ArtikelPendidikan

Gedung Sekolah Roboh dan Perencanaan Kita

208 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Kita harus berani menghadapi realitas dan kesalahan di masa lalu dengan kejujuran, sehingga menjadi jalan untuk teretasnya sebuah kedewasaan
(Raja Hussein, Pemimpin Yordania)

Kerjakan hari ini, apa yang jadi keinginan Anda di hari-hari esok
(Robert Kiyosaki, penulis buku laris The Rich Dad, Poor Dad)

Sungguh ironis. Ketika menaikkan angka 20% dalam APBN dan APBD tidak mungkin lagi dilakukan, ternyata di sisi lain ada kenyataan daftar gedung sekolah yang roboh justru semakin panjang. Daftar gedung sekolah yang roboh semakin panjang. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu, yang kuasa menentukan kapan berita gedung sekolah roboh itu tidak lagi muncul di media massa. Penulis mencoba ngeklik internet mencari berita gedung sekolah yang telah roboh ternyata memang banyak dan banyak sekali. Berita itu telah muncul sejak tahun 2003. Bahkan mungkin juga sebelumnya. Berita tentang gedung sekolah itu telah terdokumentasi oleh Kompas dan media massa lainnya. Akankah daftar itu menjadi semakin panjang?

Kutatap dalam-dalam koran Sindo dalam rubrik Nusantara itu. Terlihat jelas, atap gedung sekolah SDN Babakan di Jalan Kiara Condong, Bandung, itu telah ambruk total. Bukan hanya plafonnya yang bolong, atau bukan hanya dindingnya yang retak. Tapi keseluruhan atap gedung sekolah itu. Beruntung. Begitu kebiasaan masyarakat tradisional kita menanggapi bencana. “Beruntung, tidak ada korban luka dan jiwa dalam musibah tersebut”. Demikian Sindo memberikan catatan di samping foto yang sangat tragis tersebu. Di lorong jalan di samping gedung itu terlihat para siswa yang melihat-lihat gedung sekolah yang telah roboh itu. Di sana juga terdapat bapak dan ibu guru, serta mungkin juga kepala sekolah atau pejabat dinas pendidikan yang melakukan inspeksi terhadap gedung sekolah yang telah roboh itu.

Juga lebih ironis lagi. Saat gedung sekolah yang roboh itu, kampanye pilkada gubernur Jabar mulai berlangsung. Adakah janji-janji dari para calon gubernur itu untuk segera menutup daftar panjang gedung sekolah yang roboh. Apakah calon gubernur berani menandatangani kontrak politik untuk menjamin tidak ada lagi gedung sekolah yang roboh pada masa kepemimpinannya? Tidak terdengar satu pun calon gubernur dari tiga pasangan itu berani melakukan janji politik tentang masalah ini. Masalah itu juga tidak dikutak-kutik sama sekali, ketika Ibu Mega yang telah berhasil membuat merah lapangan gasebo di Kota Bandung. Tidak ada seorang pun yang berani menyatakan bahwa kejadian itu merupakan tanggung jawabnya. Tidak kepala sekolah. Tidak pula kepala dinasnya, atau juga dari ketua Dewan Pendidikannya. Juga tidak direktur, dirjen, atau pun menterinya. Apalagi presiden dan wakil presidennya. Lalu siapa? Jawabannya kita semua!

Pemetaan Masalah

Seharusnya Dinas Pendidikan dan Dewan Pendidikan Bandung telah memiliki data akurat tentang gedung sekolah yang memang sudah sangat rawan ambruk. Kalau belum memang keterlaluan. Atau lagi-lagi tidak akurat data yang kita miliki? Kita mengenal tiga macam data, yakni data akurat, data tidak akurat, dan data Indonesia. Data kita memang sering seperti karet, molor mengkeret. Ketika pendataan itu diperlukan untuk memberikan dana subsidi kepada rakyat miskin, maka datanya molor. Namun, sebaliknya ketika data itu diperlukan untuk menunjukkan keberhasilan suatu rezim, maka datanya mengkeret.

Kita semua mengetahui bahwa rencana pembangunan memerlukan data yang akurat. Sayangnya perencanaan pembangunan kita pun jarang ditunjang oleh data yang akurat ini. Rencana pembangunan sering diartikan sebagai proses membagi-bagi anggaran. Rencana strategis pun sering menjadi dokumen mati yang tidak banyak berarti. Rencana itu sering hanya lahir dalam proses pembahasan akhir yang terjadi di sebuah gedung megah yang berlangsung seperti pasar malam. Like and dislike dalam proses pembahasan rencana anggaran masih terjadi di sebelum era reformasi. Bahkan pengawasan dan pemeriksaan pelaksanaan rencana dan program pun juga tidak berubah dari pola-pola lama. Itulah sebabnya soal data dari hasil pemetaan sering hanya menjadi hiasan yang memenuhi rak-rak meja para birokrat. Data adalah data. Rencana dan program adalah sesutu yang dapat dikutak-katik tanpa memerlukan data? Termasuk dalam hal ini adalah saat penentuan alokasi DAK, sebagai misal. Ketua dewan pendidikan kabupaten/kota sering mengeluh, karena mereka tidak pernah diajak bicara dalam penentuan lokasi dan alokasi DAK. Ada juga penggunaan DAK yang tidak sesuai dengan panduan yang telah ditentukan di pusat. Itulah realitas dan kesalahan yang telah dan sedang terjadi. Oleh karena itu, maka ”kita harus berani menghadapi realitas dan kesalahan di masa lalu dengan kejujuran, sehingga menjadi jalan untuk teretasnya sebuah kedewasaan” (Raja Hussein, Pemimpin Yordania). Jangan kita menyimpan realitas dan kesalahan itu, karena akhirnya juga akan berbau juga.

Kemana DAK?

Informasi di negeri ini ternyata masih menjadi barang yang langka, yang tidak mudah memperolehnya. Padahal, memperoleh informasi merupakan salah satu hak azasi yang sangat fundamental. Apakah gedung sekolah yang roboh itu tidak pernah dilaporkan oleh kepala sekolah untuk memperoleh anggaran DAK? Ataukah data tentang kerusakan sekolah itu lagi-lagi tidak akurat?  Sebenarnya informasi tentang ini dapat dengan mudah ditelisik, dimana mandegnya, dan dimana kesalahannya. Kalau kita mau.

Penulis baru saja membaca berita tentang seorang mantan narapidana politik di Pulau Penang yang sekarang menjadi Menteri Besar untuk negara bagian Pulau Penang itu. Program strategis pembangunan di masa depan Pulau Penang adalalah membangun infrastuktur, sudah barang tentu termasuk infrastruktur gedung dan fasilitas pendidikan. Penulis juga mengamati tentang semakin murahnya pendidikan di Malaysia dibandingkan dengan biaya pendidikan di Indonesia. Karena itu, banyak bahasiswa pasca sarjana yang mengambil kuliah di negeri jiran, karena biayanya dihitung jauh lebih murah. Di samping itu, kuliahnya dinilai lebih cepat dan berkualitas. Mengapa? Kebanyakan lembaga pendidikan di negeri jiran itu tidak lagi sudah tidak memerlukan biaya untuk membangun infrastruktur. Dengan demikian terfokus pada penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Tidak tambal sulam membangun infrastruktur lagi. DAK yang disiapkan dananya secara besar-besaran oleh pemerintah terkesan membangun infrastruktur yang bersifat tambal sulam, dan kurang bersifat pembangunan gedung dan fasilitas yang lebih permanen.

Memang di sini terjadi dilema abadi. Satu pihak banyak gedung sekolah yang rusak yang memerlukan dana seadanya. Tetapi sebenarnya banyak sekolah yang sebenarnya perlu dibangun dengan kualitas yang sesuai dengan bestek. Lagi-lagi terjadi dilema antara kualitas dan pemerataan. Lalu bagaimana?

Fokus Pembangunan

Banyak pihak yang meragukan kemampuan Depdiknas, jika dialokasikan anggaran yang besar. Masalahnya konon pembangunan pendidikan kita kurang fokus. Setidaknya itulah yang dikemukan anggora DPRD Provinsi Jawa Timur ketika menjadi narasumber dalam kegiatan Whole School Development (WSD) dan Whole District Development (WDD) yang diselenggarakan oleh Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP) di Hotel Marriott Surabaya. Katanya, perencanaan pembangunan pendidikan di tingkat kabupaten/kota dapat dikatakan hanya bagi-bagi habis anggaran untuk masing-masing subdin. Tidak ada fokus dalam perencanaan.

Cobalah kita sepakati bahwa pembangunan gedung sekolah yang memadai kita jadikan fokus pembangunan. Kalau memang di daerah kabupaten/kota itu memang belum waktunya berfikir katakan soal mutu. Kita simpan dulu soal yang satu ini. Karena daerah ini memang masih kekurangan anggaran. Kita harus berani mengalokasikan anggaran yang besar yang harus kita gunakan untuk memperbaiki gedung sekolah. Berapa tahun fokus pembangunan itu harus disediakan anggarannya. Setelah itu, baru yang lain. Ini rencana pembangunan yang bukan ecek-ecek. Inilah kelemahan perencanaan kita. Kita sering tidak konsekuen dan konsisten dalam pengalokasian anggaran untuk rencana dan program yang kita jadikan fokus. Banyak titipan dan hal-hal lain yang kemudian seakan-akan menjadi lebih penting. Tiga pilar pembangunan pendidikan itu memang ibarat sebagai trisula kebijakan. Kebijakan yang satu tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan yang lainnya. Tetapi masing-masing pilar harus disepakati fokusnya. Kita susun renstra dan renjanya (rencana kerja tahunan). Kita jadikan kedua dokumen ini benar-benar menjadi acuan. Bukan hanya sebagai dokumen mati. Fokus pembangunan yang telah disepakati dalam renstra dan renja, dan kita juga harus konsekuen dan konsisten dalam mengalokasikan anggarannya. Bukankah kita sudah melaksanakan otonomi daerah, dan bukankah perencanaan kita juga sudah bersifat bottom up? Masalah gedung roboh secara teroritis harus segera dapat dipetakan secara lebih cepat dalam era otonomi. Perencanaan rehabilitasi gedung sekolah pun seharusnya sudah menjadi fokus pembangunan yang disusun bersama oleh semua stakeholder pendidikan di daerah.

Refleksi

Kerjakan hari ini, apa yang jadi keinginan Anda di hari-hari esok (Robert Kiyosaki, penulis buku laris The Rich Dad, Poor Dad). Itulah komitmen yang harus kita tumbuhkan ketika mendengar dan melihat adanya masalah robohnya gedung sekolah. Masalah itu menjadi tanggung jawab bersama, terutama tanggung jawab para pemimpin dan pegiat yang mengurusi masalah gedung sekolah yang roboh tersebut. Ada kata-kata mutiara yang patut kita renungkan bersama. “Mereka yang tidak membuat rencana, pada hakikatnya sedang membuat kegagalan”. Wallahu alam bishawab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 16 Maret 2008

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts