Artikel

Tanggal 22 April 2017: Ibunda Siti Mailah Menghadap Allah

342 views
Tidak ada komentar

 Oleh: Suparlan *)

Siti Mailah adalah Ibunda tercinta. Putri Pak Embah Ahmad Salim. Di desa dikenal dengan nama Amat Salim. Ibunda inilah yang telah melahirkanku pada tanggal 20 Mei 1949. Saya, anaknya, yang kini telah berusia 68 tahun, jika Ibunda ketiga melahirkan saya berusia katakanlah 20 tahun, maka bunda tercinta menghadap Allah pada tanggal 22 April 2017 telah berusia 88 tahun. Itulah Ibuda Siti Mailah Binti Ahmad Salim.

Tulisan singkat ini saya tulis untuk menjadi kenang-kenangan terakhir dengan saya, ketika saya karena Allah yang telah mengaturnya, sehingga saudara-saudaraku, keluarga besarku, anak cucu, bahkan buyut,  sekaligus untuk dapat mengingat-ingat wasiat beliau saat dipanggil Allah, dengan ucapan Allahu Akbar. Tulisan ini saya tulis sekalian mudah-mudahan para pembaca laman dan portal saya dapat mengetahui cerita singkat Ibuda tercinta ketika menghadap ke hadirat-Nya. Karena itulah kemampuan yang saya miliki, meski bukan kemampuan saya yang terbaik menurut pembaca. Tapi itulah yang ingin saya tunjukkan kepada Ibunda, meski saya tidak tahu persis apakah Ibunda benar-benar dapat membaca, karena saya pun tidak pernah berkirim surat kepada beliau. Apalagi berkirim surel, baik kepada ayah dan bunda. Mudah-mudahan saya dapat berkirim dengan hati. Insya Allah. Perlu pembaca ketahui bahwa saat bersekolah, ayah dan bunda, apalagi kakek-nenek saya Ahmad Salim-Siti Sukijah membiayai sekolah saya dengan gabah dan kelapa. Saya masing ingkat ayah saya memikul kopra dengan bejalan kaki dari Desa Tawing, Kec. Munjungan ke Kampak dengan jalan kaki kurang lebih 6 jam. Allahu Akbar, itulah jerih payah Kakek/Nenekku yang saya sebut sebagai Pak Embah/Mbok Embah. Entekno Lan bandhaku asal kowe sekolah. Begitulah pesan Mbok Embah Sukijah kepada saya. Inilah prolog yang perlu saya tulis untuk pendahuluan tulisan singkat ini. Para pembaca dapat membuka laman saya www.suparlan.com; atau surel me@suparlan.cm; dan portal saya masdik.com. Mudah-mudahan dapat menjadi amal ibadah ibuda, karena penulisnya tidak lain adalah tetesan darah Ibunda Siti Mailah in. Insya Allah. Amin.

Diawali dengan rencana reuni

Teman-teman saya lulusan jurusan Geografi 1969 IKIP Malang ingin mengadakan reuni di Kota Tulung Agug. Tentu itu semua menjadi kebanggaan saya, karena yang membuat saya lulus dari IKIP Malang ini juga karena dukungan Kakek/Nenek saya, dan tentu juga dukungan ayat saya dan Ibunda saya Abdulbasir/Siti Mailah. Jadi, kalau saya ingin menghadiri acara reuni tersebut tentulah bukan hanya untuk berfoya-foya belaka, tapi lebih karena menunjukkan bukti kepada Kakek/Nenek dan Bapak/Ibunda saya bahwa saya adalah anak desa dari keluarga besar Pak Embah/Embok Embah dan Bapak/Embok yang telah menyekolahkan saya sampai tamat IKIP Malang. Saya memiliki kebanggan tersendiri bahwa IKIP Malang adalah sepuluh perguruan tinggi kependidikan terbesar di Indonesia. Hal itu sering saya ceritakan kepada Kakek/Nenek saya, tentu saja kepada Bapak/Ibunda Siti Mailah. Meski beliau tidak mampu memahami makna perguruan tinggi terbesar, karena beliau tidak pernah menduduki apalagi perguruan tinggi. Tamat SD pun tidak. Allahu Akbar, sebagai cucu dan anaknya dapat lulus dari perguruan tinggi tersebut, bahkan harus saya jelaskan bahwa anaknya, orang desa ini, anak singkong ini, pun telah menamatkan masternya dari Univerversity of Houston. Anak siapa kalau bukan anak Ibunda Siti Mailah binti Ahmad Salim.

Sambil menghadiri reuni di Tulung Agung, saya bermaksud untuk sungkem kepada Ibuda. Oleh karena itu saya tidak berangkat sendirian, tetapi minta ditemani Istri Tercinta juga. Itulah sebabnya jika semula mau berangkat naik kereta api, tapi akhirnya naik pesawat terbang meski bukan Garuda. Maklum sudah pensiun. Sekalian nengok saudara dan minta tolong Dik Bayu Indrajati, adik ipar yang dulu pernah ikut menikmati naik Jip Willys dari Kampak ke Munjungan yang dinaiki penumpang di atas Jip. Alhamdulillah, Bupati Baru Trenggalek yang lulusan dari Negeri Sakura ini, insya Allah dapat berangsur-angsur membuka jalan dari Kampak ke Munjungan lebih lebar, lebih halus, dan pada saatnya nanti dapat membuka JLS (Jalan Lintas Selatan) lembih lancar lagi.

Pada tanggal Jum’at 21 April 2017 saya dan istri berangkat ke Jawa Timur dengan pesawat Sriwijaya Air. Awalnya ada rencana naik kereta api Jakarta – Tulung Agung. Tapi niat berikutnya naik pesawat agar lebih cepat. Kebetulan dapat info dari adik Trenggalek bahwa Ibunda kebetulan sakit. Akhirnya pesawat Sriwijaya Air menjadi pesawat yang membawa saya berangkat dari Sukarno Hatta melalui Kota Malang. Akhirnya dik Bayu Indrajati yan bertugas menjemput kami di Bandara Abul Rachman Saleh. Kami mendapatkan nomor duduk 31B dan 31A. Tanggal ini sangat saya ingat karena istri saya mendapatkah hadiah dari pramugari bungkusan roti, karena pramugari lupa memberikan kue kepada kami, dan akhirnya pramugari itu memberikan bungkusan roti kepada istri dengan mengucapkan selamat Hari Kartini. Alhamdulillah. Allah jualah yang telah mengaturnya. Berangkat dari rumah pukul 03.00 pagi. Padahal pesawat take off masih pukul 06.20 WIB. Pesawat tiba di Bandara Abdul Rachman Saleh sekitar pukul 07.00-an, dijemput oleh Dik Bayu Indrajati. Langsung berangkat ke rumah Dik Linda. Di tengah perjalanan, Dik Baru merasa lapar, tapi saya berdua sudah sarapan pagi di bandara dengan KFC. Dik Bayu punya ide untuk mampir di warung soto yang katanya enak dan murah, kebetulan lokasinya dekat dengan rumah Pak Dimyati, yang tidak lain adalah adik ipar saya. Ingkat kata sambil menikmati sarapan pagi, Allah jugalah yang mengaturnya. Akhirnya, Adik Maryani dan Pak Dimyati ikut bersama ke Trenggalek. Tujuan menghadiri reuni di Tulungagung pun jalan terus. Alhamdulillah. Tepat waktu Jum’atan tiba, Dik Bayu pun menghentikan mobil barunya. Khutbah pun dimulai. Materi kutbahnya kebetulan sama dengan tulisan yang pernah saya tulis di laman www.suparlan.com, yaitu “Kita hidup dalam tiga hari”. Allah jualah yang mengaturnya. Hari kemarin adalah sejarah, menjadi bahan pelajaran kalau kita mau. Hari besok tidak ada segelintir orang yang tahu. Meski sedetik ke depan. Yang kita harus gugakan adalah hari ini. Kita mau berbuat baik atau buruk adalah hari ini. Itulah materi khutbah Jum’at tanggal 21 April 2017 di Masjid desa itu. Lumayan mengingatkan pentingnya menggunakan hari ini untuk berbuat kebajikan. Insya Allah.

Di tengah perjalanan, ada gagasan untuk mampir ke rumah adik di Blitar, karena saya lama tidak bertandang ke rumahnya. Allah Akbar. Meskipun hanya sekejap, akhirnya saya dapat turun ke halaman rumahnya. Akhirnya kami pun meneruskan perjalanan menuju rumah Adik Suyitno. Adinda pun dua kali menelepon saya, sudah sampai mana mas? Sampai Blitar! Sampai di kota Tulung Agung Adik Suyitno pun menelepon lagi. Sudah sampai Trenggalek, jawabku pula. Gunung Orak-Arik yang pernah menjadi judul tulisan saya waktu menjadi mahasiswa jurusan geografi pun menerima kedatangan saya. Itu berarti saya sudah sampai di Kota Trenggalek, bahkan sudah dekat dengan rumah Adik Suyitno, sekitar pukul 16.00 sore. Alhamdulillah. Suyitno dan istrinya Yatinah sudah menyiapkan makan siang untuk kami. Ikan laut, daun combrang, dan geneman ikan apa lagi itu pun segera saya makan dengan lahap. Alhamdulillah.

Naik Bukit Kampak – Munjungan

Bukit Kedekan sudah lewat, dan setelah ini sampailah kita di Kampak. Inilah awal perjalanan ke Munjungan mulai. Mobil pun ganti dengan mobil kuda milik Adik Suyitno. Mobil yang dibawa dari Malang diistirahatkan di rumah Adik Suyitno. Bahkan sopirnya juga ganti dengan sopir yang sudah biasa malang melintang dari Kampak – Munjungan. Alhamdulillah sampai di Kampak waktu salat Maghrib pun tiba. Setelah salat Maghrib, mobil pun mulai menaiki naik bukit ke arah Desa Tawing, Kecamatan Munjungan. Inilah tempat kelahiran saya. Tempat Ibunda melahirkan sepuluh anaknya, termasuk saya anak pertamanya. Sepuluh anaknya adalah (1) Suparlan, (2) Samuji (almarhum), (3) Maryani, (4) Suyitno, (5) Sumarli, (6) Sumardi, (7) Mursini, (8) Mursilah (almarhum), (9) Isminah, dan (10) Musripah. Dalam perjalanan, kami pun mencoba menghitung sepuluh anak-anak Ibunda Siti Mailah. Tidak menyangka sama sekali jika kedatangan anak-anaknya sebagai kedatangan yang terakhir, karena kami semua Ibunda memang menganggap Ibu sakit biasa. Itulah sebabnya Ibunda hanya dimasukkan ke Puskesmas di Kecamatan Munjungan. Oleh karena itu pejalanan mobil ini akan menuju ke Puskesmas Munjungan, meski nanti akhirnya juga ke rumah Tawing. Ketika memikirkan perjalan yang insya Allah akan sampai inilah tiba-tiba ban mobil yang kita tumpangi tiba tiba meletus. Memang ketika berangkat dari rumah Adik Suyitno istri saya, yang memang cerewet telah mengingatkan apakah ban mobilnya kurang anginnya. Adik Suyitno merasa yakin masih OK, karena baru saja dipakai dari Munjungan – Trenggalek. Maka, paniklah semua. Karena kita sedang berada di tengah jalan berhutan cukup lebat. Mobil pun minggir, dan cari batu pun tidak mudah mencarinya untuk memasang ban. Adik Sumarli yang berada di rumah Tawing mencoba menelpon kami. Tapi peristiwa ban mobil yang meletus ini pun berusaha tidak kita ceritakan. Semuanya beres. Alhamdulillah. Lampu HP-pun ikut dinyalakan, tapi susah juga untuk berusaha mengganti ban yang telah meletus itu. Tidak satu pun di antara kita berpengalaman memasang ban di kegelapan malam seperti itu.

Allah Maha Penolong

Setelah beberapa menit kemudian, ketika kita sibuk-subuknya memikirkan upaya untuk memasang ban serep itupan, seorang penunggang sepeda motor kemudian berhenti di belakang mobil dan bertanya “ada apa?” Singkat kata, inilah penolong kami semua yang insya Allah dikirim kepada umat-Nya yang memerlukan pertolongan. Ya Allah, Maha Penolong. Pengendara sepeda motor ini memang seorang sopir yang memiliki kemampuan untuk memasang ban yang metelus itu. Sopir ini pun membara perangkat yang diperlukan, bahkan juga membaca obor yang diperlukan untuk memasang ban pengganti, dan memasang kembali ban yang telah pecah di tempat ban serepnya. Alhamdulillah. Semuanya mengucapkan syukur Alhamdulillah yang tak terhingga kepada Allah, dan mengucapkan terima kasih kepada seorang sopir yang telah memasang ban di tengah perjalanan tersebut. Sekali lagi Alhamdulillah, akhirnya perjalanan ke Munjungan kita lanjutkan kembali. Jalan ke Munjungan pun sudah mulai menurun, dan menurun, akhirnya sampailah ke tempat tujuan, yakni Puskesmas Kecamatan Munjungan. Mobil pun mulai menurun, dan menurun, dengan tak henti-hentinya mengucapkan Alhamdulillah kepada Allah, seraya mengucapkan terima kasih kepada pengendara sepeda motor.

Akhirnya, sampailah kita semua yang turun dari mobil yang baru datang di Puskemas Kecamatan Munjungan. Semua yang turun dari mobil dan menyalami dan mencium Ibunda yang masih dalam perawatan dokter Puskesmas dan di tanggannya masih terdapat tabung infus. Setelah tanya sana sini kepada Adik Isminah dan Adik-adik yang lain tentang Ibunda, akhirnya di antara keluarga pun ada pikiran untuk membawa Ibunda ke Dokter atau ke Rumah Sakit yang lebih mampu untuk menangani penyakit Ibunda. Sambil menunggu kesiapan Ambulance yang akan membaca Ibunda ke Rumah Sakit tersebut, awalnya Ibunda mau diajak ke Trenggalek. Tetapi pada saat seperti itu Ibunda menyatakan kepasyarahan beliau tidak mau dipindah ke Rumah Sakit Trenggalek. Mungkin saja beliau membayangkan sulitnya medan dari Munjungan – Trenggalek.

Panggilan Allah yang Khusnul Khotimah

Akhirnya Ibunda menyatakan kepasrahan berulang-ulang kali. “Iki wis titi magsane, yen Gusti Allah wis arep mundhutku, ya wis aku ikhlas” Meledaklah tangisan semua anak-anaknya, padahal sebenarnya sebagian besar anak-anak masih berusaha menghubungi dokter untuk menentukan jalan keluar yang sebaik-baiknya akan diambil oleh keluarga, apakah masih akan dibawa ke Trenggalek, ataukah sudah putus sampai di sini untuk mendapatkan perawatan di Munjungan. Semua anak berkumpul memegangi badan dan tangan Ibunda sambil ada yang membacakan ayat-ayat suci Al-Quran. Ibunda pun berusaha semaksimal mungkin mengucapkan kalimah thoyyibah Allahu Akbar, Allah, Allah, Allah, subhanalah, dan sebagainya. Saya memberikan motivasi kepada Ibunda untuk mengucapkan Allahu Akbar, Allah Akbar, Allahu Akbar supaya agak longgar ketika bernafas, sambil mengangkat tangannya. Akhirnya semua anak, sambil didampingi oleh petugas rumah sakit telah melihat sendiri dengan hati, dan akhirnya menyimpulkan bahwa Ibuda memang sudah dipanggil Allah dengan khusnul khotimah. Meledaklah isak tangis semua anak-anaknya, termasuk anak yang baru tiba dari Blitar. Allahu Akbar. Semua Allah jualah yang maha mengatur. Amin.

*) Laman: www.suparlan.com; surel: me@suparlan.com; portal: masdik.com.

 

 

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts

Puisi

Teacher

Teacher! Teacher! Look over here At the picture that I drew… It’s a hug and a kiss, Teacher…