Oleh Suparlan *)
Mendidik pikiran tanpa pendidikan untuk hati sama dengan tidak ada edukasi
(Aristotle, 384 BC – 322 BC, Filsuf Yunani)Education is seen as a way to empower people, improve their quality of life and increase their capacity to participate in the decision-making processes leading to social, cultural and economic policies
(UNESCO)Education is too important to be left only to government
(USSecretary of Education)
Siapa yang tidak kenalProf. Dr.Soedijarto,MA? Beliau adalah mantan birokrat. Mantan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga, kepala Pusat Kurikulum, dan sederet kadudukan dan jabatan yang pernah disandangnya. Terakhir, beliau kembali ke habitatnya, yakni guru besar di Universitas Negeri Jakarta. Buku Landasan dan Arah Pendidikan Nasional ini menggambarkan setumpuk pengalaman dan sekaligus pandangan beliau tentang dunia pendidikan. Saya ikut memperoleh hadiah buku setebal 488 halaman itu, berkat pertemanan penulis dengan kerabat beliau. Terima kasih Pak Sudijarto. Dalam kesempatan itu, penulis menyampaikan tiga tajuk buku karya penulis, yaitu Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Menjadi Guru Efektif, dan Guru Sebagai Profesi, melalui sekretaris beliau.
Menurut penulis, buku ini sebenarnya serius, dan secara substansial sangat berat, karena menyangkut tema sentral pendidikan. Meski menurut Pak Tilaar — yang sama-sama guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) — meski masih ada lagi yang jauh lebih berat, yakni birokrasi pendidikan, yang dalam buku ini, konon absen alias tidak dibahas. Substansi yang absen ini adalah substansi yang terkait dengan kritik panas dari Daud Joesoef — yang kalau nggak salah — agar Depdiknas diubah saja menjadi Departemen Perdagangan Pendidikan.
Kesalahan dan Sumber Kesalahan
Secara khusus, penulis ingin menyatakan bahwa buku ini belum sepenuhnya menjawab — dengan bahasa terang — tentang pertanyaan yang secara khusus digunakan sebagai pendahuluan, dan kemudian muncul pula pada cover belakang buku itu, yakni “apa yang salah dengan pendidikan nasional”. Pertanyaan itu tampak agak malu-malu untuk dijawab dengan bahasa terang, apalagi dengan bahasa rakyat kecil, orang awam. Hal ini mungkin, terkait dengan kesopansantunan Sudijarto, sebagaimana diungkapkan oleh kolega beliau, Conny Semiawan, ketika diberikan kesempatan oleh pemandu acara untuk menyampaikan komentar tentang pribadi dan karya beliau. Sebagai contoh, beberapa sub-bab tentang Ujian Nasional: Masukan untuk Pemerintah dan Beberapa Catatan tentang Rencana Ujian NasionalSD dimaksudkan sebagai salah satu jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Beliau secara sangat santun menyatakan bahwa “seyogyanya UN tidak digunakan untuk menentukan kelulusan, apalagi untuk SMP”. Demikian juga dengan dalam subbab berikutnya tentang Rencana Ujian NasionalSD, beliau menyatakan dengan nada yang sama-sama santun. “Dengan demikian, UN untuk SD tidak dibenarkan sebagai penentu kelulusan”. Apakah dengan kalimat santun tersebut berarti belum menjawab pertanyaan
tentang “apa yang salah dengan pendidikan nasional”. Bukan. Sama sekali bukan. Yang kurang adalah jawaban yang lebih mengakar tentang “mengapa kebijakan yang salah tersebut tetap saja lahir di negeri yang menganut hukum dan demokrasi ini”? Akar penyebab kesalahan itu menurut penulis adalah karena tradisi perumusan kebijakan kita yang selalu lahir secara instan. Bahkan selalu lahir dari ucapan para seorang penentu kebijakan. Bukan hasil kajian tim perumus kebijakan. Sebagai contoh, hasil tim pengembangan dari “Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) yang notabene sangat bagus, ternyata bisa dengan mudah dihentikan oleh Nugroho Notosusanto hanya karena pertimbangan anggaran (hal. 152 – 153). Kebijakan kita tentang berbagai hal tentang landasan dan arah pendidikan nasional kita pada umumnya tidak pernah digodok secara matang terlebih dahulu oleh sebuah tim yang dibentuk untuk itu, lalu disepakati oleh para penentu kebijakan, dan kemudian baru dilaksanakan secara mantap, dan secara konsekuen disiapkan anggarannya yang memadai. Sebagai contoh lagi, kelahiran kebijakan Buku Sekolah Elektronik (BSE), atau coba kita mundur ke belakang kelahiran kebijakan tentang “link and match” ataupun juga tentang “life skills”. Beberapa kebijakan itu sempat mencuat dengan sangat cepat dalam khasanah perbendaharaan istilah dalam dunia pendidikan kita, tetapi implementasinya tidak cukup efektif di lapangan.
Birokrasi Pendidikan: Satu Kekurangan
Inilah yang menurut penulis menjadi kekurangan buku itu, yakni tidak dapat memotret secara jelas sumber kelemahan — kesalahan — pendidikan nasional kita. Kalau sumber penyebab utama kesalahan tersebut tidak jelas, maka akibatnya para pengambil kebijakan tidak dapat melihat dengan apa saja yang harus dilakukan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. OK, UN merupakan kesalahan dalam pendidikan nasional kita. Juga dengan kesalahan-kesalahan lainnya. Cukupkah dengan mengapusnya? Tidak! Harus dapat dilahirkan kebijakan pengganti yang lebih bagus. Dibuat oleh siapa? Oleh tim yang dibentuk untuk itu. Ujian akhir merupakan suatu subsistem dalam sistem pendidikan nasional. Terkait dengan sistem penjurusan, apakah harus dimulai dari SMP atau SMA, sebagaimana dicontohkan di Jerman danUS. Terkait dengan penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi, dan tentu saja dengan sistem penerimaan pegawai dalam dunia kerja dan masyarakat. Selama ini, baik dengan EBTANAS, Ujian Negara, atau pun Ujian Sekolah, masih belum dapat mengaitkan dengan sistem penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi. Pendidikan menengah seakan tidak terkait dengan pendidikan tinggi. Jika keduanya dapat disinkronisasikan, insyaallah masyarakat akan dapat menghemat banyak, baik dari segi tenaga maupun finansial. Dalam buku Pak Soedijarto hal itu tidak dibahas. Barangkali ini masuk dalam kategori birokrasi yang disebutkan oleh Pak Tilaar, yang memang tidak ada dalam buku ini, atau nanti akan ditulis tersendiri.
Pelajaran dari Malaysia
St. Sularto dari Penerbit Kompas, dalam sambutannya menyebutkan tentang perbandinganIndonesiadenganKoreadanGhana. Disebutkan bahwa kondisiKoreasepuluh kali lebih baik dibandingkan denganGhana. Tentu sajaIndonesiatidaklah mau disamakan denganGhana, meski sudah barang tentu secara ksatria kita akan menyatakan memang belum semajuKorea. Pada umumnya kita juga merasa ketinggalan dariMalaysia, khususnya dalam bidang pendidikan. Menurut saya, ketinggalan kita tidak ecara keseluruhan. Gedung Universitas Malaya, dimana penulis pernah mondar-mandir di universitas itu, sebenarnya tidak semegah gedung UI, atau bahkan dengan bebarapa universitas lain di Indonesia.
Yang membedakan adalah isi dan aktivitasnya, dan sudah barang tentu pola perilaku penghuninya. Kita masih mengenal “dosen killer” di Indonesia. Di Malaysia tidak lagi kita kenal. Banyak mahasiswa dari Indonesia yang melanjutkan kuliah di Malaysia, bukan saja karena biayanya yang lebih murah dibandingkan di Indonesia, tetapi justru karena adanya kejelasan dalam proses penyelesaian studinya. Bahkan kalau mujur dapat beasiswa dari Jabatan Perkhidmatan Awam (JPA) atau bahkan menjadi Technical Assistence (TA) dari profesornya, yang kemudian mendapatkan tambahan biaya hidup selama di Malaysia.
Sepengetahuan penulis, yang pernah bertugas selama hampir lima tahun di negeri jiran itu, kebijakan pendidikan di Malaysia telah dirancang dengan jelas dan mantap. Beberapa kebijakan pendidikan di Malaysia yang penulis ketahui beberapa di antaranya adalah: (1) Sekolah Rendah Percuma, (2) Kenaikan Kelas Ekspres, (2) Sekolah Berasrama Penuh (SBP), dan (2) Sekolah Bestari (Smart School).
Pertama, Sekolah Rendah Percuma adalah kebijakan pemeritnah untuk tidak memungut uang sekolah di Sekolah Rendah (di Indonesia SD). Kebijakan ini mulai dilaksanakan sejak tahun 1960-an sampai saat ini. Dengan kebijakan ini, sebagian besar anak usia SD telah memperoleh akses pendidikan, tanpa harus mencanangkan program wajib belajar.
Kedua, kenaikan kelas ekspres dilaksanakan untuk siswa yang duduk di darjah (kelas) 3 untuk naik ke darjah (kelas) 5 Sekolah Rendah. Sistem kenaikan kelas ini dilakukan dengan tes secara nasional. Seorang siswa kelas 3 dapat langsung naik ke kelas 5 jika lulus dalam tes ini, dan disetujui oleh orangtuanya. Sistem ini dapat disamakan dengan model akselarasi di Indonesia.
Ketiga, Sekolah Berasrama Penuh telah lama diterapkan di negeri ini. Ada 31 (tiga puluh satu) SBP di seluruh Malaysia, yang sistem penerimaan dan penempatan siswanya diatur oleh Kementerian Pendidikan, dan seluruhnya dibiayai oleh negara. Perpaduan nasional menjadi arah kecemerlangan yang ingin dicapai oleh kebijakan ini. Di Kota Kuala Lumpur terdapat satu SBP yang dikenal sebagai SBP Seri Puteri, yang siswanya khusus hanya untuk perempuan.
Keempat, Sekolah Bestari (Smart School) adalah konsep sekolah menengah yang seluruh proses pembelajarannya menggunakan media komputer. Sistem ini merupakan bagian dari megaproyek yang disebut Multimedia Super Corrodor (MSC). Buku pelajaran untuk empat mata pelajaran teras, yakni: (1) Bahasa Malaysia, (2) Bahasa Inggris, (3) Sains, dan (4) Matematika telah menggunakan CD ROM. Salah satu Sekolah Menengah Bestari yang pernah dikunjungi Bapak Yahya Muhamin (mantan Mendikbud) adalah Sekolah Bestari Putra Jaya I yang terletak di kawasan pusat pemerintahan Putra Jaya.
Akhir Kata
Itulah sekelumit catatan yang dapat penulis ungkapkan untuk menyambut penerbitan buku Bapak Soedijarto, salah seorang tokoh pendidikan yang pernah penulis kenal sejak penulis menjadi Kasubbag Monitor di Bagian Perencanaan Ditjen Dikdasmen pada tahun 90-an. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, 25 Juli 2008.