ArtikelPendidikan

Belajar dari Asap

357 views
Tidak ada komentar

Oleh Suparlan *)

Selama kita masih dikaruniai hidup dan kehidupan, masih tetap terbuka bagi semua pihak untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Ujung tombak paling ampuh adalah pendidikan
(Eko Budiharjo, Rektor Undip, Kompas, 21 Juli 2003)

Sebelum membaca tulisan Alvin Lie bertajuk Diplomasi Asap di Koran Tempo pada tanggal 21 Oktober 2006, penulis memang telah berhasrat menulis dengan tema yang sama, tentang asap. Tentu dari sudut pandang yang berbeda. Kalau Alvin Lie melihat pemecahan masalah asap dari sudut pandang politik diplomasi hubungan internasional, penulis memandangnya lebih dari sudut pandang pendidikan dan budaya masyarakat. Mengapa masalah asap pada khususnya, dan lingkungan hidup pada umumnya masih saja belum berhasil dipecahkan secara tuntas oleh negara tercinta ini? Bagaimana pemecahannya dari sudut pandang pendidikan dan budaya masyarakat? Inilah yang akan dibahas dalam artikel ini.

Tidak ada masalah tanpa pemecahan. Itu pandangan optimis yang harus menjadi pegangan setiap orang, termasuk pemerintah dan masyarakatnya. Pemecahan masalah yang terbaik haruslah menyentuh sumber penyebabnya yang paling mendasar. Pemecahan masalah politik hubungan diplomasi internasional seperti yang disarankan oleh Tulisan Alvin Lie memang menjadi perhatian yang serius dari pemerintah. Namun pemecahan masalah tersebut secara tuntas haruslah sampai ke akar masalah, yakni dengan cara mengubah budaya dan kebiasaan negatif masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Sampai ke akar masalah? Tentu tidak mudah dan memerlukan waktu yang lama. Mengapa? Karena akar masalah tersebut bersumber dari aspek pendidikan dan budaya masyarakat. Kuntjaraningrat mengingatkan kepada kita bahwa mengubah perilaku, kebiasaan, dan keyakinan masyarakat sama artinya dengan mengubah faset kebudayaan yang paling sulit berubah. Tidak seperti perubahan faset kebudayaan yang berupa teknologi. Sebagai contoh, sekarang kita tidak lagi mau memakai “kentongan” untuk berkomunikasi, karena teknologi itu telah berubah dengan cepat dengan alat canggih yang bernama handphone. Para petani tidak lagi mau memakai “ani-ani” untuk menuai padi yang sedang menguning, tetapi telah biasa menggunakan sabit gergaji, atau alat teknologi yang lebih canggih lagi. Tidak sama dengan mengubah faset teknonologi itu, mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat memang sangat sulit untuk dilakukan, termasuk mengubah kebiasaan membakar hutan, atau pun membakar sampah organik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan membakar hutan adalah warisan dari zaman purba. Banyak kebiasaan atau tradisi yang sebenarnya tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman yang telah berubah cepat. Tetapi sayangnya mengubahnya harus melalui perubahan kepercayaan dan kebiasaan yang mendarah daging dalam masyarakat. Pada era awal kelahiran mata pencaharian pertanian, pengolahan ladang berpindah-pindah pasti dilakukan dengan cara membakar hutan. Sayangnya, kebiasaan ini terus diwarisi oleh para petani atau pun para pengusaha perkebunan pada era kehidupan yang telah menetap. Itulah sebabnya maka timbul masalah asap yang berdampak sangat gawat dalam berbagai bidang kehidupan, seperti kesehatan, transportasi udara, bahkan politik dan hubungan internasional.

Pembakaran hutan pada era ladang berpindah-pindah tidak terlalu menjadi masalah, karena hanya dilakukan secara sederhana oleh sekelompok peladang berpindah-pindah dalam areal lahan yang sangat terbatas. Namun kini pembakaran hutan menjadi masalah dan tragedi nasional dan internasional, karena terdapat campur tangan pengusaha yang memiliki agenda tersendiri untuk mencari untung yang lebih besar.

