Oleh Suparlan*)
*Tulisan ini untuk memenuhi permintaan Ibu Emma Eman, istri Pak Eman, sekretaris RT 05 Taman Depok Permai, Depok II Timur, Kota Depok.
Tanggal 21 April 1975 merupakan satu hari bersejarah bagiku. Itulah hari yang telah mempertemukan aku dengan calon istriku, Nuning Purwanti Widiastuti, ibu dari tiga anak-anak saya sekarang ini. Pertemuan pertamaku dengannya, sungguh memiliki nilai-nilai edukatif yang sangat luar biasa. Pertama, dia sedang berpakaian ala Kartini, mencoba menjadi ibu dengan baju kebaya dan kain panjang. Ketika itu ia sedang naik becak di jalan sedikit menanjak, masuk pintu gerbang SPG Negeri Pamekasan, yang beralamat di Jalan Pintu Gerbang Pamekasan, Madura. Ya, hari itu adalah tanggal 21 April 1975. Para siswi SPG Negeri Pamekasan sedang berpakaian ala Kartini, agar mereka dapat menghayati sebagai putri Indonesia yang harum namanya itu. Itulah aspek pendidikan praktik yang sebenarnya, semacam simulasi menjadi wanita Indonesia. Kedua, sati pertemuan seorang calon guru dengan siswa baru di satu sekolah yang sarat dengan nuansa kependidikan.
Sebagai guru baru di sekolah itu, pada hari bersejarah itu aku sedang naik sepeda UNICEF, sepeda inventaris sekolah yang dipinjamkan kepada sebagian guru baru. Ciri sepeda itu mempunyai tempat duduk yang sedikit lebar dibandingkan sepeda-sepeda biasa. Sepeda itu pula kelak sempat memboncengnya pergi ke alun-alun Pamekasan dan sempat oleng dan terjatuh. Oleh karena jalan di pintu gerbang sekolah itu naik, maka aku pun turun dari sepeda. Saat itulah aku berpapasan dengannya. ”Sugeng enjang pak” (selamat pagi pak), sapanya kepadaku dengan Bahasa Jawa yang demikian halus. ”Sugeng enjang”, jawabku. ”Tiyang Jawi nggih”, tanyaku dalam Bahasa Jawa, untuk memberikan penegasan secara tidak langsung bahwa pak guru baru ini pun orang Jawa juga. Akhirnya, becak pun terus mengantarkan siswa baru pindahan dari Mojokerto ini sampai ke dekat ruang kelasnya. Sedang aku pun naik sepeda lagi sampai ke tempat parkir sepeda khusus untuk para guru. Sekali lagi, pertemuan itu aku sebut sebagai pertemuan yang sangat edukatif. Pertama, pertemuan seorang guru baru dengan seorang murid baru. Aku guru yang baru diangkat di sekolah ini. Dia siswi baru, siswi pindahan dari SPG Negeri Mojokerto. Kedua, pertemuan itu terjadi di arena lembaga pendidikan, pencetak calon pendidik, dan terjadi dalam proses pendidikan, yakni dalam suasana acara peringatan hari kelahiran RA. Kartini, salah seorang tokoh pendidikan bagi kaum wanita.
Pertemuanku yang kedua adalah ketika aku sedang berangkat mengajar ke SPG Muhammadiyah Pamekasan. Sebagai guru PNS, aku juga mengajar di SPG swasta itu. Rumah ibunya ternyata bertetangga dengan Masjid Takwa, satu kompleks dengan gedung sekolah SPG Muhammadiyah Pamekasan itu. Secara kebetulan, jarak dari rumah kost ke SPG Muhammadiyah Pamekasan tidaklah terlalu jauh. Karena itu aku jalan kaki menuju ke SPG Muhammadiyah. Saat aku berangkat ke sekolah itulah, tak kusangka aku melihat dia sedang menyapu halaman rumahnya di Jalan KH. Amin Jakfar, Pamekasan. Ganti aku yang menyapanya. ”Sugeng siang mbak” (selamat siang mbak). ”Di sini ya rumahnya”, lanjutku menegaskan ulang sebelum aku memperoleh jawaban tentang kepastian tentang rumahnya. Tentu dengan harapan agar suatu saat aku dapat berkunjung ke rumahnya. Maklum, sebagai pendatang sangat memerlukan kawan untuk saling berbincang.
