Oleh Suparlan *)
Dan pada sebagian malam hari bersalat tahajjudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhammu mengangkat ke tempat yang terpuji
(QS Al Isra’ 79)).
Advertensi rokok yang satu ini memang aneh. Substansi advertensinya justru tidak terkait sama sekali dengan rokoknya sendiri. Tetapi, substansi advertensinya malah merupakan isu sosial semasa. Kali ini isu sosial yang dicoba untuk dijual melalui advertensinya menyinggung kebiasaan puasa kebanyakan dari umat ini. Puasa tingkat pertama, puasa awam, yang hanya memperoleh lapar dan dahaga. Itulah kira-kira salah satu bentuk ekspresi pengalaman ibadah puasa kita selama ini.
Advertensi rokok itu dipasang di pertigaan jalan di kawasan Stadion Gelora Bung Karno. Tentu saja kuliah tertulis Ramadan kali ini bukan sekalian memrpromosikan rokok. Sama sekali bukan. Tetapi akan mengulas isu yang dikemukakan, yakni masih banyaknya para pengangut puasa tingkat pertama, yakni puasa awam, yang hanya akan memperoleh lapar dan dahaga saja. Tidak lebih. Puasa tingkat pertama ini seharusnya dapat kita tingkatkan menjadi puasa tingkat kedua, dan kemudian ketiga. Ada ustadz yang menyebutkan tiga tingkatkan puasa, yakni puasa emosional, puasa intelektual, dan puasa spiritual. Apapun sebutannya, seharusnya kita melakukan puasa minimal tingkat kedua, kalau bisa malah tingkat yang ketiga.
Apakah puasa kebanyakan umat memang masih puasa yang pertama? Kalau ya, apa tanda-tandanya? Penelitian mengenai hal ini mungkin belum pernah dilakukan. Pendapat umum menyatakan demikian. Setidaknya ada dua indikasi yang dapat dikemukakan dalam tulisan singkat ini.
Pertama, pola konsumsi umat masih terkesan boros. Meja makan kita dipenuhi berbagai jenis makanan yang lebih cenderung hanya untuk memuaskan nafsu makan semata-mata. Belanja dapur kita menjadi melonjak. Bahkan pasar swalayan, mall, dipenuhi oleh umat yang akan berlomba-lomba untuk belanja. Timbullah pertanyaan dalam hati kecil ini. Siapakah yang mendapatkan berkah dalam Bulan Ramadan ini? Yang memperoleh berkah sebenarnya apakah umat Islam yang sedang berpuasa ataukah yang lainnya. Umat Islam kebanyakan menjadi korban dari pola konsumerisme yang sebenarnya telah kita bangun sendiri. Kita kebanyakan baru dapat memendam nafsu di siang hari, tetapi justru melampiaskannya menjadi dendam nafsu di malam hari. Dengan kata lain, puasa masih termasuk puasa tingkat pertama yang belum sepenuhnya berhasil menumbuhkan benih-benih kasih sayang, simpati, dan empati kepada sesama, terutama kepada para duafa. .
Kedua, kekerasan masih saja dilakukan oleh orang yang justru melaksanakan puasa. Justru orang-orang ini mengatasnamakan kelompok yang konon berjuang membela keluhuran Bulan Ramadan. Ini merupakan satu paradok atau sesuatu yang bertolak belakang antara keluhuran Bulan Ramadan dengan aksi anarkis yang dilakukannya.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa amalan puasa kita masih seperti itu? Tentu ada beberapa faktor penyebab yang esensial.
Pertama, pemahaman agama kita masih sedemikian rendah. Kebanyakan kita beragama karena keturunan, bukan karena pemahaman terhadap agama kita. Meski Islah merupakan konsep yang paling benar dan paling tinggi, tidak ada yang menandingi, tetapi konsep yang tinggi itu tidak dengan serta merta dapat kita terapkan dalam kehidupan kita dengan benar. Kalau Emha Ainun Najib menyatakan bahwa agama itu mengandung ideologi dan metodologi sekaligus, maka kita lemah untuk yang keduanya. Seabgai contoh, manajemen zakat kita masih sangat tradisional, kecuali zakat yang telah dikelola dengan manajemen modern. Zakat kita baru sebatas dapat mengentaskan kemiskinan sehari ketika hari raya tiba, padahal seharusnya dapat mengentaskan kemiskinan seumur hidup. Termasuk dalam hal pemahaman yang rendah, terindikasi dari adanya beberapa Hadis yang tidak hasan. Konon di suatu masa dahulu di zaman kolonial, Snock Horgronye pernah mengeluarkan ”Hadis” yang kemudian diyakini sebagai Hadis. Adanya kasus aliran sesat juga menjadi indikasi lain yang perlu mendapatkan perhatian.
Kedua, perlu pembenahan organisasi dan manajemen yang serius untuk meningkatkan pengalaman agama dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai yang haq akan dapat dikalahkan oleh yang batil yang diorganisasikan dengan baik. Adanya beebrapa kelompok masjid atau musholla yang terpaksa turun di jalalan untuk mengumpulkan dana pembangunan masjid dan musholla merupakan bukti kelemahan organisasi dan manajemen kita dalam mengurus sesuatu yang haq. Untuk itu, maka tugas Departemen Agama, MUI, organisasi massa Islam dalam mencerdaskan umat dalam memahami Islam yang benar menjadi demikian penting. Semetnara itu, tugas yang satu ini kurang memperoleh tempat yang terhormat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal mengalamalkan agamanya. Urusan pendidikan di Departemen Agama seharusnya termasuk urusan yang diotonomikan ke pemerintah daerah, sebagaimana urusan pendidikan yang lain di Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian dirjennya akan berubah menjadi dirjen yang mengurusi usaha yang serius untuk meningkatkan pemahaman agama bagi seluruh warga negara.
.
Mudah-mudahan amal puasa hari ketigabelas ini dapat lebih meningkatkan pemahaman kita untuk mengamalkan agama dalam kehidupan sehari-hari Amin, ya robbal alamin. Wallau alam bishawab.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 26 September 2007