Untuk memecahkan masalah asap dan masalah pengelolaan lingkungan hidup pada umumnya akan lebih efektif jika dilaksanakan dengan mendayagunakan Perda sebagai piranti tata kelola pemerintahan di daerah. Perda harus dilaksanakan sebagai wahana untuk proses pembelajaran masyarakat dan perubahan transformasi budayanya. Ujung upaya pemecahan masalah asap dan pengelolaan lingkungan hidup adalah harus melalui pendidikan, dengan cara mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat, meski hasilnya memang tidak dapat diharapkan seperti membalik telapak tangan.

Perda dan Otonomi Daerah

Perda merupakan amanat rakyat dan pemerintah daerah dalam bidang tertentu. Perda disusun oleh pemerintah bersama dengan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPRD. Perda adalah representasi dari pelaksanaan otonomi daerah yang telah dimulai sejak tahun 2000-an. Perda merupakan perwujudan dari kebijakan daerah otonom untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam arti yang luas. Dari sudut pandang pendidikan, Perda merupakan perangkat pendidikan masyarakat, untuk mengubah perilaku dan kebiasaan negatif masyarakat menjadi perilaku dan kebiasaan yang diharapkan sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku. Dari sisi kebijakan pemerintah, Perda juga merupakan satu piranti yang digunakan pemerintah daerah untuk melaksanakan tata kelola pemerintah daerahnya, termasuk tata kelola tentang lingkungan hidup di daerah.

Dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pemecahan masalah asap, pemerintah daerah harus menjabarkan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup ke dalam Perda masing-masing daerah. Jika tidak, maka UU tersebut hanya akan mengawang-awang dan tidak terimplementasi dalam tata kelola pemerintahan di daerah. Masih banyak UU, peraturan dan perundang-undangan lain yang terkait erat dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah, termasuk aturan dari departemen atau kementerian yang terkait, seperti dari Departemen Pekerjaan Umum tentang ketentuan tentang serapan air hujan di setiap rumah dan Kementerian Kehutanan tentang pengelolaan hutan.

Mengubah Lima Kebiasaan Negatif Masyarakat

Ada lima kebiasaan negatif masyarakat yang harus diubah atau setidaknya dikurangi melalui materi pokok dalam Perda tentang pengelolaan lingkungan hidup di daerah kabupaten/kota.

Pertama, membakar sampah organik

Sampah organik seharusnya memang tidak dibakar, tetapi harus dikembalikan lagi ke tanah. Sampah organik merupakan bahan pembuat kompos atau zat hara yang harus dikembalikan ke tempat asalnya, bukan dibakar yang hanya mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan hidup. Persis sama dengan kebiasaan membakar hutan, kebiasaan membakar sampah organik juga diwarisi dari nenek moyang pada zaman purba. Kebiasaan membakar sampah organik ini juga masih dilakukan oleh kebanyakan petani, misalnya mambakar jerami di sawah-sawah, membakar daun-daun yang gugur dan sampah rumah tangga di halaman rumah. Kalau kita naik pesawat yang sedang siap akan melandas, pemandangan asap putih yang mengepul di petak-petak sawah dapat kita lihat dari jendela pesawat dengan mata telanjang. Padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman mengalami penurunan pada tanah yang diolah dengan cara membakar vegetasi yang tumbuh di atasnya. Karena alasan ekonomi, para peladang berpindah-pindah harus membakar ladangnya untuk membuka tanah pertanian. Dengan alasan yang praktis dan ekonomis, para petani membakar jerami sebagai permulaan mengolah sawahnya. Padahal pembakaran hutan dan sampah organik sebenarnya hanya akan menurunkan produktivitas lahan. Selain itu, membakar sampah organik ternyata juga hanya akan menambah lubang ozon di langit. Untuk mengubah kebiasaan ini salah satu cara yang dipandang efektif adalah dengan membangun sistem pengelolaan lingkungan hidup melalui Perda, dan penegakan hukum berdasarkan Perda tersebut.

Ada pengalaman yang dapat menjadi pelajaran ketika penulis menjadi Kepala Sekolah Indonesia Kuala Lumpur pada tahun 90-an. Anak-anak Pramuka sedang mengadakan api unggun di sekolah. Maklum, tidak mudah untuk mencari kayu di sekitar sekolah. Ranting kayu kering memang ada di rimbunan pohon di sekitar sekolah. Tapi itu semua milik orang Malaysia. Oleh karena itu, anggota Pramuka punya akal membuat api unggun dengan cara menyalakan api pada tumpukan bata yang telah direndam dalam minyak tanah. Hasilnya lumayan, api cukup besar, dengan kepulan asap yang cukup besar juga. Apa yang kemudian terjadi dengan api unggun ini? Dua hari kemudian sekolah menerima sepucuk surat tegoran keras dari Kementerian Alam Sekitar (nama kementerian Lingkungan Hidup di Malaysia), yang menyatakan bahwa kementerian telah menerima laporan dari masyarakat bahwa di sekolah tentang terdapat kepulan asap yang mengganggu masyarakat dari acara api unggun itu. Perbuatan itu dapat diancam denda sebesar ratusan ringgit Malaysia. Kontan saja sekolah kemudian mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup untuk menjelaskan bahwa acara itu tidak dilaksanakan dengan membakar kayu. Kementerian Alam Sekitar memahami dan meminta agar acara seperti itu tidak dilakukan lagi, apalagi di kawasan pemukiman. Pengalaman ini menjadi pelajaran yang amat berharga bagi penulis, bahwa peraturan dan perundang-undangan di negeri jiran itu memang telah dapat ditegakkan dengan baik. Dibandingkan dengan di negeri sendiri, mengapa peraturan yang kita buat dengan mudah pula kita ubah, tetapi sangat susah untuk menegakkannya?

Kalau tidak boleh dibakar, lalu harus diapakan? Pertama, semua sampah harus dikumpulkan dengan cara dipilah-pilah, mana sampah organik dan masa sampah anorganiknya. Oleh karena itu harus ada tempat sampah dengan dua macam jenis sampah. Sampah organik dapat diolah menjadi pupuk organik, sementara sampah anorganik dapat didaur ulang menjadi bahan yang bermanfaat bagi manusia. Dengan cara seperti itu, sampah tidak layak untuk dibuang, tetapi masih layak untuk dimanfaatkan. Kata-kata “buang sampah” harus diubah menjadi kalimat “manfaatkan sampah”. Ada kebiasaan positif di daerah pedesaan yang patut dikembangkan, misalnya membuat lubang sampah organik di halaman rumah. Setelah cukup lama, lubah sampah organik ini kemudian ditimbun, dan ternyata menjadi tanah subur yang dapat ditahami, misalnya dengan singkong mukibat.

Kedua, membuang sampah di sembarang tempat, termasuk di sungai, parit, saluran air, danau, situ, atau sejenisnya.

Membuang sampah di sembarang tempat masih menjadi kebiasaan yang sangat umum dalam keluarga dan masyarakat luas. Membuang puntung rokok dengan menginjaknya di lantai dan jalanan masih merupakan kebiasaan yang dapat kita lihat dimana-mana. Membuang sampah dari mobil yang melaju di jalananan merupakan kebiasaan yang ada di mana-mana. Kertas atau plastik bekas bungkus permen, bungkus roti, bungkus rokok, masih sering dibuang di sembarang tempat, meski tempat sampah sudah disediakan di beberapa tempat. Bahkan, sungai, parit, saluran air, danau, atau situ, menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut. Bukankah kebiasaan ini dapat saja dilarang melalui Perda, dan kemudian peraturan itu ditegakkan secara konsekuen?

Pembuangan sampah di sembarang tempat dan pembakaran sampah menjadi satu kesatuan kegiatan yang telah menjadi tradisi. Lihat saja lokasi pembuangan sampah di Bandargebang. Bahkan Kota Bandung kontan terkenal dengan gunung sampahnya. Gunung sampah yang longsor di Jawa Barat bahkan telah merenggut nyawa warganya. Jika membuang puntung rokok saja di Singapura telah dapat diancam dengan denda ribuan dollar Singapura. Di negeri ini membuang sampah dari mobil yang melaju di jalan raya, dan membuang sampah di sungai masih belum dapat dikenakan denda sepeser pun.

Ketiga, menebang pohon atau tanaman

Penebangan pohon atau tanaman — meski milik dan berada di lingkungan rumah sendiri — di Malaysia harus mendapatkan izin dari pihak pemerintah. Pengalaman ini terjadi ketika sekolah berencana untuk menebang pohon beringin di pojok lahan sekolah, karena pohon itu semakin hari dapat merusak lapangan tenis. Akhirnya pohon beringin itu tidak jadi ditebang, karena permohonan izin itu boleh jadi tidak akan diizinkan oleh pemerintah Malaysia. Kita merasa malu hati untuk mengajukan permohonan yang kemungkinan tidak diizinkan oleh pihak penguasa. Hal seperti ini jauh berbeda ketika pengalaman penulis ikut kerja bakti kebersihan lingkungan Rukun Warga. Seorang tetangga tidak merasa bersalah main babat pohon dan rumpun bunga yang seharusnya tidak ditebang. Kebersihan menurut anggapannya adalah jika pohon dan rerimbunan bunga itu juga harus “dibersihkan” alias ditebang.

Masalah penebangan pohon hakikatnya terkait dengan masalah kecintaan atau respek kita terhadap pohon dan tanaman itu. Pendidikan kita pada umumnya, dan pendidikan lingkungan hidup pada khususnya, masih terus berkutat pada aspek pengetahuan (kognitif), dan masih belum beranjak kepada aspek afektif, apalagi psikomotorik. Apa yang diketahui, belum tentu memang dipercayai sepenuh hati, dan apa yang diketahui juga belum tentu dilakukan. Kecintaan terhadap mahluk tumbuh-tumbuhan ini pun ternyata belum masuk dalam relung hati sanubari yang paling dalam para tamatannya. Dengan kondisi seperti itulah maka aparat pemerintah daerah juga tidak merasa peduli dengan tanaman pada pot-pot bunga yang telah ditanamnya sendiri. Penulis menghitung lebih dari 60 pot bunga yang ditaruh pada pembatas jalan di sepanjang Jalan Fatmawati Jakarta Selatan telah mati satu-satu. Penulis yakin, bunga-bunga yang tentu saja cukup mahal ini lama-lamaan akan tinggal potnya saja. Atau bahkan pot-pot itu pun raib entah kemana. Entah sampai kapan pot-pot dan bunga-bunga itu masih akan berada di tempatnya dan akan menjadi penghias kota yang semakin tidak bersahabat karena macet di mana-mana?

Keempat, membuang limbah cair rumah tangga

Ada filler advertensi layanan masyarakat yang menjelaskan tentang pentingnya serapan air dan limbah rumah tangga yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Jika semua rumah tangga telah memiliki serapan air, niscaya air hujan dan air limbah rumah tangga akan diserap oleh tanah dan disimpannya untuk kemudian dikeluarkan melalui mata air. Dengan demikian air hujan dan air limbah rumah tangga itu pun tidak langsung menuju ke sungai, yang kemudian mendatangkan banjir secara mendadak. Jika seluruh atau sebagian besar masyarakat Bogor pada umumnya, dan Kota Depok pada khususnya telah memiliki sistem resapan air di setiap rumahnya masing-masing, maka insyaallah kiriman hujan ke Jakarta tidak akan berubah menjadi banjir bagi Kota Jakarta, sebagaimana selama ini selalu membuat masalah yang belum sepenuhnya dapat dipecahkan. Jika sebagian besar air hujan dan air limbah dapat disimpan dalam sistem serapan air di setiap rumah tangga, maka bahaya banjir dan bahaya kekeringan dapat dikurangi atau bahkan dapat dihindari.

Kelima, merokok di tempat-tempat umum

Kebisaan merokok di tempat-tempat umum masih sering kita lihat di mana-mana. Di dalam kendaraan umum, terminal bus, halte pemberhentian kendaraan umum, tempat pariwisata, dan bahkan di kantor-kantor pemerintah. DKI Jakarta memang telah mempelopori adanya Perda tentang larangan merokok di tempat-tempat umum ini. Namun, sejauh ini penegakan hukum Perda ini masih bersifat hangat-hangat tahi ayam. Memang, di beberapa tempat umum, seperti bandara telah terdapat tempat khusus untuk para perokok. Tetapi, beberapa tempat umum yang lain masih belum tampak adanya perubahan secara signifikan.

Pembaca yang budiman. Itulah beberapa dari banyak kebiasaan masyarakat kita yang menjadi akar masalah lingkungan hidup kita. Masalah asap sebenarnya bersumber dari akar kebiasaan tersebut. Tentu, ada intervensi masalah lain, yakni adanya pengusaha yang rakus akan dunia. Orang bijak menyatakan bahwa “dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia, tetapi tidak untuk segelintir orang yang rakus”.

Akhir Kata

Masalah asap akibat dari kebakaran hutan memang merupakan salah satu masalah lingkungan hidup yang sangat parah di Indonesia. Masalah ini tidak hanya dalam level nasional, tetapi telah meluas ke peringkat internasional, karena hutan di Indonesia termasuk bagian dari paru-paru dunia. Masalah lingkungan hidup yang lain pun tidak dapat dikecilkan begitu saja, seperti banjir dan tanah longsor, termasuk kekeringan yang telah terjadi di berbagai kawasan di Indonesia. Masalah ini tidak dapat dipecahkan secara parsial dan sporadis, melainkan harus dipecahkan secara sistemik dan melibatkan semua komponen secara sinergis. Pemecahan masalah ini tidak hanya dapat dipecahkan pada level pusat, justru secara mendasar harus dipecahkan dengan pola pendekatan bottom-up, mulai dari akar masalahnya, yakni budaya masyarakat. Untuk itu melalui pendekatan Perda diyakini dapat menjadi wahana untuk mengubah budaya masyarakat, atau mengubah kebiasaan negatif yang tidak selaras dengan sistem pengelolaan lingkungan hidup menjadi kebiasaan yang selaras dan mendukung upaya pengelolaan lingkungan hidup.

Upaya pemadaman kebakaran hutan dengan berbagai cara memang perlu dilakukan. Membuat hujan buatan pun memang juga diperlukan. Demikian juga politik diplomasi yang terkait dengan kepentingan negara lain di dunia internasional. Tetapi, upaya pemecahan yang lebih mendasar adalah yang terkait dengan perubahan budaya masyarakat melalui pendidikan dan penegakan hukum yang terkait dengan pelaksanaan Perda dalam era otonomi daerah. Oleh karena itu, pembuatan Perda yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup di daerah perlu terus digalakkan oleh pemerintah daerah bersama dengan wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif di tingkat kabupaten/kota. Dengan meniru gaya Bung Alvin Lie, penulis juga menghimbau kepada Mas Bambang. Coba hitung berapa persen kabupaten/kota yang telah memiliki Perda tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup — dari 447 kabupaten/kota di Indonesia —, khususnya untuk mengurangi atau menghilangkan lima kebiasaan negatif masyarakat tersebut. Masyarakat seharusnya dapat belajar dengan cerdas dari masalah asap. Wallahu alam bishawab.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.) Sarjana Muda Geografi, IKIP Malang (sekarang menjadi UM), Sarjana Pendidikan Sosial Universitas Darul Ulum Jombang, dan Master of Education on Curriculum and Instruction, University of Houston, Texas, USA.

Depok, 25 Oktober 2006

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts