ArtikelPendidikan

Empat Pilar Pembangunan Pendidikan

3 Komentar

Oleh Suparlan *)

Manusia kreatif termotivasi oleh keinginan mencapai sesuatu, bukan oleh keinginan untuk mengalahkan yang lain
(Ayn Rand, 1905 – 1982, penulis AS kelahiran Rusia)

Mendidik pikiran tanpa pendidikan untuk hati sama dengan tidak ada edukasi
(Aristotle, 384 BC – 322 BC, Filsuf Yunani)

Keingintahuan adalah kunci kreativitas
(Akio Morita, Industrialis asal Jepang)

Kita telah cukup lama mengenal istilah “Tiga Pilar Pembangunan Pendidikan”. Istilah “Tiga Pilar Pembangunan Pendidikan” tersebut tertuang di dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009. Oleh karena itu, setidaknya istilah tersebut telah kita kenal dan gunakan selama lebih dari lima tahun, dan dengan demikian telah sekian lama menjadi bahan pidato para pejabat dalam periode tersebut. Ketiga pilar itu adalah: (1) pemerataan dan peningkatan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, serta (3) peningkataan manajemen pendidikan, akuntabilitas, dan citra publik.

Mulai masa kerja Mendiknas yang baru Bapak Mohammad Noeh ini pada akhir tahun 2009 ini, kini telah lahir istilah baru yang mulai beliau perkenalkan, antara lain melalui media advertorial Depdiknas, yakni “Empat Pilar (Pembangunan) Pendidikan”.

Tulisan singkat ini akan menjelaskan tentang “Empat Pilar (Pembangunan) Pendidikan” itu, apa pentingnya pilar-pilar tersebut, dan apa kaitannya dengan istilah tiga pilar yang sebelumnya, serta bagaimana kemungkinan melaksanakan dan menerapkan keempat pilar tersebut dalam pembanguan pendidikan di Indonesia. Empat pilar pendidikan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pilar pertama adalah availability atau ketersediaan. Yang dimaksudkan ketersediaan ini adalah ketersediaan layanan pendidikan yang memadai sesuai dengan standar, baik standar pelayanan minimal (SPM) ataupun standar nasional pendidikan (SNP) yang telah ditetap-kan. Salah satu keunikan negara kita Indonesia kesadaran akan keanekaragamannya. Itulah sebabnya sejak awal berdirinya, negara ini telah memiliki motto “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “berbeda itu, satu itu” yang secara bebas diterjemahkan “Meskipun berbeda-beda, kita tetap satu juga”. Perbedaan itu memang ada di segala sendi kehidupan kita, ter-masuk dalam bidang pendidikan. Dari segi layanan pendidikan, Indonesia ini memiliki keberagaman layanan yang sangat luar biasa. Ada lembaga pendidikan atau sekolah yang lengkap sarana dan prasarananya. Ada pula lembaga pendidikan yang disebut dengan sebutan yang kurang sedap didengar telinga, yaitu ”kandang kambing”. Ketika tulisan ini sedang diselesaikan, diinformasikan satu berita tragis di televisi ada seorang siswa SD yang terkena robohan pagar sekolahnya. Ini menunjukkan bahwa bukan layanan prima yang diperoleh dari sekolah, tetapi justru bencana yang bisa membawa maut. Itulah sebabnya pilar ketersediaan layanan pendidikan ini haruslah dalam koridor ketersediaan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

Dengan makna demikian, pilar ketersediaan ini memiliki pengertian yang sedikit berbeda daengan pemerataan dan peningkatan akses pendidikan. Pilar ketersediaan lebih bermakna kualitatif, sementara pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan lebih bernuansa kuantitatif.

Pilar ini sangat penting untuk memenuhi hak-hak dasar setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, termasuk untuk daerah terdepan dan terpencil di negeri ini. Selain itu, ketersediaan juga memiliki makna tersedia dalam kualitas yang memadai, dalam arti bukan ruang kelas yang rusak, dan alapagi dengan gedung sekolah yang roboh. Itulah sebabnya ukuran ketersediaan lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan ukuran pemerataan dan peningkatan akses pendidikan.

Untuk pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan, pemerintah harus harus dapat menyediakan layanan pendidikan secara merata untuk semua warga negara di negeri ini. Untuk ini, pemerintah telah membangun banyak sekali ruang kelas baru (RKB) dan unit sekolah baru (USB) untuk memenuhi kebutuhan tempat belajar anak-anak kita. Sayangnya kebijakan pengadaan RKB dan USB tersebut kurang memperhatikan aspek kualitasnya, sehingga terjadilah ruang kelas yang rusak dan gedung sekolah yang roboh. Ukuran untuk mengetahui pemerataan dan akses pendidikan ini biasanya dikenal dengan APK (angka partisipasi kasar) atau berapa jumlah semua anak yang sudah memperoleh pendidikan dibandingkan dengan jumlah penduduk di suatu daerah. Standar APK yang digunakan untuk menentukan apakah kualtias layanan pendidikan di daerah itu sudah cukup atau belum adalah APK 85%. Jika angka ini sudah tercapai, maka itu berarti pemerintah sudah dapat memberikan layananan pendidikan yang tinggi untuk warga negaranya. Artinya, pilar ketersediaan fasilitas pendidikan di kawasan itu juga sudah memadai. Secara nasional, Indonesia telah berhasil mencapai ketuntasan pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun, dengan APK lebih dari 85%. Sudah tentu angka ini lebih bersifat kuantitatif, karena hanya menghitung jumlah anak yang sudah dapat menikmati pendidikan. Perhitungan ini sama sekali tidak melihat apakah fasilitas pendidikan yang digunakan mencukupi atau bahkan mamadai kualitasnya. Sebagaimana kita ketahui, banyak ruang kelas yang digambarkan sebagai “kandang kambing”. Bahkan, masih kita dengar adanya sekolah yang roboh, bukan hanya di kawasan pedesaan, tetapi juga di kawasan perkotaan. Tentu saja, ini menyangkut ketersediaan fasilitas sekolah. Dari aspek ini, meskipun angka partisipasinya (APK) sudah memenuhi, dari aspek kesersediaan sama sekali belum tercapai, karena banyak anak-anak yang bersekolah di tempat-tempat darurat sebagai akibat dari ruang kelas yang rusak atau malah gedung sekolahnya yang roboh. Dalam hal ini pilar ketersediaan pendidikan dinilai lebih penting dibandingkan dengan angka partisipasi atau pilar pemerataan dan akses pendidikan.

Pilar kedua, affordability atau keterjangkauan. Pilar ini menitikberatkan kepada prinsip pemenuhan hak dan keadilan untuk memperoleh pendidikan bagi semua warga negara tanpa terkecuali, khususnya untuk daerah-daerah  terdepan dan terpencil. Keterjangkauan ini juga termasuk faktor kenyamanan dalam pemberian layanan pendidikan bagi peserta didik. Sebagai contoh, layanan minimal untuk peserta didik SD maksimal 3 km antara perumahan dengan sekolah, dan 6 km untuk siswa SMP. Selain jarak maksimal antara sekolah dengan pemukiman permanen, pilar keterjangkauan ini juga perlu memperhatikan kondisi geografis dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat diharapkan juga dapat menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan.

Pilar ketiga, quality atau kualitas pendidikan. Pilar peningkatan kualitas pendidikan merupakan pilar yang penting. Pilar peningkatan kualitas pendidikan merupakan kesinambungan yang tak terpisahkan dengan pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan. Setelah keberhasilan program penuntasan wajib belajar 9 tahun sebagai wujud keberhasilan pilar pemerataan dan peningkatan akses pendidikan, pilar peningkatan mutu pendidikan kini harus menjadikan perhatian utama kita, bukan saja dari output dan outcome tetapi yang lebih penting adalah input dan proses pendidikan yang terjadi di dalam ruang kelas, maupun yang terjadi di lingkungan kerjanya (black box theory).

Dari aspek masukan kasar atau raw input, faktor prestasi peserta didik harus mendapatkan perhatian program dan kegiatan. Pemberian beasiswa bagi peserta didik yang berprestasi dan berasal dari keluarga kurang mampu harus menjadi program yang penting. Program ini memiliki dampak secara langsung maupun langsung yang memberikan motivasi bagi peserta didik yang lain untuk meningkatkan mutu hasil belajarnya. Dari aspek masukan instrumental atau instrumental input, proses pengadaan buku teks, pengadaan media dan alat bantu mengajar akan memiliki dampak yang besar bagi upaya peningkatan hasil belajar siswa, dan pada gilirannya akan berdampak kepada upaya peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan.

Dari aspek proses, pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran oleh para guru harus mendapatkan perhatian utama. Dalam kaitan ini, program peningkatan kemampuan kepala sekolah dan pengawas sekolah harus menjadi program pendukung dalam pengembangan metode pengajaran dan pembelajaran tersebut, selain masih tetap mempertahankan program-program peningkatan fasilitas pendidikan untuk meningkatkan proses pengajaran dan pembelajaran, misalnya pengadaan perpustakaan sekolah, laborato-rium sains dan bahasa, dan pengadaan media dan alat bantu pembelajaran.

Dari aspek proses juga, program pengayaan pembelajaran (enrichment) dan pembelajaran praktik perlu banyak mendapatkan perhatian. Penggunaan metode mengajar bervariasi dan penggunaan media dan alat bantu pembelajaran harus mendapatkan perhatian dari para pemangku kepentingan pendidikan.

Pilar keempat, assurance atau penjaminan mutu pendidikan. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) merupakan lembaga formal yang dibentuk dengan tanggung jawab utama untuk meningkatkan penjaminan mutu pendidikan. Jaminan mutu pendidikan harus lebih banyak dilakukan dengan berbagai studi dan evaluasi tentang faktor-faktor apa yang besar pengaruhnya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai contoh, pemetaan kompetensi guru melalui uji kompetensi. Pemetaan ini akan menghasilkan data yang amat diperlukan untuk melakukan pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan kompetensi guru. Hasil kajian dan evaluasi tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait. Inilah bentuk akuntabilitas yang sesungguhnya yang harus dilakukan oleh semua pihak, dan itulah satu bentuk jaminan mutu pendidikan yang harus dipertanggung-jawabkan secara transparan kepada publik.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Surabaya, 14 November 2009

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

3 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.