Oleh: Suparlan *)
Bismillah. Dengan nama Allah. Kegiatan apa pun pasti harus dengan niat kepada Allah. Termasuk untuk belajar. Di dalam hati. Termasuk untuk tulisan singkat tentang Imam Ahmad bin Hanbal ini. Insyaallah. Imam Ahmad bin Hanbal adalah Imam keempat dari empat Imam yang terkenal dalam dunia Aswaja (Ahlusunnah wal Jamaah). Mengapa memilih Imam Ahmad bin Hanbal dulu? Entahlah. Itu soal pilihan. Allah jualah yang mengaturnya. Wallahu alam. Menurut sejarah Imam lahir pada tahun 164 H. Nama populernya berasal dari nama kakeknya, Muhammad bin Hanbal. Tampangnya tampan, tinggi dan kulit coklat, rambut dan janggutnya panjang, dicat dengan henna, dan beberapa helai rambutnya berwarna hitam. Suka berpakaian tebal berwarna putih dan mengenaikan imamah (tutup kepala) yang dibalutkan di kopiahnya. Itulah beliau yang kita kenal sebagai Imam Ahmad bin Hanbal. Mudah-mudahan menjadi motivasi sebagai contoh.
Cerdas dan Akhlak Mulia
Tanpa salah satu dari keduanya, tidak ada pendidikan. Cerdas dan akhlak mulia. Otak dan hati. Tanpa otak? No way! Tanpa hati? Apalagi. Imam Hanbali memiliki otak cerdas dan akhlak mulia sejak usia dini. PAUD-nya di rumah. Ayahnya meninggal pada usia 30 tahun. Jadi Imam Hanbali hidup bersama Ibunya sebagai single parent. Ibunyalah yang menjadi guru utama dan pertamanya. Tetapi sejak usia 14 tahun sudah hafal Al-Quran (AQ) dan sudah membaca banyak karya-karya ulama penting. Imam Hanbali orang yang amanah melebih anak seusianya. Juga konsistem. Beliau berpendapat bahwa AQ adalah kalamullah. Bukan makhluk. Hal ini dipertahankan sampai ajal menemputnya. Beliau menghormati sang guru. Tidak ada mantan guru. Itulah pendapat yang dipertahankan secara konsisten.
Hadits
Hadits adalah ilmu yang digelutinya. Belajar memang harus fokus. Harus ada spesialisasi. Jangan ke mana-mana. Selama 40 tahun beliau menyebarkan Hadits. Beliau menghafalkan Hadits, lalu memahaminya, dan tidak lupa beliau meriwayatkannya. Ilmu memang harus dipelajari. Ilmu harus diamalkan, dan kemudian harus disampaikan kepada siapa saja. Menyembunyikan ilmu adalah haram, karena menghambat islamisasi. Sama dengan enggan menjawab pertanyaan. Lidah yang suka bertanya menjadi media untuk mencari ilmu. Untuk memulai penelitian pun harus dimulai dengan pertanyaan penelitian! Untuk mengumpulkan Hadits dan mencari ilmu, dalam usia 20 tahun Imam Hanbali rela merantau ke Kufah, Basrah, dan Hijaz (Mekah dan Madinah) serta kota-kota penting lainnya di Irak. Beliau mengumpulkan Hadits kepada guru-guru yang dijumpainya. Tetapi beliau pantang taklid terhadap pendapat satu guru mana pun. Dengan mengumpulkan Hadits dan ilmu pengetahuan, beliau terus belajar sepangan hayat (long life education). Kita belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja.
Belajar
Menurut Imam Hanbali, belajar itu tidak ada lain kecuali untuk (1) mencari ridho Illahi. Bukan yang lain. Selain itu, belajar untuk (2) memperoleh kebahagiaan akhirat, (3) untuk memerangi kebodohan diri sendiri dan orang lain. Juga (4) untuk menyiarkan agama dan melanggengkan Islam. Kelanggengan Islam hanya dapat diperoleh dengan ilmu. Dengan ilmu kita mensyukuri nimat sehat, sehat akal dan sehat badan. “Ikatlah ilmu dengan buku” (HR Anas bin Malik). Bahkan Sayyidina Ali juga berpesan “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Dengan demikian, Imam Hanbali sebenarnya telah menjadi tokoh literasi yang sesungguhnya. Sayang, para Aswaja di dunia ini belum mengamalkan. Termasuk yang menulis tulisan singkat ini. Tulisan singkat adalah tulisan yang panjangnya tidak lebih dari dua halaman kuarto. Tulisan singkat tentang agama ini saya akan mulai dengan Bahasa gaul atau Bahasa genre baru. Bukan pakai Bahasa formal. Biar seperti Bahasa dalam buku Success Protocolnya Ippho Santosa.
Belajar kita lakukan dengan (1) mendengarkannya dalam manjelis ilmu seperti di mana saja, baik di sekolah dan luar sekolah. Juga (2) membaca dan (4) mengkajinya. Dalam ilmu kauniyah, Paulo Freire , tokoh pendidikan dari Brasil berpendapat bahwa “reading is not walking on the words, but grasping the soul of them.” Membaca itu bukanlah hanya berjalan di atas kata-kata saja, tetapi menangkap jiwanya. Memang membaca pada tingkatan pertama penting, juga menghafalkan. Bahkan sudah berpahala. Lebih besar lagi pahalanya jika dalam menangkap makna di dalam apa yang dibaca, terus menerapkannya. Kegiatan yasinan dan talkin memang penting dan berpahala, tetapi lebih berpahala jika kita menangkap makna yang kita baca. Insyaallah. Wallahu alam.
Bahkan Iman Hanbali, kalau sedang membaca selalu memegang kalam untuk menuliskan apa kesimpulan yang telah dibaca. Kalam adalah biji pena untuk menulis. Jadi ketika kita belajar, kita telah menggunakan seluruh pancaindera. Semua kompetensi Bahasa (language competences) telah kita daya gunakan. Mulai dari mendengarkan (listening), membaca (reading), mengucapkan (speaking), dan yang terpenting adalah menuliskan (writing). Bukan hanya dihafalkan. Beliau malah ingin membawa kalam itu sampai ke liang lahatnya. Allahu akbar. Tulisan ini adalah tulisan pertama yang menggunakan Bahasa dengan genre baru yang saya coba. Sambil belajar agama. Saya ingin bisa Bahasa Arab, seperti yang sering saya sampaikan dalam kajian Islam setiap minggu di Masjid Al-Mujahidin, Taman Depok Permai, Depok II Timur, Kota Depok. Mudah-mudahan tulisan singkat ini dibaca. Rasanya saya ingin mencoba mamadukan antara Ilmu Kauliyah dengan Ilmu Kauniyah. Seperti konsep membaca dalam Surat Al-Alaq dengan konsep reading dari Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil. Tokoh pendidikan dari seluruh penjuru dunia saya kira ikut mendukungnya. Tulisan singkat ini juga untuk mahasiswa saya di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tama Jagakarsa. Saya sudah sering mengatakan kepada mereka. Saya ini ulama, tetapi bukan ulama seperti Imam Ahmad bin Hanbal, tetapi usia lanjut masih aktif. Alhamdulillah, tulisan pertama selesai. Mudah-mudahan menjadi amal akhirat. Mudah-mudahan tulisan berikutnya menyusul. Amin.
*) Taman Depok Permai Blok D Nomor 5, Depok II Timur, Kota Depok.
Depok, 19 September 2015.