Oleh: Suparlan *)
Alhamdulillah. Awal tahun 2016 ini usia memang bertambah. Tetapi pada hakikatnya, jatah hidup kita sesungguhnya telah berkurang setahun, meski umur telah bertambah. Itulah hakikat pergantian tahun baru yang sesungguhnya. Tulisan singkat kali ini mencoba menemukan hakikat kehidupan ini dari aspek pendidikan. Karena John Dewey menyatakan bahwa pendidikan bukan persiapan untuk hidup, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not a preparation of life, but it is life itself. Lalu, apakah yang terpenting dalam kehidupan itu? Ratu Elizabeth II menjelaskan program penting di Inggris adalah pendidikan. Bahkan ketika ditanyakan kepada Perdana Menteri Tony Blair, apakah jawaban beliau? Jawabannya adalah education, education, and education. Pertanyaannya belum sampai di situ. Pendidikan apakah yang terpenting? Jawabannya adalah pendidikan diri sendiri. Mendidik diri sendiri. Inilah salah satu subbab yang ditulis oleh Tri Astoto Kodarie dalam buku mungil tetapi sangat penting ini.
Kuasai Ilmu dengan Menuliskannya
Tri Astoto Kodarie adalah Kepala SMP Negeri Parepare, sekaligus kolumnis bidang pendidikan di harian Pare Pos, dan aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan untuk masalah pendidikan, sosial, dan budaya. Tri Astoso Kodarie termasuk penulis yang produktif dalam berbagai bidang, antara lain pendidikan, sastra, dan budaya. Beberapa buku telah dilahirkan. Seperti Antologi Esai tentang pendidikan ini, Nyanyian Ibunda (1995), Hujan Meminang Badai (2007), Gunungan (1984), Ombak Losari (1992), Tabur Bunga Penyair Indonesia (1995), Batu Beramal II (1995, Bangkit II (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Antara Dua Kota (1995), Ininnawa (1997), Amsal Sebuah Patung (1997), Antologi Sastra Kepulauan (1998), dan banyak lagi yang lain. Sungguh saya merasa hanya menjadi ekor yang tak pernah sampai ke depan.
Sebagai orang bahasa dan seni, maka tulisannya menyentuh afeksi pembaca. Termasuk judul tulisan ini, yang saya petik dari buku Antologi Esai tentang pendidikan. Tampaknya, saya yakin beliau mengikuti pesan Sayyidina Ali Ra. bahwa “kuasailah ilmu dengan menuliskannya.”
Kembali kepada pertanyaan selanjutnya, pendidikan apakah yang terpenting untuk kehidupan? Jawabannya adalah Mendidik Diri Sendiri. Jawabnya singkat. Mana mungkin dapat melakukan pendidikan interpersonal, mana kala belum berhasil mendidik diri sendiri? Sebagai pengalaman pribadi, mendidik orang lain memang begitu mudah dilakukan, apa lagi hanya dengan kata-kata. Sebag pepatah Cina mengingatkan “katakanlah, dan akan saya lupakan; tetapi libatkankah, dan saya akan ingat.” Jadi mendidik orang lain memang sangat mudah, meski hanya dengan reramah dan kata-kata. Hanya dengan kapur dan tutur atau chalk and talk. Tetapi mendidik anak sendiri begitu susahnya. Apa lagi mendidik diri sendiri.
Perilaku Korupsi
Begitu banyak pemimpin di negeri tercinta Indonesia ini. Bahkan bertitel H di depannya. Yang juga sering ceramah berkuah-kuah di mulutnya. Termasuk yang menulis ini. Yang mengatakan janganlah sekali-kali melalukan korupsi. Korupsi termasuk dosa besar, di antara kurang lebih sembilan puluh sembinan dosa-dosa besar. Penyebab korupsi itu ada dua faktor. Pertama adalah karena ada niat. Kedua karena ada kesempatan. Indonesia menjadi negeri nomor satu dari perilaku korupsi. Boleh jadi dunia pendidikan adalah penyebabnya. Kalau demikian sebanya, betapa beratnya beban tugas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Termasuk beban tugas pada penulis tentang pendidikan, seperti Tri Astoto Kodarie. Saya malu kepada Malaysia – mirip dengan “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia.” Tulisan Taufik Ismail tersebut tertulis dalam buku kumpulan seratus tulisan puisi Taufik Ismail. Ternyata tulisan tersebut ternyata bukanlah tulisan yang terakhir, melainkan disusul dengan tulisan yang lain tentang pendidikan, misalnya tulisan berjudul Tragedi Nol Buku, yang memaparkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak memprogramkan berapa buku sastra yang wajib dibaca oleh para siswa. Kewajiban membaca di Indonesia hanya nol buku, sementara di negara lain mewajibkan bahkan ada yang lebih dari tiga puluh judul buku, seperti di negara jiran di Indonesia, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Singapura.
Pendidikan Pertama Antri Naik BAS SEKOLAH
Karena ketika saya menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur mulai tahun 1996 – 2001, saua pun juga malu karena pendidikan di Malaysia telah berhasil menjadikan budaya antri bagi sebagian besar anak-anak Malaysia. Sementara kita belum. Hampir setiap pagi saya berdiri di Jalan Kampung Pandan, Kuala Lumpur. Saya melihat anak-anak Sekolah Rendah yang menuggu BAS SEKOLAH. Tas punggung anak-anak Sekolah Rendah itu dilekakkan di bawah pohon yang tumbuh di trotoar jalan, pada saat BAS SEKOLAH belum tiba. Segera setelah BAS SEKOLAH tiba di tempat anak-anak menunggu BAS SEKOLAH tersebut, maka anak-anak secara tertib mengambil tas-tas secara berurutan untuk kemudian duduk di dalam BAS SEKOLAH. Itulah pendidikan pertama antri yang dibiasakan oleh pendidikan di Malaysia. Tulisan Taufik Ismail ini merupakan otokritik pedas tentang lemahnya budaya literasi di negeri ini.
Di Malaysia tidak ada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dapat menangkap tangan koruptor dan menjebloskannya ke hotel Prodeo alias bui. Di Malaysia hanya memiliki BPR (Badan Pencegah Rasuah). Tetapi BPR ini bisa membuat malu para pelaku dan bermuka kecut ketika ditayangkan di televisi. Tidak tertawa sinis seperti di negeri sendiri, ketika ditayangkan oleh televisi.
Ibarat pendidikan adalah kehidupan, maka ciri-ciri kehidupan itu adalah adanya gerak. Tanpa gerak tanpa kehidupan. Oleh karena itu, sangatlah tepat jika pendidikan dapat disebut sebagai gerakan semesta. Pendidikan dimulai dari diri sendiri. Mengubah diri sendiri dan orang lain untuk menjadi lebih baik dari hari kemarin. Itulah sebabnya pendidikan adalah satu gerakan dalam kehidupan. Itulah sebabnya pendidikan harulah dimulai dari gerakan dari diri sendiri. Mendidik diri sendiri boleh jadi menjadi cara yang bisa ditawarkan untuk mengatasi berbagai persoalan di negeri sendiri. Materi pendidikan diri sendiri tentu saja bisa dipilih terutasa tiga ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam ranah sikap, nilai-nilai dan standar norma, dan pendidikan karakter harus lebih diutamakan. Kita ingat bahwa Nabi diutus dimuka bumi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki karakter manusia. Insya Allah. Amin.
*) Laman: www.suparlan.com; Surel: me@suparlan.com. Kritik, masukan dan saran dari pembaca akan saya simpan dalam guci emas untuk perbaikan tulisan ini. Amin.
Depok, 1 Januari 2016.
2 Komentar. Leave new
Mulai dengan diri sendiri
MENGENANG MASA LALU sungguh mengasyikkan. Saya terkenang ketika masa kecil yang tidak langsung bersekolah SD di tempat ayah bunda bertugas mengajar. Seperti yang Pak Parlan tulis di atas, “mendidik orang lain memang sangat mudah, meski hanya dengan reramah dan kata-kata. Hanya dengan kapur dan tutur atau chalk and talk. Tetapi mendidik anak sendiri begitu susahnya. Apa lagi mendidik diri sendiri.” Itulah sebabnya mengapa saya, juga kakak saya disekolahkan di sebuah MWB (madrasah wajib belajar — sekarang MI: madrasah ibtidaiah), padahal jarak rumah dengan SD negeri hanya sekitar 300 m (terhalang jalan raya). Memang jarak rumah dengan MWB lebih dekat hanya terpisah 3-4 rumah atau antara 75 s.d. 100 m, namun menurut kondisi kekinian, MWB seringkali di-“bully” oleh karena bangunannya tidak permanen berdindingkan bilik yang di sana sini ‘bolong’, berlantaikan tanah, dan bangku yang hanya terbuat dari bambu. Swasta lagi!
Itulah kiat ayah dan bunda dalam mendidik, di mana ayah langganan mengajar di kelas VI, sementara bunda di kelas paling rendah, kelas I.
“Ibda binafsika” — mulailah dari diri sendiri! Itulah sabda Sang Baginda dalam mengondisikan umatnya agar memiliki keutamaan akhlakul karimah. Di rumah, bersama keluarga baik ditanamkan hal-hal yang kecil, misalnya “matikan teve antara magrib – isya”, di mana ketika saya menjadi pengurus komite sekolah himbauan itu disetujui oleh mayoritas orang tua siswa, tentu berdasarkan hasil jajak pendapat (kuisioner). Itu pula yang mengilhami lahirnya lagu berikut (musikalisasi puisi). Semoga berkenan,
GENERASI HARAPAN ANDALAN
Karya Dadang Adnan Dahlan
Ayah-bunda, dan guru pesankan
Pemerintah pun mengampanyekan
Anak pembelajar siap terdepan
Generasi Harapan Andalan
Pakailah sabun mencuci tangan
Sarapan pagi diutamakan
Pentingkan susu, sayuran, dan ikan
Menggosok gigi sehabis makan
Buanglah sampah tak sembarangan
Air dan listrik hemat gunakan
Menonton teve tak kebanyakan
Tidur siang pun dibiasakan
REff.
Ulanglah membaca pelajaran
Bantu orang tua sekemampuan
Anak teladan jadi panutan
Sehari-hari doa panjatkan
Jatinangor, 12 September 2007