ArtikelBudaya

Pesta Daging Rusa di Lembata

263 views
2 Komentar

Oleh Suparlan *)

Belajarlah apa pun, dari siapa pun, kapan pun, sedapat mungkin. Maka akan datang waktu di mana Anda akan berterima kasih kepada diri sendiri atas aktivitas yang Anda kerjakan itu
(Sarah Caldwell, konduktor dan pendiri Boston Opera)

Tugas dari Australia Indonesia Basic Education Program (AIBEP) untuk menjadi National Trainer (NT) telah membawa saya ke Lembata. Pada taggal 2 Maret 2008 saya bersama Bapak Amron Abdurrachman dari Departemen Agama Jakarta berangkat dari Jakarta ke Kupang dengan menumpang pesawat Sriwijaya. Kami berdua lalu menginap semalam di Kupang, karena pesawat dari Kupang – Lembata baru ada pada besok hari, Senin, tanggal 3 Maret 2008. Besok paginya, sekitar pukul 09.20 WITA, kami berdua melanjutkan perjalanan ke Lembata dengan pesawat Trigana. Kupang–Lembata ditempuh selama sekitar 40 menit saja. Pesawat berpenumpang sekitar 40 orang itu mendarat di Bandara Wunopito di Kota Lewoleba. Wuno adalah nama burung. Pito artinya tujuh.  Bandara ini termasuk bandara perintis dengan landasan pacu yang tidak terlalu panjang, dan lagi aspalnya pun sudah tidak mulus lagi. Alhadulillah, kami selamat di tujuan. Pak Alex, District Coordinator (DC) kegiatan Whole School Development (WSD) telah berada di depan pintu kantor bandara yang kecil itu dengan senyuman manisnya.

 

Membawa Berkah

Kami dibawa Pak Alex ke hotel Lewoleba, tempat penyelenggaraan workshop. Sesampai di hotel kami disambut dengan turunnya hujan “Kedatangan kami telah membawa berkah”, kata saya kepada Pak Alex. Hujan adalah berkah dari yang Maha Kuasa. Sekali lagi saya mengucapkan alhamdulillah. “Apakah hujan di sini sama dengan hujan di Jawa ya?”, pertanyaan oratorisku saya ajukan kepada Pak Alex dan teman-teman yang sedang duduk-duduk sambil menikmati kopi, teh, kueh, dan pisang goreng. “Heeee”, sahut teman-teman hampir serempak.

Rencananya kegiatan dimulai pada hari itu. “Setibanya di Lembata, saya dan Pak Amron nanti lansung menyampaikan materi lho”, kata Pak Alex  “Siap pak, jawab saya tegas. Tetapi ternyata peserta dari Maumere (Kabupaten Sikka) masih belum datang. “Itulah sulitnya perjalanan di sini”, kata Pak Alex memberikan alasan. Saya dan Pak Amron menerima alasan itu, dan acara akan dilaksanakan setelah peserta dari Sikka tiba. Saya dan Pak Amron pun bisa istirahat. Alhamdulillah, berkah yang tak putus-putusnya dari Yang Mahakuasa.

Delapan Kecamatan

Kabupaten Lembata berdiri delapan tahun lalu, sebagai salah satu kabupaten pemekaran di Provinsi NTT, Kabupaten ini  terletak di satu pulau yang masa penjajahan Belanda disebut Pulau Lomblen of Kawula. Pada masa republik, pulau ini dikenal sebagai satu gugusan kepulauan di sebelah Timur Pulau Flores. Saat ini pulau ini lebih dikenal sebagai Pulau Lembata. Ibukota kabupaten ini adalah Lewoleba. Saya sempat menganyakan arti nama ibukota itu, karena saya tahu bahwa setiap nama tempat memiliki makna tertentu, yang dalam geografi dikenal dengan TOPONIM. Lewoleba artinya kampung tengah. Lewo artinya kampong. Leba arinya seimbang atau tengah. Kabupaten Lembata terdiri dari delapan kecamatan, yang dalam proses pembelajaran di sekolah dasar sering dibuatkan titian ingatan “BOLI NUAN DONI, yaitu: (1) Buyasuri, (2) Omesuri, (3) Lebatukan, (4) Ile Ape, (5) Nubatukan, (6) Ata Dei, (7) Nagawutung, dan (8) Wulandoni.

Titian ingatan memang digunakan sebagai cara untuk memudahkan anak-anak mengingat nama atau konsep. Seperti untuk mengenal warna pelangi, para guru menggunakan titian ingatan MEJIKUHIBINIU (merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu). Untuk menghafal nama-nama walingo, guru menggunakan titian ingatan NGA-BO-DRA-GI-KA-KU-MU-GU-MA. Titian ingatan ini digunakan ketika saya menjadi siswa SMP Trikora Munjungan, Trenggalek. Titian ingatan itu mempunyai kepanjangan Ngampel, Bonang, Drajat, Giri, Kalijaga, Kudus, Muria, Gunungjati, Malik Ibrahim. Ini termasuk teknik menghafal, yang untuk keperluan tertentu dapat digunakan.

SD-SMP Satu Atap (SATAP)

Untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar Sembilan tahun, Direktorat Pembinaan TK dan SD telah mengembangkan beberapa model sekolah, dengan tujuan untuk dapat memberikan kesempatan kepada lulusan SD masuk ke SMP. Maka lahirlah model SD-SMP Satu Atap. Model ini dikembangkan di daerah terpencil dan terpencar. Anak-anak lulusan SD di daerah itu tidak harus mencari sekolah dikotadengan resiko biaya yang berat, tetapi cukup dapat melanjutkan sekolah di kampung halamannya. Untuk itu, dibentuklah SMP di lokasi SD yang masih mempunyai lahan untuk dibangun Ruang Kelas Baru (RKB) ataupun Unit Sekolah Baru (USB) di daerah itu.

