ArtikelPendidikan

Satuan Mata Uang Tempo Dulu

156 views
16 Komentar

Pak Darmoyono, asal Jawa Tengah, dipanggil Pak Darmo, adalah salah seorang jamaah Masjid Al Mjahidin di Perumahan Taman Depok Permai. Beliau termasuk jamaah sepuh yang rajin shalat subuh. Beliau sering disebut sebagai sesepuh tiga zaman. Beliau mengaku  pernah mengalami hidup pada zaman Belanda, Jepang, kemerdekaan Indonesia.

Setiap selesai shalat subuh, beliau saya ajak jalan-jalan keliling kompleks perumahan. Dalam perjalanan keliling kompleks itu beliau banyak bercerita tentang sejarah tempo dulu, antara lain tentang mata uang. Beliau menjelaskan ada beberpa satuan mata uang tempo dulu, yakni mulai dari BIL, SEN, BENGGOL, KELIP, KETIP, PERAK, dan terakhir RINGGIT. Menarik juga cerita beliau ini. Sambil menjelaskan tentang satuan mata uang tempo dulu itu, beliau juga memberikan komentar tentang perbedaan keadaan perekonomian tempo dulu dengan Indonesia masa kini. Saya sebenarnya lebih suka menulis tentang masa depan ketimbang masa lalu. Tetapi, untuk menghormati cerita beliau yang menarik ini, maka bolehlah saya mencoba untuk menuliskannya.

Manusia Tiga Zaman

“Pada zaman Belanda, orangtua saya sudah bisa hidup dengan satu benggol”, katanya memulai cerita tentang nilai uang. “Ya, sama dengan rakyat kebanyakan zaman sekarang yang sudah bisa hidup dengan sepuluh ribu rupiah barangkali”, lanjutnya. Akhirnya beliau bercerita banyak tentang bermacam-macam uang tempo dulu. Cerita beliau kadang kala mampir ke substansi lain. Beliau juga menceritakan bahwa ketika pada zaman Belanda, beliau melihat sendiri ketika  pamannya ditembak mati oleh Belanda bersama dengan orang-orang kampung yang menentang Belanda. Katanya, mereka yang ditembak Belanda itu kemudian dikuburkan dalam satu lubang kubur. Ini cerita yang menggambarkan keganasan penjajah Belanda terhadap bangsa jajahannya. Penulis jadi ingat cerita pembataian lebih dari 300 orang rakyat Rawagede di daerah Karawang- Bekasi oleh serdadu Belanda pada tahun 1947. Kebiadaban serdadu Belanda inilah yang telah melahirkan puisi Chairil Anwar bertajuk “Karawang-Bekasi”. “Itulah contoh kegaganasan penjajah”, katanya dengan penuh semangat sempat lima.

Uang Tempo Dulu

“Satuan uang terkecil tempo dulu adalah SEN”, katanya. Sebenarnya, satuan uang SEN ini sebenarnya masih digunakan sampai saat ini. Kalau kita menuliskan uang Rp100,00 artinya uang itu utuh dengan jumlah seratus rupiah. Namun jika dituliskan jumlah uang Rp100,50, maka itu berarti uang itu berjumlah seratus rupiah lebih lima puluh sen. Orang Betawi menyebutnya seratus perak lebih lima puluh sen. Pada zaman Belanda, kita masih dapat membelanjakan uang satu SEN untuk membeli jajanan anak-anak. Bahkan setengah SEN disebut dengan BIL, masih dapat digunakan untuk membeli sesuatu.  Anak-anak yang berasal dari keluarga lebih mampu masih bangga menerima uang jajan sebesar dua setengah SEN, yang dikenal dengan BENGGOL. Satu BENGGOL artinya dua setengan SEN. Jika SEN dan BIL itu bentuk koin uangnya lebih kecil, maka BENGGOL lebih besar sedikit. Satuan uang BENGGOL ini berbentuk mata uang logam yang berlubang segi empat, yang pada waktu masih kecil, nenek sering menggunakannya untuk “kerokan” kalau sedang masuk angin. Itulah dia BENGGOL. Ada lagi satuan uang yang dikenal dengan KETIP, artinya sepuluh SEN. SEKETIP artinya sama dengan SEPULUH SEN, atau SEKETIP sama dengan EMPAT BENGGOL. Mengantongi unang satu KETIP pada zaman itu sudah lumayan gagah, karena kita sudah dapat membeli bermacam-macam jajanan. Konon kalau orang pada zaman Belanda sudah dapat hidup sehari. Sama dengan sekarang orang sudah dapat hidup sehari dengan uang sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Selanjutnya, SERATUS SEN dikenal dengan SATU PERAK atau sekarang dikenal dengan SATU RUPIAH. Itulah yang dikatakan orang Betawi dengan istilah SEPERAK, DUA PERAK, artinya adalah satu rupiah, dua rupiah. Selain itu ada lagi satuan uang yang dikenal dengan RINGGIT, yang nilainya sama dengan dua setengah rupiah. Satuan uang RINGGIT saat ini digunakan oleh Malaysia sebagai mata uangnya. Inilah satu lagi kelebihan Malaysia. Pasa saat zaman kemerdekaan, satu RINGGIT sama dengan dua setengah RUPIAH. Artinya nilai mata uang Malaysia saat Malaysia merdeka memang sudah lebih tinggi dua setengah kali dari mata uang RUPIAH. Saat ini kita mengetahui nilai RINGGIT sudah menjadi tiga ribuan RUPIAH.

Untuk mempermudah pemahaman kita tentang bermacam-macam satun mata uang tersebut, dapatlah dibuatkan satu tabel sebagai berikut:

Tabel 1: Jenis Mata Uang Tempo Dulu

No.

Jenis Satuan Mata Uang

Nilainya

1

BIL 0,5 SEN

2

SEN 2 BIL

3

BENGGOL, GOBANG 2,5 SEN

4

KELIP 5 SEN

5

KETIP 10 SEN, 4 BENGOL, 2 KELIP

6

STALEN 25 SEN, 10 BENGGOL, 5 KELIP, 2,5 KETIP

7

PERAK 100 SEN, 25 KELIP, 10 KETIP, 4 STALEN

8

RINGGIT 2,5 RUPIAH.

Itulah bermacam-macam jenis mata uang yang digunakan dalam zaman penjajahan Belanda tempo dulu. Semuanya dalam mata uang logam. Setelah memasuki masa kememerdekaan, mulai ada mata uang kertas untuk seratus sen, atau yang oleh orang Betawi dikenal dengan satu perak. Itulah sebabnya maka satu rupiah dalam mata uang kertas itu dikenal dengan satu perak juga, meskipun dibuat dalam mata uang kertas, dan bukan logam.

Uang Sebagai Ukuran Tingkat Kehidupan Ekonomi Masyarakat

Pak Darmoyono menceritakan bahwa anak-anak orang kebanyakan tempo dulu sudah merasa gagah ketika diberi uang jajan sebesar satu KETIP. Bagi orang Belanda, sudah tentu, uang sebesar itu tidaklah cukup untuk memberi makan seekor anjing herdernya, karena herder Belanda itu harus diberi makan daging dengan harga yang jauh lebih besar dari hanya sebesar satu KETIP. Inilah perbandingan nilai uang antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Belanda atau kelas masyarakat yang disebut “ndoro” atau kalangan bangsawan.

Sampai saat ini, jumlah nilai uang yang kita belanjakan untuk kehidupan sehari-hari masih tetap berbanding lurus dengan tingkat kehidupan ekonomi masyarakat. Para pengemis di jalan-jalan, masih sangat menghargai mata uang yang nilainya di bawah Rp1000,00 (seribu rupiah). Mereka mengumpulkan uang recehan lima puluh rupiah (Rp50,00), seratus rupiah (Rp100,00) untuk kehidupannya sehari-hari. Sementara para tukang parkir dan sekelasnya, mereka cukup lega jika memperoleh uang recehan seribu (Rp1.000,00) sampai dua ribu rupiah (Rp2.000,00). Kelas masyarakat yang lebih tinggi masih sering menggunakan mata uang kertas sebesar lima puluh ribu rupiah sampai dengan seratus ribu rupiah untuk berbelanja di pasar rakyat atau pasar tumpah, atau mulai berani masuk ke pasar swalayan dengan uang ratusan ribu rupiah. Itulah gambaran hubungan antara uang sebagai ukuran tingkat kehidupan ekonomi masyarakat, mulai dari zaman Belanda sampai dengan kapan pun.

Akhir Kata

Cerita Pak Darmoyono tentang satuan nilai uang tempo dulu ini dapat memberikan pelajaran bagi kita untuk menakar kehidupan kita, khususnya kehidupan dalam bidang ekonomi. Memang, uang bukan segala-galanya bagi kita. Namun, kata orang kita rela untuk P4 (pergi pagi pulang petang), bahkan dengan P7 (pergi pagi pulang petang penghasilan pas-pasan) karena UANG. Dengan bergurau orang mengatakan “ya kita memang harus mencari sesuap nasi, semangkuk berlian”. Heee.  Sekali lagi, uang memang bukan segala-galanya. Tetapi uang memang kita perlukan untuk memenuhi kebutuhan kita. Tetapi yang paling penting, uang yang kita cari setiap hari bukanlah hasil korupsi dan kolusi. Kata Tukul Arwana, uang yang kita cari itu haruslah hasil tetesan keringat kerja keras kita. Amin. Depok, 4/1/13.

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

16 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Popular Posts

Other Posts