka
(Meladeo McCarty dalam Chicken Soup for the Teacher’s Soul)
***
Pada tanggal 11 April 2014, saya beruntung dapat mengikuti Workshop Kurikulum 2013 yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Kegiatan ini diikuti oleh semua eselon II, III, IV, dan para staf di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. Mengapa workshop tersebut sangat penting? Salah satu alasannya adalalah karena siapa pun yang pergi ke daerah, selalu memperoleh pertanyaan tentang Kurikulum 2013, tidak peduli dari mana asalnya. Oleh karena itu kita memperoleh bekal tentang konsep dan pelaksanaan Kurikulum 2013.
Saya sendiri, ikut “nimbrung saja”, “idep-idep” menambah pengetahuan tentang Kurikulum 2013 ini, karena terus terang saya hanya memiliki pemahaman yang sepotong-potong, meski dahulu memiliki latar belakang “curriculum and instruction”. That was very interesting. Maka saya ikuti penjelasan itu dan kemudian saya tuangkan dalam tulisan ini.
Kelebihan Kurikulum 2013
Pak Wamen Bidang Pendidikan memberikan informasi pendahuluan tentang pentingnya Kurikulum 2013 ini. Juga tentang betapa beratnya persiapan dan pelaksanaannya, dengan melibatkan 6.236 sekolah, dalam 295 kabupaten/kota. Istilahnya, kurikulum ini telah dipersiapkan dengan berdarah-darah. Penjelasan beliau memang bukan seluruhnya baru. Dalam beberapa kesempatan beliau selalu menjelaskan bahwa this curriculum is the number one. Banyak orang dan tokoh pendidikan yang tertarik untuk melaksanakan Kurikulum 2013 ini di lembaga pendidikannya, karena kehebatan Kurikulum 2013 ini. Misalnya, kurikulum ini telah mengurangi jumlah mata pelajaran yang dirasakan berat oleh peserta didik, dari 12 mata palajaran menjadi hanya 6 mata pelajaran. Oleh karena itu, jumlah buku yang harus ditenteng di tas anak-anak juga berkurang, karena bukunya hanya satu saja. Kurikulum 2013 ini, jelas beliau, telah mengurangi beban karena stres peserta didik, misalnya dapat mengurangi banyaknya pekerjaan rumah dan beban pikiran peserta didik. “Dahulu, hari Ahad merupakan hari merdeka bagi anak-anak” lanjutnya. Dan kedatangan hari Senin menjadi membosankan, karena beban belajar anak-anak. “I hate Monday” jelasnya dalam paparan beliau dengan menunjukkan foto anak-anak yang sedang cemberut karena beratnya beban belajat belajar yang dihadapi pada hari Senin.
Lebih dari itu, dengan kurikulum baru ini, guru akan mengajar dengan siswa yang lebih aktif, karena proses pembelajaran tematik integratif, siswa tidak hanya “diberi tahu oleh guru”, melainkan lebih “mencari tahu”, dari berbagai sumber pengahuan. Inilah hakikat pendekatan pembelajaran saintifik, yang menjadi inti pembelajaran versi Kurikulum 2013.
Beliau memberikan contoh pembelajaran tematik-integratif di kelas I Sekolah Dasar. Buku yang digunakan oleh Kurikulum 2013 telah memperkenalkan kebhinekaan Indonesia melalui karakteristik nama-nama Jawa, Islam, sampai dengan nama-nama yang biasa digunakan oleh anak-anak Papua dan nama-nama dalam agama Hindu, Katolik, dan Kristen. Hal ini berbeda dengan buku sebelumnya yang hanya menggunakan satu nama “Budi” yang Jawa sentris. Dengan buku ini anak-anak telah diperkenalkan tentang kebhinekaan budaya. That’s very good. Itu awal Pendidikan Multikultural bagi peserta didik. Hari pertama masuk sekolah, anak-anak diperkenalkan dengan buku dengan gambar-gambar dengan nama-nama tersebut. Meski anak-anak belum bisa membaca, guru harus menceritakan gambar-gambar tersebut, dan siswa belum perlu diajarkan membaca, hanya melihat gambarnya, untuk dipraktikkan di kelas dengan memperkenalkan diri, nama masing-masing siswa dengan sesama teman di dalam kelas. Dengan demikian, para siswa akan memperoleh kesan pertama yang mengesankan tentang nama-nama teman mereka. Dalam beberapa minggu, guru masih hanya menceritakan gambar yang ada dalam buku itu, dan mempraktikkannya apa yang tertulis atau tergambar dalam buku itu. Anak-anak sama sekali belum harus membaca buku tersebut. Tulisan yang ada dalam buku tidak harus dibaca oleh siswa, tetapi menjadi panduan untuk menceritakan isi yang terkandung dalam buku tersebut, sesuai dengan tema-tema yang menjadi isi buku tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Menteri Bidang Pendidikan juga menjelaskan tentang pendekatan pembelajaran pendekatan saintifik, sebagai berikut: 1) peserta didik dibasakan mengamati, 2) dalam proses mengamati tersebut, peserta didik didik juga dilatih untuk dapat menanyakan, 3) menalara, 4) mencoba, 5) menciptakan, dan terkakhir 6) mengomunikasikan tentang hasil pengamatan. Keseluruhan pendekatan saintifik peserta didik dibiasakan untuk melakukan kreativitas;
Dasar Hukum
Sesi berikutnya workshop setengah hari tersebut dilanjukan tentang konsep Kurikulum 2013. Saya tertarik kepada konsep pendidikan yang dijelaskan, juga tentang pengertian kurikulum dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam paparan itu, rumusan hasil Pemerintah dan Wakil-Wakil Rakyat dalam DPR ini masih sangat dihargai. Penyaji menyampaikan bahwa rumusan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-Undang tentu saja merupakan hasil dari orang-orang pintar. Alasan inilah yang menyebabkan rumusan tujuan pendidikan tersebut dijadikan acuan untuk menentukan bahan ajar dan struktur kurikulum dalam Kurikulum 2013.
Dalam paparan itu, pengertian kurikulum dikutip dari UU Nomor 20 Tahun 2003 sebagai berikit: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Berangkat pengertian tersebut, maka tujuan pendidikan dikutip sebagai berikut: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”
Pasal dalam Ketentuan Umum tentang fungsi dan tujuan pendidikan tersebut dijabarkan dalam batang tubuh Bab II, Pasal 3 yang rumusannya sebagai berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Berdasarkan tujuan inilah maka konsep isi, bahan pelajaran dan cara yang digunakan dalam penyelanggaraan kegiatan pembelajaran dirumuskan oleh pengembang Kurikulum 2013. Tujuan pendidikan meliputi 3 ranah, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sementara ranah sikap dibagi menjadi dua aspek, yakni sikap spiritual dan sikap sosial. Sudah tentu ranah sikap tersebut berasal dari rumusan tujuan pendidikan “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia” tersebut. Jadi konsep tujuan pendidikan difahami memang berangkat secara utuh dari rumusan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Ranah Tujuan Pendidikan
Menurut penyaji, tujuan pendidikan ini berbeda dengan taksonomi tujuan pedidikan menurut Benjamin S. Bloom. Ranah tujuan pendidikan yang digunakan dalam Kurikulum 2013 adalah ranah SIKAP, PENGETAHUAN, dan KETERAMPILAN. Sementara taksonomi tujuan pendidikan menurut Bloom adalah ranah KOGNITIF, AFEKTIF, dan PSIKOMOTOR. Sama-sama tiga ranah, tetapi penyebutannya yang berbeda, karena ranah sikap mendapatkan tempat pertama dalam Kurikulum 2013. Penjabaran ketiga ranah tujuan menurut Bloom menjadi K1 sampai K6, A1 sampai A5, dan P1 sampai dengan P7 sebenarnya untuk menjadi acuan bagi guru untuk menetapkan tujuan secara operasional dalam ketiga ranah tersebut, yang tentu saja kesemuanya akan menjadi mempribadi dalam diri pesera didik. Ketika tujuan pendidikan menurut Bloom tersebut adalah Cognitive Domain, Affective Domain, Psych0motoric Domain.
Penjelasan perbedaan antara tujuan pendidikan dalan Kurikulum 2013 dengan taksonomi tujuan pendidikan yang berbeda menurut Bloom tersebut, tentu saja sangat diperlukan pemahaman oleh para guru di lapangan dalam melaksanakan pembelajaran, baik yang tematik integratif maupun yang monolitik di lapangan. Oleh karena itu penjelasan tersebut tidak cukup disajikan hanya dalam paparan, tetapi harus dalam buku panduan yang lengkap bersama buku ajar untuk siswa.
Dalam tiga ranah tujuan pendidikan menuurut Bloom, ranah kognitifnya telah direvisi dari ranah kognitif lama menjadi ranah kognitif baru, yakni dari rumusan kata benda dalam ranah kognitif lama menjadi kata kerja dalam ranah kognitif baru. Di samping itu juga dalam aspek urutan kategori ke-5 menjadi ke-6, yakni dari “synthesis-evaluation” menjadi “evaluating-creating’. Perubahan kategori ranah kognitif lama menjadi ranah kognitif baru tersebut dapat dijelaskan dalam bagan berikut:
Bagan: Ranah Kognitif Lama dan Ranah Kognitif Baru
Sumber: www.google.com
Dalam kategori lama, K5 dan K6 adalah synthesis dan evaluation (dengan kata benda atau nouns. Sementara itu, dalam kategori baru, K5 dan K6 adalah sebaliknya, yakni evaluating dan creating (dengan kata kerja atau verbs). Itulah ranah tujuan pendidikan menurut Benjamin S. Bloom.
Memang benar, ketiga ranah tujuan pendidikan tersebut tidaklah dapat dipisahkan satu ranah dengan ranah yang lain. Ketiga tujuan pendidikan itu pun akan berlaku sesuai kondisi dan konteks pembelajaran. Ketika materi pelajaran yang diajarkan tentang sains dan matematika, maka ranah pengetahuan dan keterampilan akan lebih mendominasi proses pembelajaran, meskipun ranah itu pun akan menyangkut ranah afektif. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam ranah keterampilan (misalnya tangan) pasti akan dilakukan karena ada perintah dari otak dan hati. Walhasil ketiga tujuan pendidikan tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan secara kaku. Saya yakin bahwa pembagian ketiga ranah pendidikan tersebut dilakukan hanya untuk memudahkan dalam penggolongan, meskipun dalam praktik ketiganya tetap akan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri peserta didik. Tujuan pendidikan yang diharapkan sudah barang tentu mampu menghasilkan manusia yang ketiga ranahnya tinggi, baik sikap, pengetahuan, dan keterampilannya.
Tujuan Negara dan Tujuan Pendidikan
Yang menarik perhatian, penyaji sama sekali tidak menyebutkan bahwa ketiga ranah tujuan pendidikan tersebut sebenarnya merupakan turunan dari “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA” hasil rumusan tujuan negara oleh pendiri NKRI dalam Pembukaan UUD 1945. Rumusan tujuan negara MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA tersebut sebenarnya harus dijabarkan menjadi tiga tujuan pendidikan SIKAP, PENGETAHUAN, dan KETERAMPILAN. Undang-Undang merupakan penjabaran dari UUD 1945. Oleh karena itu rumusan tujuan pendidikan nasional harus menjadi pencabaran tujuan negara. Tujuan negara tersebut harus dirumuskan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sebagai pengetahuan, ternyata rumusan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945 “MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA” telah jauh mendahului konsep Howard Gardner tentang “Multiple Intelligence’. Tenyata istilah “cerdas” yang dirumusan oleh para pendiri republik ini justru lahir lebih dahulu jika dibandingkan dengan konsep Howard Gardner tersebut. Cerdas bukan sinonim dari pandai atau pintar, tetapi lebih pas dengan “bestari”, kosa kata dalam Bahasa Melayu yang digunakan oleh Malaysia dan dipadankan dengan kata “smart”. Itulah sebabnya Malaysia menggunakan istilah Sekolah Bestari, sebagai padanan dari “Smart School”.
Boleh jadi, kata Bestari dapat diartikan memiliki ketiga ranah SIKAP, PENGETAHUAN, dan KETERAMPILAN. Dengan demikian, cerdas, sebagaimana konsep Mencerdaskan Kehidupan Bangsa oleh para pendiri republik ini, tidak hanya merupakan produk dari kerja otak kiri saja (intelectual domains) saja, tetapi lebih merupakan produk dari ketiga ranah tersebut secara menyeluruh. Dengan demikian, kecerdasan tersebut ternyata harus dimaknai dengan tiga tipe kecerdasan, secara singkat dikenal dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan spiritual dan emosional (EQ), dan kecerdasan kinestetik.
Berkenaan dengan rumusan tujuan pendidikan, Anwar Jasin pernah menyampaikan gagasannya tentang dua hal yang amat penting mengenai tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:
Pertama, perlu ada ketentuan yang mengatur lembaga apa yang sepatutnya merumuskan tujuan pendidikan nasional. Selama perkembangan sejarah pendidikan di negeri ini, tujuan pendidikan pernah dirumuskan berdasarkan Tap MPR. Rumusan tujuan pendidikan saat ini memang harus perumusan Presiden bersama DPR dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk ini, Anwar Jasin juga mengajukan usul tentang siapa, lembaga apa yang bertugas untuk merumuskan tujuan pendidikan yang yang baku.
Kedua, Anwar Jasin juga menyarankan dalam ketentuan tersebut, juga harus disepakati adanya ketentuan tentang berapa lama rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut sudah waktunya dikaji kembali untuk disempurnakan, agar rumusan tujuan pendidikan itu tidak mudah bergeser dan berubah hanya karena adanya perubahan kebijakan. Suatu ketika, tujuan pendidikan dimaknai sebagai IMTAQ dan IPTEK saja. Ketika yang lain, dimaknai dengan penekanan sebagai LIFE SKILLS. Jika kurikulum kira-kira dalam usia sepuluh tahun perlu dikaji kembali, maka tujuan pendidikan nasional yang menjadi orientasi perubahan kurikulum juga harus dikaji kembali setelah kira-kira dalam sepuluh tahun.
Akhirnya, pembahasan tentang tujuan pendidikan memang cukup cukup rumit dan menarik.
Namun secara sederhana, rumusan tersebut harus dapat menjawab pertanyaan sedernana tentang pertanyaan orang tua siswa yang menanyakan “untuk apa anak bersekolah?”. Dengan demikian, rumusan tujan pendidikan memang bukan semata-mata rumusan akademik yang rumit dan teoritis, tetapi harus dirumuskan dengan sederhana dan mudah difahami oleh para guru, orang tua, dan peserta didik. Oleh karena itu, tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, dan tujuan instruksional umum, dan tujuan instruksional khusus. Begitulah dahulu, entah bagaimana sekarang. Terus terang, uraian panjang lebar tentang tujuan pendidikan SIKAP, PENGETAHUAN, DAN KETERAMPILAN, tidaklah cukup hanya dijabarkan dalam paparan melalui sosialisasi atau workshop saja. Kita semua memerlukan penjabaran yang operasional, dan sekaligus contoh-contohnya. Mengapa? Karena pada awal pembelajaran, dalam standar proses, pada saat guru melakukan appersepsi atau membuka pelajaran, guru berkewajiban untuk menjelaskan apa tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh siswa pada akhir proses pembelajaran.
Walhasil, penjelasan tentang Kurikulum 2013 tersebut sangat menarik, terutama tentang penjelasan mengenai tujuan mendidikan sebagai hasil akhir proses pendidikan.
Pertama, tujuan pendidikan nasional harus menjadi penjabaran dari tujuan negara MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA;
Kedua, harus ada ketentuan yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan kita harus dirumuskan setidaknya dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan ketentuan tersebut harus menegaskan bahwa rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut baru dapat disempurnakan kembali pada saat Undang-Undang tersebut sudah saatnya disempurnakan kembali berdasarkan Undang-Undang.
Ketiga, jika rumusan tujan pendidikan dalam Kurikulum 2013 berbeda dengan taknonomi tujuan pendidikan menurut Bloom, maka penjelasan tentang perbedaan dan persamaannya perlu dijelaskan dalam buku panduan yang disusun untuk mendampingi panduan untuk pengawas, kepala sekolah, dan guru, serta orangtua siswa.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi pengingat agar tujuan pendidikan SIKAP, PENGETAHUAN, DAN KETERAMPLAN yang dibahas dalam dalam workshop Kurikulum 2013 memang merupakan hal yang harus dijelaskan bukan hanya teoritis tetapi yang terpenting adalah praktik oleh para guru yang menjadi garda terdepan proses pengajaran dan pembelajaran.
Depok, 23 Oktober 2014