Pada tahun 2006, SD-SMP Satap di Kabupaten Lembata telah dibangun 2 (dua) SD-SMP Satap, yaitu: (1) SD-SMP Satap Holoriang dan (2) SD-SMP Satap Pasir Putih. Pada tahun 2007, Kabupaten Lembata memperoleh alokasi 5 (lima) SD-SMP Satap: yaitu (1) SD-SMP Satap Tewawutung (Kecamatan Nagawutung), (2) SD-SMP Satap Lewaji (Kec. Ata Dei), (3) SMP-SMA Satap Ilewutung (Kecamatan Lebatukan), (4) SD-SMP Satap Tobotani (Kecamatan Boyasuri), dan (5) SD-SMP Satap Bean (Kecamatan Boyasuri).

Saya tertarik dengan nama-nama yang unik di daerah ini. ”Apa artinya Ata Dei?” tanya saya kepada seorang kepala sekolah SD-SMP Satap. Ata artinya orang. Dei artinya berdiri. Jadi atadei artinya orang berdiri. Mengapa? Karena di daerah itu ada batu besar yang kalau dilihat dari kejauhan memang seperti orang yang sedang berdiri. Di daerah itu konon juga ada cerita rakyat tentang batu itu. Ada nama yang kemudian saya ketahui artinya. Tobo artinya duduk, dan tani artinya menangis. Jadi tobotani artinya duduk menangis. Saya tidak sempat menanyakan arti semua nama-nama itu. Saya percaya setiap nama memang mempunyai makna sendiri-sendiri.

Di daerah ini terdapat dua bahasa daerah: (1) Bahasa Lamaholot, dan (2) Bahasa Kedang. Tentu saja, dua bahasa ini masih satu rumpun bahasa. Agaknya bahasa daerah ini pun juga masih satu rumpun bahasa dengan Bahasa Daerah Ende. Persamaan itu dapat kita lihat dari makna ”jao ata Ende” artinya ”saya orang Ende”. ”Ata dei” artinya ”orang berdiri”. Ini merupakan kekayaan khasanah bahasa daerah di Indonesia.

Pesta Daging Rusa

Rusa memang merupakan jenis hewan yang dilindungi. Tetapi di Kabupaten ini, berburu rusa telah menjadi selingan pekerjaan orang Lembata. Oleh karena itu, kita dapat membeli  dendeng daging rusa. Ketika saya menanyakan apakah kita tidak melanggar undang-undang perlindungan hewan, orang Lembata percaya rusa di daerah ini tidak akan punah. ”Masih banyak pak”, katanya santai. Hanya sejarahlah kelak yang akan mencatat apakah rusa di daerah ini akan punah atau dapat dilindungi dan dipertahankan keberadaannya. Untuk itu, pemeritnah daerah mungkin perlu membuat taman nasional untuk melindungi hewan ini.

Menu makan hari itu adalah daging rusa. Ada yang dibuat soup, dan ada yang digoreng. Selain sudah tentu ikan bakar. Satu menu yang sangat lezat. Selama hidup saya belum pernah makan dading rusa. Soup daging rusa itu sangat lembut. Dan ada menu daging rusa goreng yang sangat gurih, lezat, dan juga sangat lembut. Saya teringat makan baronang di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, makan ikan bawal yang dimasak soup kuning di Bangka-Belitung. Makan daging rusa di Lembata setara dengan keduanya.

Masa Depan Lembata

Dari pembicaraan saya dengan teman-teman di Lembata, ternyata Lembata memiliki deposit tambang yang menjajikan. Ada deposit emas dan perak, besi kuarsa, timah hitam, dan tidak lupa juga gas. Jika kekayaan alam ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk rakyat Lembata khususnya dan Indonesia pada umumnya, niscaya Lembata dapat memiliki masa depan yang lebih cerah. Ingat, pengalaman negeri ini, kekayaan alamnya melimpah, tetapi banyak yang disedot ke luar negeri. Oleh karena itu, maka pemerintah harus menyiapkan SDM dari anak-anak banga untuk dapat berperan aktif dalam proses pemanfaatan sumber daya alam ini. Putra-putri terbaik di daerah ini dapat dikirimkan ke perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, misalnya untuk belajar dalam bidang geologi dan pertambangan, manajemen keuangan, dan kelak akan kembali ke tanah air untuk mengolah sumber daya alam yang sangat kaya ini. Ini harus diletakkan sebagai salah satu prioritas pembangunan pendidikan di Kabupaten Lembata, khususnya pilar peningkatan mutu, relevansi pendidikan, dan daya saing.

Refleksi

Banyak berjalan, banyak yang dilihat. Tulisan singat perjalanan panjang dari Jakarta – Lembata ini mudah-mudahan dapat menjadi pengalaman berharga, khususnya untuk dapat membuka wawasan bagi putra-putri daerah Lembata. Terima kasih Lembata. Saya telah memperoleh layanan pesta daging rusa, yang tidak ada duanya. Lindungi dan manfaatkan secara bijak. Ketika saya di bandara untuk ke Kupang, saya bertemu dan berbincang dengan seorang kepala bandara di Lembata, Ternyata beliau juga orang dari Trenggalek. Sama dengan penulis.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Lewoleba, 4 Maret 2008

 

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

2 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Artikel, Budaya, Pendidikan

Membangun Kepercayaan

MEMBANGUN KEPERCAYAAN: BEBERAPA CATATAN DARI HASIL SIMPOSIUM PENDIDIKAN NASIONAL Oleh Suparlan *) *** تَقْوِيمٍ أَحْسَنِفِىٓ ٱلْإِنسَٰنَخَلَقْنَا لَقَدْ Sesungguhnya…