ArtikelPendidikan

Sejarah Perkembangan Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional Dalam Tiga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia

16 views
11 Komentar

***
Pendidikan di bumi nusantara berfungsi sebagai wahana trnaformasi budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi
(Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia)
***
Ada tiga unsur penting dalam setiap sistem. Pertama, adanya beberapa komponen atau bagian dari suatu sistem tersebut. Kedua, adanya interelasi dan interaksi atau hubungan yang saling terkait antara semua komponen tersebut. Dan ketiga, adanya tujuan yang hendak dicapai dalam proses interrelasi dan interaksi dari semua komponen tersebut.
Demikian yang terjadi dengan sistem apa pun, mulai dari sistem tata surya, sistem kekebalan dalam tubuh kita, sistem lalu lintas, dan sistem-sistem yang lain, termasuk Sistem Pendidikan Nasional kita. Itulah sebabnya, pengertian sistem dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan “Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional”. Definisi ini menjelaskan bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu. Keterpaduan komponen-komponen pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam sitem pendidikan nasional, kita mengenal adanya tiga komponen utama pendidikan, yakni peseta didik, guru, dan kurikulum. Di samping itu ada beberapa komponen lainnya, seperti sarana prasarana pendidikan, lingkungan pendidikan, mulai dari keluarga, masyarakat dan peranan negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Keseluruhan komponen pendidikan tersebut bekerja saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan. Komponen peserta didik akan saling terkait secara terpadu dengan komponen lainnya, mulai dari keluarga, masyarakat, guru dengan kurikulumnya, dan komponen sarana dan prasarana pendidikan. Tidak satu pun komponen dalam sistem pendidikan nasional yang bekerja tanpa dipengaruhi oleh komponen yang lainnya. Meski guru menjadi salah satu komponen utama dalam sistem pendidikan, namun keberadaannya akan dipengaruhi oleh komponen sarana dan prasarana pendidikan, lingkungan pendidikan, serta komponen lainnya. Interaksi saling terkait secara terpadu antara semua komponen pendidikan tersebut pada hakikatnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Tidak ada satu pun komponen yang bebas dan lepas dari pengaruh dari komponen yang lainnya.
Dalam sejarah perkembangan pendidikan di negeri tercinta Indonesia, kita telah memiliki tiga undang-undang yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional. Ketiga undang-undang sistem pendidikan nasional tersebut adalah 1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo. UU Nomor 12 Tahun 1954, 2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dan 3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Tulisan singkat ini akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan tujuan pendidikan — sebagai komponen pendidikan — yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan saat ini.
Alhamdulillah, sejak Indonesia merdeka, para pendiri republik ini telah berhasil menorehkan karyanya berupa Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur tentang antarrelasi secara terpadu dari semua komponen dalam sistem pendidikan nasional tersebut.
UU Nomor 4 Tahun 1950
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 jo. UU Nomor 12 Tahun 1954 merupakan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pertama di Indonesia. Tentu saja, penyelenggaraan pendidikan tidak lahir begitu saja tanpa melalui proses perjalanan panjang proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah bukan persiapan hidup, tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Education is not a preparation of life, but it’s life itself. Demikianlah pendapat John Dewey, seorang tokoh pendidikan yang terkenal. Oleh karena itu, meski Undang-Undangnya telah terbentuk pada tahun 1950, tetapi proses pendidikan masih berlangsung dengan sistem kolonial, dan baru mengalami perubahan setelah undang-undangnya mulai berlaku, dari UUD RIS menjadi UUD Negara Kesatuan, dari sistem pendidikan menjadi sistem pendidikan bagi negara kesatuan.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 4 Tahun 1950 inilah yang telah mengatur proses pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaannya. Perubahan adalah hukum kehidupan. Tidak ada yang tidak berubah dalam kehidupan, kecuali kata perubahan itu sendiri. Undang-Undang Sistem Pendidikan yang kita miliki baru terbit setelah Indonesia berusia lima tahun. Inilah undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yang pertama kita miliki. Undang-undang ini secara revolusi dapat direvisi setelah nagara ini berjalan selama empat tahun, karena Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional lahir dengan Undang-Undang tentang Pendidikan dan Pengajaran Nomor 12 Tahun 1954 dalam masa pergolakan untuk mengubah sistem pemerintahan dari negara serikat kembali menjadi negara kesatuan. Perubahan Undang-Undang, dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 sampai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954, pendidikan di Indonesia memang mengalami perubahan dari sistem pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan yang lebih memperhatikan rakyat yang baru saja merdekka. Meski setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, dengan sistem pendidikan kolonial yang masih berkokol kuat pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi amanat proklamasi “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan dilaksanakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Dalam urusan pendidikan, pada tanggal 29 Desember 1945 BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) telah mengusulkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) satu rencana pokok pendidikan dan mengajaran baru yang akhirnya melahirkan UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Sistem Pendidikan Nasional. BPKNIP telah membuat Surat Keputusan Tanggal 1 Maret 1946 Nomor 104/Bg. 0, untuk membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran RI di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara yang dibantu seorang penulis Soegarda Poerbakawatja yang menghasilkan “kurikulum” baru bagi sistem pendidikan yang masih berbau kolonialistik pada saat itu.
Hasil karya Panitia Penyelidik Pengajaran inilah yang kemudian manjadi cikal bakal kurikulum pertama di Indonesia yang ketika itu istilah “kurikulum” belum diadopsi dalam Bahasa Indonesia. Itulah sebabnya kurikulum pertama terkenal dengan nama “Rencana Pelajaran 1947″, yang kemudian menjadi cikal bakal tersusunnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang sekaligus menjadi Undang-Undang Sistem Pendikan dan Pengajaran yang pertama di Indonesia pada tanggal 2 April 1950. Tanggal kelahiran Undang-Undang Sistem Pendidikan dan Pengajaran ini ternyata persis sama dengan tanggal kelahiran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, yakni tanggal 2 April 2002.
Dalam Bab II Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950, dasar pendidikan dirumuskan sebagai berikut “manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Lalu, apakah tujuan pendidikan yang hendak dicapai berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950? Dalam Bab III Pasal 3 disebutkan bahwa tujuannya pendidikan nasional adalah “Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Inilah kata-kata berlian penting rumusan tujuan pendidikan nasional yang kita miliki pada saat republik ini mulai bernafas lega setelah revolusi kemerdekaan dan setelah pernah berpaling dari negara kesatuan ke negara serikat pada tahun 1949, karena dengan Perjanjian Linggarjati, dan Konferensi Meja Budar (KMB), penjajah hanya mengakui negeri yang masih bernama Indonesia hanyalah “pulau-pulai Jawa, Madura, dan Sumatera” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996: 71). Indonesia telah terpecah belah menjadi negara-negara kecil seperti “negara Pasundan”, “negara Sumatera Timur”, “negara Jawa Timur”, “negara Madura”, dan sebagainya.
Dalam kondisi negara yang baru mengalami “era revolusi kemerdekaan”, rumusan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1950 ini ternyata tidak terlalu konsekuen dengan rumusan tujuan negara yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis, sesungguhnya hanya merupakan respon dari keadaan negara yang terpecah belah tersebut, tetapi kurang mewadahi amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut, yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri republik ini harus kita akui kenegarawanan dan kearifan intelektualnya karena rumusan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, karena ternyata konsep “kecerdasan majemuk” baru lahir dari Howard Gardner, penggagas teori “multiple intelligence” atau kecerdasan majemuk pada tahun 1983 dalam bukunya “Frames of Mine: the Theory of Multiple Intelligences”. Dengan demikian, sesungguhnya nilai kesusilaan itu hanyalah merupakan bagian kecil dari konsep manusia cerdas sebagaimana yang diharapkan dalam Pembukaan UUD 1945. Manusia susila adalah hubungan interpersonal yang baik, yang hanya menjadi satu aspek dari kecerdasan bangsa yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Sementara kecerdasan yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 secara komprehensif meliputi delapan tipe kecerdasan, yakni kecerdasan spasial/visual, bahasa, musik, natural, raga, dan intelektual, serta kecerdasan lainnya. Rumusan “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebenarnya harus menjadi sumber untuk merumuskan tujuan pendidikan secara komprehensif di negeri tercinta ini. Rumusan manusia susila hanya menyangkut akan lebih tepat jika disebut manusia yang cerdas, karena manusia yang cerdas secara komprehensif pada hakikatnya telah termasuk manusia susila. Dengan mengacu kepada teori kecerdasan ganda tersebut, dalam Renstra Departemen Pendidikan Nasional 2005 – 2009 merumuskan tujuan pendidikan sebagai “kecerdasan komprehensif’.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
Tambahan tujuan yang harus dicapai adalah “warga negara yang bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air” merupakan rumusan yang sangat perspektif, yakni merupakan semangat yang sejak lama yang masih tetap menyala dan menjadi semangat untuk mencapai tujuan negara yang kedua dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum”. Meski sampai pada era teknologi komunikasi dan informasi ini tujuan tersebut ternyata belum kunjung dapat dicapai. Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional pada saat itu, dibandingkan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional berikutnya, dasar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 (Bab II Pasal 2) adalah: “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Sedangkan tujuan pendidikan disebutkan dalam Bab II Pasal 4 adalah “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Ada dua bagian tujuan pendidikan nasional dalam undang-undang ini, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Apa yang dimaksud manusia seutuhnya? Sebenarnya manusia seuutuhnya itu dapat dimaknai sama dengan manusia cerdas secara komprehensif sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Renstra Kementerian Pendidikan 2004 – 2009 sebagaimana yang telah dijelaskan, yakni memiliki delapan tipe kecerdasan secara utuh. Dalam Undang-Undang ini meliputi manusia yang:
1. Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME;
2. Berbudi luhur;
3. Memiliki pengetahuan dan keterampilan;
4. Memiliki kesehatan jasmani dan rohani;
5. Memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta
6. Memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
Kalau disejajarkan dengan konsep kecerdasan ganda, lagi-lagi konsep yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, dan secara saintifik telah dijelaskan dalam konsep Multiple Intelligences menurut Howard Gardner (Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, 2004: 35), maka tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 sebenarnya sudah cukup memadai, jika dibandingkan dengan tujuan pendidikan nasional pada era sebelumnya. Lalu, bagaimana dengan rumusan tujuan pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003?
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
Dalam Bab II Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan tentang dasar pendidikan nasional sebagai berikut: ”Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Secara normatif, ketentuan tentang dasar pendidikan ini sama dengan undang-undang sebelumnya.
Selanjutnya, dalam Bab II Pasal 3 disebutkan tentang tujuan pendidikan nasional, yakni “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Jika tujuan pendidikan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tersebut kita analisis, maka substansinya sebenarnya hampir sama dengan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
Pertama, sebelum menyebutkan karakteristik manusia yang akan dibentuk, kedua Undang-Undang tersebut menyebutkan tentang outcome (hasil akhir) tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rumusan tersebut kemudian disebutkan karakteristik manusia Indonesia yang akan dicapai, yakni manusia yang:
1. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2. Berakhlak mulia;
3. Sehat;
4. Berilmu;
5. Cakap;
6. Kreatif;
7. Mandiri, dan
8. Warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Delapan karakteristik manusia Indonesia yang akan dibentuk tersebut sebenarnya telah memenuhi delapan tipe kecerdasan, lagi-lagi seperti katakteristik yang sesuai dengan konsep “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam Pembukaan UUD 1945 pada khususnya, dan tipe kecerdasan sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep kecerdasan ganda atau kecerdasan majemuk (multiple intelligence) menurut Howard Gardner.
Jika ketiga tujuan pendidikan nasional tersebut kita sejajarkan, untuk melihat sisi persamaan dan perbedaannya, maka tiga tujuan tersebut dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
Tabel 1: Perbedaan Rumusan Tujuan Pendidikan Nasional
Aspek UU Nomor 4 Tahun 1950 jo UU Nomor 12 Tahun 1959 UU Nomor 2 Tahun 1989 UU Nomor 20 Tahun 2003
Nama Sistem Pendidikan dan Pengajaran Sistem Pendidikan dan Kebudayaan Sistem Pendidikan dan Kebudayaan
Daar Pendidikan dan pengajaran berdasarkan asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, dan asas kebudayaan Indonesia (Bab III, Pasal 4) Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Bab II Pasal 2) Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Bab II Pasal 2)
Fungsi – – Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
Tujuan Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Akhir Kata
Butir-butir kesimpulan tentang rumusan sejarah perkembangan rumusan tujuan pendidikan dalam tiga Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 dinamakan Sistem Pendidikan dan Pengajaran, sedang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebut sebagai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tidak disebutkan adanya fungsinya, sedang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 terdapat rumusan fungsi dan sekaligus tujuan pendidikan Nasional.
3. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 belum menyebutkan keseluruhan tujuan pendidikan yang seluruhnya sesuai dengan konsep “mencerdaskan kehidupan bangsa” atau konsep yang sesuai dengan konsep kecerdasan menurut menurut Howard Gardner, dengan delapan tipe kecerdasan ganda..
Depok, 25 Mei 2004.
Di update tanggal 2 Oktober 2014.

