1. Tidak terlalu sering saya apat mengobrol dengan besan anak pertama saya. Pak Sudarto namanya. Sabtu itu saya sedang bebas, karena pada hari Jum’at kemarin saya sudah shalat Iedul Adha duluan di lapangan. Lumayan materi kutbahnya. Tentang hikmah ibadah haji.
2. Islamisasi di negeri ini telah melalui sejarah panjang. Di Jawa kita mengenal Islam Abangan dan Islam Putih. Di NTB ada bukti sejarah yang mirip dengan di Jawa.
3. Saya menceritakan tentang pengalaman praktik keagamaan yang unik di NTB. Meski praktik keagamaan di NTB sangat Islami, bukan hanya karena daerah ini dikenal dengan seribu masjid, tetapi saya juga mengetahui ustadz yang selalu menerjemahkan ceramah ustadz dari Saudi Arabia secara langsung saat ceramah di masjid ketika naik haji tahun lalu. Cerita saya tentang Bima ini, eee, tahu-tahu gayung bersambut. Pak Darto, sesuai dengan bidang keahliannya tentang budaya yang memahami sisa-sisa peradaban yang tertulis dalam daun lontar, beliau telah menjelaskan tentang sisa-sisa sejarah Islamisasi di NTB. Malah, beliau bercerita akan diberi sejumlah benda kuno tersebut, karena orang yang memiliki artefak tersebut ingin agar tulisan kuno tersebut dapat diselamatkan dari banyak pihak yang memperjualbelikan untuk kepentingan tertentu. Orang yang akan memberikan sisa-sisa peninggalan kuno ini adalah keturunan orang-orang Jawa yang memeluk agama Islam pada tahap awal di wilayah NTB, yang kini menjadi minoritas.
4. Singkat kata, dari peninggalan yang masih tertulis di daun lontar ini, kaum minoritas Islam ini dijelaskan menganut apa yang disebut sebagai Islam Watu Telu. Artinya Islam Waktu Tiga. Islam Watu Telu ini adalah Islam yang masih melaksanakan shalat dalam tiga waktu shalat, yakni shalat Subuh, shalat Maghrib, dan shalat Isa. Jadi shalatnya belum genap lima shalat.
5. Mengapa terjadi demikian? Tentu proses Islamisasinya memang belum selesai. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan dakwah, bagaimana pun juga, dan kapan pun juga memang harus digalakkan. Itulah sebabnya empat sifat Rasulullah (sidiq, amanah, fathonah, dan tabligh) harus dilaksanakan secara lengkap dan menyeluruh. Tabligh merupakan bagian penting proses Islamisasi tersebut.
6. Mengapa pemahaman tentang shalat tersebut dilaksanakan masih dalam tiga waktu shalat? Ini merupakan pemahaman yang dipengaruhi oleh keadaan setempat. Mata pencaharian utama penduduk adalah petani, yakni petani yang sangat rajin. Mereka berangkat kerja pagi-pagi hari setelah subuh. Selama seharian mereka bekerja di sawah. Dalam hal ini, waktu shalat Dhuhur mereka masih bermain lumpur sampai waktu shalat Asar. Menjelang waktu Maghrib mereka baru berangkat pulang. Saat inilah mereka dapat melaksanakan shalat Magrib di rumah, dan juga melaksanakan shalat Isa. Itulah sebabnya, mereka melaksanakan shalat dalam ibadah Islam baru dilaksanakan dalam tiga waktu saja, yakni shalat Subuh, Maghrib, dan Isa. Mereka belum melaksanakan shalat Dhuhur dan Asar karena alasan masih bekerja mengolah sawah.
7. Sudah barang tentu alasan apa pun seharusnya memang dilaksanakan dalam lima waktu. Dalam hal ini, masalah tidak dapat melaksanakan shalat Dhuhur dan Asar belum dapat dipecahkan. Mungkin saja pengetahuan tentang pembagian waktu kerja belum difahami secara holistik. Boleh jadi, pemahaman waktu shalat yang sebenarnya merupakan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah Swt juga belum sampai. Misalnya, mengapa setelah shalat Subuh tidak ada shalat sunah rawatib, karena setelah shalat Subuh, Allah menghendaki umatnya untuk segera “fantashirru filardh”, atau “bertebaran di muka bumi”. Untuk apa? Tidak lain adalah untuk segera berangkat kerja. Demikian juga dengan shalat Asar, Allah Swt dilarang melaksanakan shalat sunnah. Boleh jadi, pemahaman tentang pelaksanakan lima waktu shalat belum difahami secara utuh dan rasional. Lebih dari itu, shalat Dhuhur dan Asar pun dapat dilaksanakan, katakanlah di saung yang biasanya didirikan di tengah sawahnya. Hanya karena alasat praktis, mereka ternyata lebih mementingkan kerja di sawahnya, ketimbang melaksanakan shalat Dhuhur dan Ashar, yang sebenarnya menjadi kewajiban yang tidak ditawar-tawar, karena shalat adalah ukuran pertama semua ibadah kepada Allah swt.
8. Tetapi, ya inilah sisa sejarah masa lalu yang harus menjadi pelajaran bagi kita semua. Mudah-mudahan sisa-siswa Islamisasi masa lalu seperti “Islam Watu Telu” dapat segera berakhir menjadi Islam yang kafah. Amin.
Jakarta, 6 Oktober 2014