Mengajar itu indah
Tiba-tiba aku menaruh perhatian dengannya setelah dua pertemuan yang bersejarah itu. Saya menjadi senang ketika beberapa guru, terutama seorang guru yang sama-sama tinggal serumah kost dengan aku, yakni Pak Tawil, yang sering meminta siswi yang satu ini untuk memberikan ball point – atau sesuatu — kepadaku ketika aku sedang mengajar di depan kelas. Aku pun keluar pintu kelas, ketika dia mengetok pintu, dan memberikan sesuatu itu kepadaku. Nyaris tak terdengar ketika dia menyerahkan ball point itu. Aku hanya tersenyum menerimanya. Dan aku tahu bahwa itu hanyalah gurauan teman-teman guru kepadaku.
Peristiwa itu membuat aku lebih giat mengajar. Pekerjaan mengajar menjadi lebih indah sekali. Mengajar ibarat sesuatu yang sangat menyenangkan. Aku menjadi senang untuk diganggu oleh kedatangannya ketika aku sedang mengajar. Aku ingin ketika sedang mengajar ada seorang siswa mengetuk pintu dan memberikan sesuatu kepadaku. Semangat mengajar menjadi meningkat, karena ada motivasi tertentu yang telah membuatku ingin ketemu dia.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan akhirnya tahun pelajaranpun berganti pula. Dari tahun pelajaran 1975/1976 berganti menjadi 1976/1977. Dia menjadi salah satu siswi kelas tiga pada tahun pelajaran itu. Dengan kata lain, jika dia lulus, maka dia akan lulus sebagai calon guru Sekolah Dasar. Rasanya waktu berjalan sangat cepat, dan aku sekakan ingin segera menyelesaikan tahun pelajaran ini.
Malam Jum’at
Ketika dia naik ke kelas tiga, keinginanku untuk mulai bertemu mulai menggebu-gebu. Namun, bertemu di malam minggu aku nilai sangat tidak etis untuk seorang guru bertandang ke rumah seorang siswi. Maka kuambillah Hari Jum’at untuk wakuncar (waktu kunjung pacar). Malam Jum’at kugunakan semaksimal mungkin untuk mengadakan pendekatan dengannya dan keluarganya. Ya, aku belum menjelaskan keluarganya. Dia tinggal di Jalan KH. Amin Jakfar, di Kelurahan Gladak Anyar, Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan. Dia tinggal dengan ibu kandungnya, yaitu RA Siti Aliyah, dan dua orang adiknya, seorang laki-laki bernama Sulistyo Widipurwanto, yang masih duduk di SMEA, dan seorang lagi perempuan bersekolah di SMA. Ibunya memang sudah lama bercerai dengan ayah kandungnya, Bapak R. Soemarsono, yang pada saat itu menjadi Kepala Bagian Umum Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Bapak R. Soemarsono tinggal di Kota Mojokerto. Faktor keluarga inilah yang telah memicu keinginan anak pertama ini pindah dari SPG Negeri Mojokerto ke SPG Negeri Pamekasan untuk mencari ibu kandungnya sendiri. Karena faktor inilah maka ia pindah sekolah dari SPG Negeri Mojokerto ke SPG Negeri Pamekasan. Jadi dia kembali ke tanah tumpah darahnya sendiri. Karena dia memang dilahirkan di Pamekasan pada tanggal 22 Desember 1956. Meski Ibu RA Siti Aliyah mengikuti suaminya di mana Bapak R. Soemarsono bekerja, tatapi konon kalau mau melahirkan selalulah beliau minta agar dapat melahirkan di Pamekasan. Oleh karena itu, tiga anaknya dari Bapak R. Soemarsono semuanya telah lahir di Pamekasan.
Kembali ke soal wakuncar, aku selalu berkunjung ke rumahnya setiap malam Jum’at. Dan anehnya juga selalu di kursi yang sama. Teh panas dan makanan kecil selalu tersedia untukku. Aku tidak terlalu ingat apa saja yang menjadi bahan omongan antara aku dengannya. Tapi yang pasti tentang keluarga, dan macam-macam cerita tentang sekolah. Dan yang juga pasti, setelah waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB, dia selalu menunjuk kepada jam yang menjadi saksi kunjunganku setiap malam Jum’at. Kalau sudah demikian, maka aku pun undur diri dan mendekat kamar Ibu RA Siti Aliyah untuk minta pamit kepada beliau. Keluarlah beliau dari kamarnya dan beliau mengatakan ”iya nak”. Itulah singkat dari Ibu RA. Siti Aliyah.
Melamar Sendiri
Suatu ketika aku memperoleh informasi bahwa gadis Madura tidak akan boleh diajak keluar oleh sang kekasih, sebelum kekasih itu melamarnya. Informasi ini malah darinya sendiri. Sudah tentu informasi itu menjadi salah satu cerita kami berdua. Nah, supaya aku dapat mengajaknya keluar, maka tidak ada cara yang lebih baik kecuali aku harus melamarnya sendiri. Meminta orangtua atau saudara untuk melamarnya seperti belum waktunya. Aku khawatir merepotkan keluargaku yang memang tinggal di ”gowok tekek”, Kecamatan Munjungan, satu kecamatan yang terletak di bibir pantai Selatan di Kabupaten Trenggalek. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali aku harus mencoba memberanikan diri untuk melamarnya sendiri. Pada malam Jum’at, sebagaimana biasa aku mengunjunginya, aku memberanikan diri untuk menyampaikan niatku untuk melamarnya. Jawabannya, ternyata masih memerlukan waktu. Mengapa? Karena beliau masih harus meminta pertimbangan terlebih dahulu dari orangtuanya, Bapak R. Soemarsono, yang tinggal di Mojokerto. Meski beliau sudah berpisah cukup lama, namun komunikasi tentang keluarga, terutama tentang tanggung jawab terhadap anak-anak, masih berlangsung sangat bagus. Termasuk untuk minta pertimbangan tentang lamaranku tersebut. Beliau akan berkirim surat kepada Bapak R. Soemarsono. Maklum, jawaban dari beliau akan sangat penting, karena yang mengincar gadis Madura ini ternyata juga tidak hanya aku. Itulah sebabnya pertimbangan sang ayah akan menjadi ketentuan yang sangat penting.
Alhamdulillah, tidak menunggu terlalu lama, khabar tentang persetujuan pun telah beliau terima. Konon ada surat dari Bapak R. Soemarsono, yang secara tertulis telah memberikan persetujuan tentang jalinan hubungan kami. Dari ketiga calon yang diajukan, ternyata Bapak R. Soemarsono justru memilih seorang guru baru SPG, bukan yang lain. Ternyata, beliau mempunyai obsesi dan pandangan yang sangat menghargai guru, karena ayah beliau adalah seorang guru yang sangat beliau hormati. Namanya adalah Bapak Amir Martohardjono. Sangat beruntunglah aku. Persetujuan dari sang ayah menjadi modal dasar yang sangat besar bagi keberlangsungan hubungan kami selanjutnya. Dan lebih dari itu, dia sudah dapat diajak untuk jalan-jalan ke luar untuk menghirup udara Madura yang cukup panas. Sudah tentu, apa yang terjadi ketika jalan-jalan bersama ini tidak akan aku ceritakan di sini. Mengapa? Karena judul ini hanya akan menceritakan tentang pertemuan pertamaku dengan si dia. Mudah-mudahan cerita ini dapat menjadi bahan pelajaran bagi pembaca, termasuk anak-anak tercinta, karena boleh jadi anak-anakku pun kemunginan juga belum sempat memperoleh cerita itu secara rinci dari ayah dan bundanya tercinta, aku dan si dia.
*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.
Depok, November 2008