Daftar Pustaka:
Pembukaan UUD 1945;
Gardner, Howard. Frames of Mind: the Theory of Multiplle Intelligences. 1983.
*) S2 University of Houston.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

11 Komentar. Leave new

  • Karya bagus pak. Tks sdh berbagi ilmu. Ditunggu bukunya. Sukses pak Suparlan.

    Balas
  • orang “cerdas” tidak hanya pinter/ berpengetahuan tetapi juga mampu membedakan mana yang benar dan salah. Cerdas berdasar Pancasila berarti cerdas yang terarah pada kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan sehingga terhindar dari pemikiran yg menyimpang dari tujuan penciptaannya. Jadi saya setuju cerdas tetap berakhlak mulia.

    Balas
  • Bapak Suparlan,Justru yang menghambat kecerdasan bangsa adalah,beriman Bertakwa kepada tuhan yang maha esa,karena hal ini merupakan bahasa sihir,dengan begitu orang akan sibuk mempelajari dan ketakutan ke pada tuhan yang tidak jelas,pada pratiknya semua orang menjalankan agama islam kristen protestan dll yang berasal dari bangsa asing

    Balas
    • Bapak,apakah bapak sudah mempelajari buku multiple intelligence buah karya Howard Gardner? Kecerdasan memiliki 8 aspek, yang saling kait mengait. Kecerdasan yang saya maksudkan adalah bukan hanya intelektual, tetapi kecerdasan komprehensif. Trims.

      Balas
    • ORANGA CERDAS adalah orang yang menginginkan pengetahuan dari yang belum tau menjadi tau.
      so… dikemudian hari kita akan mengetahui sesuatu yang dianggap GHAIB di kehidupan yang ke-2 kalinya..

      Balas
    • Akhirnya saya harus melakukan klarifikasi. Karena menyampaikan informasi hukumnya merupakan salah satu kewajiban, tetapi membalasnya lebih dari wajib lagi. Anda mempunyai hak untuk mengatakan demikian. Orang lain berhak pula untuk menerima atau menolak pendapat Anda. Semua orang mempunyai lokasi tempat tinggalnya masing-masing dan boleh menyebutkan orang di luar dari lokasinya sebagai orang asing berdasarkan kaca matanya masing-masing. Kenyataan di dunia, kita tidak lahir sendirian, karena ada yang melahirkan, dan kalau ditelusuri sampai ke asalnya kita adalah ciptaan-Nya. Akhirnya, kita harus percaya tentang Sang Pencipta. Konsep ini boleh dipercaya atau tidak. Anda boleh percaya atau tidak. Itu hak Anda. Terima kasih.

      Balas
  • terima kasih pak sangat bermanfaat, paparannya tidak berbelit-belit.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts