Oleh Suparlan *)
Sekolah tidak dapat lagi kita pikirkan sebagai suatu lembaga sosial yang berdiri sendiri, terlepas dari lembaga-lembaga sosial lain. Sekolah harus kita pandang sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang ada di sekitarnya, baik masyarakat lokal, maupun masyarakat daerah atau masyarakat nasional.
(Mochtar Buchori)
Universiti Utara Malaysia (UUM) adalah univeritas negeri di Malaysia, yang terletak di negara bagian Kedah, tanah kelahiran sang mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Muhammad.
Yang unik di UUM, sebagian besar mahasiswa di universitas ini harus tinggal di Kolej Kediaman atau asrama yang memang telah disiapkan oleh universitas. Keberadaan Kolej Kediaman Ini memang dirancang seperti itu, karana lokasi UUM memang berada di tengah hutan yang jauh dari kawasan perkotaan. Inilah yang justru menunjukkan kehebatan kerajaan Malaysia. Para mahasiswa jauh lebih steril dari pengaruh kebisingan kota. Dan mereka lebih berkonsentrasi dalam menuntut ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang lebih unik, nama-nama Kolej Kediaman di UUM tersebut ternyata menggunakan nama-nama perusahaan atau badan usaha usaha, baik milik negara atau swasta. Nama-nama badan usaha itu antara lain adalah: (1) Perwaja – mirip dengan Krakatau Sill di Indonesia), (2) Maybank, (3) EON atau Edaran Otomotif Nasional, perusahaan distribusi otomotif di Malaysia, dan lain sebagainya.
Gambaran itu dapat menjadi indikasi bahwa DUDI di Malaysia telah dilibatkan secara sinergis dalam penyelenggaraan pendidikan. Bagaimana di Indonesia?
Andaikan saja penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan (DP) Kabupaten Pasuruan. Sudah tentu, sebagai ketua DP, penulis akan selalu dekat dengan rakyat. Istilah SBY, selalu ‘engange’ di tengah-tengah masyarakat. Sebagai pemimpin, memang kita haruslah dekat dengan rakyat. Dengan demikian, jika ada rakyatnya yang kelaparan, maka pemimpin itu segera menegetahuinya. Bahkan sebaiknya apa yang biasa dimakan rakyatnya, itulah yang dimakan pemimpinnya. Ini merupakan bahan pelajaran dari peristiwa mati kelaparan di Papua.
Sebagai ketua DP, cobalah bertanya kepada orangtua siswa, apakah perannya dalam dunia pendidikan. Ada beberapa kemungkinan alternatif jawaban yang mungkin Anda harapkan. Pertama, saya telah membayar SPP anak saya. Kedua, saya telah membelikan buku yang diwajibkan oleh sekolah untuk anak saya. Ketiga, saya telah membelikan baju seragam, sepatu untuk anak saya. Cukup puaskan terhadap jawaban orangtua siswa tersebut bagi seorang ketua DP?
Jika kemudian ada orangtua siswa yang menjawablain, bagaimana? Misalnya, keempat, saya telah membantu mengerjakan PR untuk anak saja. Kelima, saya mengusulkan agar sekolah memberikan pelajaran tambahan bagi anak saya.
Atau kemudian jika ada orangtua siswa yang menjawab lebih dari itu. Misalnya, keenam, saya ikut mengajarkan tentang kesehatan gigi. Ketujuh, saya telah membuat tata tertib di rumah tentang jam belajar, dan jam lihat televisi. Atau jawaban lain lagi?
Semua alternatif jawaban tersebut, mulai yang pertama sampai dengan yang ketujuh, pada dasarnya merupakan representasi dari peran orangtua siswa yang mungkin menjadi salah satu unsur yang duduk sebagai anggota atau pengurus Dewan Pendidikan. Alternatif jawaban pertama sampai ketiga adalah lebih menunjukkan peran supporting dari segi dana. Sementara alternatif keempat sampai kelima juga masih peran supporting dari segi gagasan atau pemikiran. Sedang alternatif jawaban keenam dan ketujuh juga masih sebagai peran supporting dari segi tenaga. Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan bahkan Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, peran Komite Sekolah atau peran Dewan Pendidikan jauh lebih dari itu. Minimal ada tiga dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 atau empat peran menurut Kependiknas 044/U/2002, yakni (1) advisor agency, (2) supporting agency, (3) controlling agency, dan (4) mediator.
Lalu, apakah hanya itu peran sesungguhnya peran orangtua siswa yang mungkin menjadi salah satu unsur dari Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan? Kalau itu semua adalah pertanyaan kepada orangtua siswa, bagaimana kalau pertanyaan tersebut diajukan kepada elemen masyarakat yang bernama DUDI atau dunia usaha dan dunia industri. Maka jawabannya pasti akan lebih heboh lagi, karena terkait erat dengan beberapa aspek sosial ekonomi, sosial budaya, bahkan berbau politik.
Peran Sosial Ekonomi
Adakah hubungan antara pendidikan dan DUDI? Jelas keduanya tidak dapat dipisahkan. Gambaran peran DUDI di Malaysia dalam konteks penyediaan Kolej Kediaman atau asrama di UUM di Malaysia merupakan hubungan sinergis yang sangat menunjang peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan menghasilkan lulusan yang akan digunakan oleh DUDI. Artinya, kualitas hasil pendidikan akan mempengaruhi kualitas DUDI. Nah, siapa yang bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan? Sudah barang tentu DUDI tidak pantas hanya menengadahkan tangannya ke atas, menunggu turunnya kualitas lulusan yang bermutu untuk menjadi SDM-nya. Minimal 5% dari dana keuntungan DUDI sepantasnya untuk dapat dialokasikan untuk pendidikan. Adakah ini ketentuan yang mengaturnya? Di beberapa perusahaan korporasi di Jepang, misalnya yang tergabung dalam KEIDANREN atau semacam KADIN di Indonesia telah mengalokasikan dana khusus untuk pembangunan masyarakat, khususnya pendidikan. KEIDANREN Jepang mempunyai program untuk mengirimkan para guru dari Indonesia untuk memperoleh pelajaran dari Jepang bahwa Jepang pada saat ini adalah bukan lagi sebagai Jepang seperti pada masa-masa Perang Dunia II. Biaya perjalanan sampai dengan akomodasi sampai dengan uang saku para guru semuanya ditanggung oleh KEIDANREN. Tergabung dalam KEIDANREN ini adalah perusahaan raksasa multinasional milik Jepang, seperti Marobeni, Mitsubishi Heavy Industry, dan masih banyak yang lain.
Contoh lainnya di Indonesia, perusahaan Berau Cool, perusahaan batubara di Kalimantan Timur memiliki satu devisi yang amat terkenal dengan nama Community Development (COMDEV) yang tugasnya melakukan pembangunan masyarakat, termasuk di dalamnya mengadakan diklat bagi guru-guru sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah, kerja sama dengan Lembaga Inservice Training yang ada.
Peran Sosial Budaya
Dibandingkan dengan institusi birokrasi yang ada, lembaga bisnis yang amat kita kenal sebagai DUDI adalah memiliki karakteristik sebagai institusi yang sangat berorientasi kepada aspek kualitas, dan aspek keuntungan. Fasilitas modern DUDI dapat menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Budaya kerja DUDI juga demikian. Keuntungan DUDI yang telah go internastional lebih-lebih lagi, seperti PT Sampoerna, PT. Indofood, dan masih ada sederet perusahaan lain yang bertaraf internasional. Pada umumnya mereka telah memiliki standar mutu internasional dengan ISO-nya. Apakah DUDI akan dapat meningkatkan mutu kinerjanya, jika tanpa adanya lulusan pendidikan yang bermutu? Dan sebaliknya, dapatkah institusi dunia pendidikan dapat mengubah budaya kerjanya tanpa membuka pengaruh dari DUDI yang telah berorientasi pada budaya kerja yang efektif dan efisien? Ketiga elemen tripusat pendidikan (periksa bagan paradigma hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat DUDI) harus dalam sinergi untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, dan dengan layanan pendidikan yang bermutu, akan dihasilkan lulusan yang bermutu, dan dengan lulusan yang bermutu itulah yang kemudian akan direkrut oleh DUDI untuk menjadi SDM yang bermutu yang akan mengabdikan diri untuk DUDI.
Dewan Pendidikan dan DUDI
Dering telepon tiba-tiba banyak diterima oleh Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Pada saat itu Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah menayangkan filler tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah di beberapa stasiun televisi. “Kemana kami (baca DUDI) harus mengirimkan atau menstranfer dana untuk perbaikan gedung-gedung sekolah yang rusak?”, demikian kira-kira bunyi telepon yang diterima oleh Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Kami menjadi bingun untuk menjawabya. Secara spontan, kami jawab bahwa DUDI pada waktunya nanti dapat mentransfer dana itu kepada DP atau KS, atau bahkan langsung ke sekolah di daerahnya masing-masing..
Rupanya dering telepon itu terus bergema sampai saat ini. Dewan Pendidikan dan DUDI mudah-mudahan segera akan menindaklanjuti dering telepon itu dalam bentuk kerja sama dan networking dalam ranga peningkatan mutu layanan pendidikan.
Bahan Renungan
Ada pertanyaan oratoris dari kalangan masyarakat. Apa ruginya, jika DUDI dapat ikut berperan serta secara aktif dalam program renovasi gedung sekolah yang rusak? Tentu saja hal semacam itu sama sekali tidak ada ruginya. Malah sebaliknya. Sebagian keuntungan dari DUDI sesungguhnya merupakan hak masyarakat. Jika DUDI di Malaysia dapat menyumbangkan Kolej Kediaman (asrama) untuk perguruan tingginya. Tidakkah DUDI di Indonesia juga akan terketuk mata hatinya untuk bersama-sama dengan Dewan Pendidikan untuk membangun dunia pendidikan yang masih terpuruk? Mudah-mudahan.
Penguatan sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat (terutama masyarakat DUDI), diharapkan dapat ikut mendorong dan meningkatkan mutu layanan pendidikan yang ada di daerah. Perlu kita ketahui bahwa syarat utama yang diperlukan untuk membangun kepercayaan dari pihak DUDI, tidak lain adalah adanya transparansi, demokratiasi, dan akuntabelitas yang dilakukan oleh semua komponen pendidikan, termasuk di dalamnya Dewan Pendidikan, sebagai lembaga mandiri, wadah peran serta masyarakat.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, Desember 2005
1 Komentar. Leave new
[…] Peran Dunia Usaha dan Dunia Industri dalam Bidang Pendidikan […]