ArtikelPendidikan

Tujuh Kunci Menuju Sekolah Sukses Menurut Ouchi

17 Komentar

Oleh Suparlan *)

No teacher, no education. No education, no social economic development
(Ho Chi Minh, Bapak Pendidikan Nasional Vietnam)

When the entire school community works together o support learning, children tend to succeed, not just in school but throughout their lives
(School Council Handbook, Ministry of Education and Training, Ontario, Canada)

Pengantar

Artikel ini ditulis dengan menggunakan referensi buku bertajuk “Making Schools Work” karya William G. Ouchi, seorang professor dari Sanford and Betty Sigoloff dalam bidang Corporate Renewal di Anderson Graduate School of Management Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Ouchi telah menulis buku yang sangat laris. Buku itu antara lain membahas teori dan praktik organisasi dan manajemen di sekolah. Sungguh, tujuh kunci menuju sekolah sukses menurut Ouchi perlu menjadi bahan introspeksi bagi kita semua, khususnya bagi pemangku kepentingan di sekolah, dan lebih khusus lagi bagi kepala sekolah.

Dalam bagian pertama bukunya, Ouchi menyatakan dengan tegas bahwa,

“There are three basic theories that we hear from education experts, schools officials, and press to explain the failure of our schools: first, the teachers aren’t any good, and they are the source of the failures; second, the students, especially minority students, just aren’t able or willing to learn; and third, we have to spend more money on our schools to improve them (hal. 8)

Bila diterjemahkan secara bebas, Ouchi menyatakan bahwa para ahli pendidikan, praktisi pendidikan, dan kalangan media massa telah menjelaskan bahwa kesalahan atau kekurangan sekolah-sekolah kita adalah karena tiga faktor utama, yakni guru yang tidak memiliki kemampuan, peserta dididk yang tidak memiliki kemauan belajar, dan rendahnya anggaran yang disediakan. Menanggapi pandangan tersebut, Ouchi menolak tegas. All three of these theories are wrong. Ketiga teori tersebut salah. Beliau menawarkan cara pandang baru dalam mencoba untuk memecahkan masalah pendidikan. Pikirkan ini, katanya lebih lanjut. Ouchi menawarkan pendekatan manajemen, Ketika satu bisnis sedang jatuh, pemilik perusahaan tidak pernah menyalahkan pelanggan. Juga tidak pernah menyalahkan pegawai yang bekerja di garis depan, atau juga tidak menyalahkan karena rendahnya anggaran. Jadi, yang salah adalah manajemennya. Tidak ada yang salah dengan gurunya. Tidak ada yang salah dengan peserta didiknya, dan juga tidak ada yang salah dengan anggarannya. Sekali lagi, yang salah adalah sistem manajemennya. Sampai di sini, penulis ingat pendapat James Gwee, pakar motivasi dari Academy of Singapore. Kalau mau membangun Indonesia, faktor apanya yang pertama perlu dibangun? Manusianya atau sistemnya. Katanya, tidak ada yang salah dengan manusianya. Juga tidak ada yang salah dengan sumber alamnya yang melimpah. Malah sangat melimpah. Yang yang harus dibangun pertama adalah sistemnya. Ketika orang-orang Indonesia berada di Singapura, mereka tertib mengikuti sistem yang telah bagus. Orang-orang Indonesia tidak merokok di sembarang tempat, dan sebagainya. Sebaliknya, ketika banyak orang dari Singapura pergi ke Glodok, dengan segera mereka juga akan mengikuti sistem yang berlaku di Glodok. Walhasil, yang penting adalah membangun sistemnya.

Production Function Theory

Terkait dengan teori production function theory sebagaimana dipercaya dalam dunia perusahaan, masukan instrumental dipahami sebagai komponen yang penting untuk meningkatkan kualitas produk perusahaannya. Masukan kasar (raw input) dan masukan instrumental (instrumental input) dipandang sebagai komponen yang paling dominan yang akan menjadi faktor penentu untuk meningkatkan kualitas produk. Hal yang sama juga terjadi dalam dunia pendidikan. Kurikulum, guru, dan fasiltias pendidikan dinilai menjadi faktor penentu dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Betapa telah banyak guru yang dilatih, telah sekian kali kurikulum diubah dan disempurnakan, dan telah sekian banyak sekolah dibangun, dan sekian banyak fasilitas pendidikan telah dibangun dan diadakan. Tetapi, kenyataannya kualitas pendidikan di negeri ini juga belum ada bayangan yang pasti dapat meningkat. Walhasil, mutu pendidikan di negeri ini konon masih terpuruk. Rupanya, kita harus mengalihkan fokus perhatian, bukan kepada masukan instrumental semata-mata, tetapi harus lebih memfokuskan pada proses pembelajaran dan manajemennya, sebagaimana ditawarkan oleh Ouchi dengan tujuh kunci sukses.

Tujuh Kunci Menuju Sukses

“School’s educational performance may be most directly affected by how the school is managed”. Dengan kata lain, kinerja pendidikan suatu sekolah secara langsung dipengaruhi oleh bagaimana sekolah itu dikelola. Tulis Ouchi dalam bukunya. Tujuh kunci menuju sukses menurut Ouchi sebenarnya tidak lain adalah penerapan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah, bukan penerapan MBS dengan setengah hati, yang menerapkan fungsi-fungsi manajemen tertentu, yang dianggap masih bisa menguntungkan birokrat pendidikan. Contohnya, kepala sekolah tidak sepenuhnya transparan kepada komite sekolah untuk urusan subsidi yang yang anggarannya berasal pemerintah. Alasannya, komite sekolah hanya dapat bertanggung jawab untuk urusan dana yang berasal dari masyarakat. Ini merupakan bentuk pemasungan peran dan fungsi komite sekolah yang dilakukan olah birokrat pendidikan. Tujuh kunci menuju sukses menurut Ouchi adalah sebagai berikut:

Kunci 1: every principal is entrepreneur (setiap kepala sekolah adalah wirausahawan)

Entrepreneur atau wirausaha merupakan lawan dari birokrat, yang setiap hari hanya asik duduk di singgasana kekuasaannya untuk menanti perintah dari atasan dan menunggu laporan dari bawahannya. Birokrat melakukan pekerjaan sesuai dengan petunjuk dari atas, meski petunjuk itu sendiri merugikan para pelanggan. Wirausaha melakukan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

Apa saja yang dilakukan oleh sang kepala sekolah yang wirausahawan? Dalam bukunya, Ouchi menghadirkan contoh seorang kepala sekolah bernama Dr. Cornelius, yang baru dua tahun menjadi kepala sekolah di Wesley School di negera bagian Houston. Disebutkan bahwa beliau termasuk dalam kategori seorang educational entrepreneur atau seorang wirausahawan pendidikan. Kepala sekolah ini mendengarkan setiap keluhan para pelanngannya. Kepala sekolah memimpin – bukan memaksa – dan menaruh harapan yang tinggi kepada guru, peserta didik, dan keluarganya. Beliau melakukan yang terbaik buat siswa, bukan hanya untuk mengikuti petunjuk yang diberikan kepadanya. Beliau melaksanakan tugasnya dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) menganalisis pelanggan, (2) merancang rencana yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan, (3) menyusun jadwal kegiatan sesuai dengan rencana tersebut, dan (4) memilih bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.

Dalam bukunya, Ouchi juga menjelaskan tentang sosok seorang kepala sekolah wirausahawan yang telah berhasil meningkatkan kualitas sekolah yang dikenal sebagai “the worst school in America” menjadi yang the best school. Nama sekolah itu adalah Goudy Elementary School. Kepala sekolah yang berhasil itu adalah Patrick Durkin (hal. 4). Karakteristik sosok kepala sekolah yang berhasil ini antara lain adalah: (1) tidak hanya mengikuti peraturan dari atasannya secara membabi buta, ia menjaga pusat perhatiannya kepada tujuan utama sekolahnya, yakni keberhasilan siswa; menurutnya, lebih mudah dan lebih baik untuk meminta maaf kepada atasannya setelah mengambil keputusan untuk sekolahnya, dibandingkan dengan cara meminta izian dahulu kepada atasan sebelum mengambil keputusan; (2) menaruh perhatian kepada keberhasilan siswa; (3) menaruh perhatian kepada peserta didik yang berasal dari keluarga yang kurang mampu; (4) mencintai sekolahnya; beliau mengetahui kondisi semua sudut yang ada di sekolahnya; beliau menyapa kepada semua gurunya dengan hangat; mengetahui sebagian besar nama-nama anak didiknya; sehingga membuat sekolahnya sebagai komunitas pembelajar (a community of learners), yang juga termasuk guru, peserta didik, dan keluarganya.

Kunci 2: every school control its own budget (setiap sekolah mengontrol anggarannya)

Soal uang biasanya akan menjadi faktor pemicu terjadinya saling curiga antara satu dengan yang lain, termasuk antara sekolah dengan pihak-pihak yang terkait. Masalah uang merupakan masalah yang sensitif yang dapat memicu terjadinya ketidakpercayaan antara orangtua dan masyarakat kepada sekolah. Pertanyaan tentang apakah fungsi manajemen keuangan juga termasuk yang di-MBS-kan? Tidak ada jawaban lain kecuali ya. Artinya, semua fungsi manajemen memang harus di-MBS-kan, yakni mulai dari perencanaannya, pelaksanaan, pengarahan, penganggaran, sampai dengan pelaporannya. Salah satu aspek yang krusial dalam manajemen adalah akuntabilitasnya. Ketika membuat proposal untuk memperoleh anggaran semua dapat dilaksanakan dengan baik. Juka ketiga anggaran itu telah diperolah, dan bahkan sampai dengan penggunaannya. Namun, ketika anggaran itu telah dilaksanakan, maka pertanggungjawabannya malah menjadi macet total aliyas tidak akuntabel. Proses penggunaan anggaran memang lebih mudah daripada mempertanggung-jawabkannya. Padahal, penggunaan anggaran secara terbuka akan menjadi kunci pembuka yang melahirkan kepercayaan kepada sekolah. Kalau sudah lahir kepercayaan, maka akan lahirlah kewibawaan yang diperoleh oleh sekolah tersebut.

Ada kutipan amat manis dan indah yang dapat dinukilkan dalam artikel ini untuk menggambarkan tentang betapa fair dan bersihnya proses penganggaran di sebuah sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah yang jujur:

At the end of the day, our principals believe the system is fair because their colleagues have wrestled this to the ground. And stayed in that room — weren’t allowed to come out — until they believe that it was fair. When people believe it is fair, parents believe it is fair, teachers believe it is fair and there are no hidden pockets of money. So your budgeting process is very public” (hal. 90).

Kutipan tersebut secara bebas dapat diterjemahkan sebagai berikut. Para guru tidak akan banyak cingcong, jika kepala sekolah telah menerapkan penyelenggaraan sekolah dengan sistem yang bersih. Jika masyarakat percaya bahwa sistem pengelolaan keuangan telah dilaksanakan dengan bersih, jika orangtua juga demikian, guru juga demikian, dan memang tidak ada uang yang dikelola dengan sembunyi-sembunyi, dalam arti tidak ada uang yang masuk kantong sendiri, maka sistem pengelolaan keuangan dapat dikatakan dapat dipertanggung-jawabkan secara akuntabel kepada publik.

Kunci 3: everyone is accountable for student performance and for budgets (setiap orang akuntabel terhadap kinerja peserta didik dan anggarannya)

Dalam pelaksanaan anggaran telah dinyatakan bahwa akuntabilitas menjadi salah satu aspek yang maha penting untuk dapat melahirkan kepercayaan kepada sekolah. Tetapi apakah soal akuntabilitas hanya berlaku dalam penggunaan anggaran pendidikan? Tidak! Pertanggunggugatan berlaku dalam semua pelaksanaan program dan keuangan, bahkan terhadap semua sentuhan yang diberikan kepada peserta didik oleh kepala sekolah dan gurunya di sekolah. Dinyatakan lebih lanjut bahwa:

“Accountability is as simple — and as difficult — as that. Sister Betty Smigla at St. Mark School in Chicago gets hugs every morning as her kids arrive as school. Her big smile and hearty energy are irresistible, but no one misses the fact that she is touch” (hal. 102).

Akuntabilitas adalah sesederhana — dan juga sesulit — itulah. Sister Betty Smigla di Sekolah St. Mark Chicago memperoleh pelukan hangat setiap pagi sebagaimana anak-anak didiknya tiba di sekolah. Senyumannya yang lebar dan energinya yang sepenuh hati yang demikian kuat, tetapi tak seorang pun yang kehilangan kenyataan bahwa beliau tak terpisahkan (dengan anak semua anak didiknya).

Akuntabilitas meliputi tiga bentuk, meliputi: (1) performance accountability atau akuntabilitas kinerja, (2) compliance (anticorruption) accountability atau akuntabilitas antikorupsi, and (3) political accountability atau akuntabilitas dari aspek politik (hal.102). Akuntabilitas kinerja meliputi beberapa hal: (1) hasil belajar siswa, (2) kinerja kepala sekolah, (3) kinerja staf tata usaha sekolah, (4) kinerja kepala sekolah, dan (5) kinerja para gurunya. Dengan demikian, tidak seorang pun yang akan bisa bersembunyi dari tuntutan akuntabilitas ini.

Akuntabilitas komplin merupakan satu bentuk akuntabilitas yang dewasa ini cukup mendapatkan sorotan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Untuk ini jangan sekali-kali sekolah terkena skandal yang memalukan gara-gara adanya pertanggunggugatan keuangan yang tidak jelas. Mengapa? Berpasang-pasang mata akan selalu mengamati dengan jeli jika terjadi penyalahgunaan uang.

Dalam era otonomi daerah, akuntabilitas politik kini menjadi sorotan yang tajam dari berbagai pihak. Janji-janji politik tentang pendidikan biasanya dapat mendongkrak perolehan suara calon cukup signifikan. Namun, kini rakyat telah cukup cerdas untuk membedakan mana janji-janji yang suci dan mana pula janji-janji yang palsu. Dalam hal ini, akuntabilitas politik akan menjadi salah satu tolok ukurnya.

Kunci 4: everyone delegates authority to those below  atau setiap orang mendelegasi-kan kewenangannya kepada bawahannya

Seorang pemimpin dalam bidang pendidikan harus dapat memimpin dan dipimpin. Bahkan, seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membangun proses regenerasi yang dapat menghasilkan pemimpin yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kualitas pemimpin periode sebelumnya. Dalam bukunya yang laris itu, Ouchi menyatakan sebagai berikut:

“The strong leader is not afraid of argument or a tough situation. The strong leader wants to hear all sides of an argument and has enough self-confidence to openly admit when she’s wrong on an issue. In a school, that translates into leadership that doesn’t hide from teachers of order the around but instead invites them to participate and delegates decision making to them” (hal. 125).

Secara bebas, kutipan tersebut menyatakan bahwa “pemimpin yang kuat adalah tidak takut dengan argumen atau situasi yang susah. Pemimpin yang kuat ingin mendengar tentang semua sisi alasan dan mempunyai percaya diri yang cukup untuk secara terbuka mengakui salah ketika benar-benar bersalah. Di dalam sebuah sekolah, kepercayaan itu diterjemahkan ke dalam kepemimpinan yang tidak lagi tersembunyi dari guru-guru yang berada di sekitar, kecuali mengundangnya untuk dapat berpartisipasi and mendelegasikan tentang pengambilan keputusan kepada bawahan. Atasan siap memberikan pendelegasian kepada bawahannya, dan bawahannya menerima tanggung jawab tersebut dengan penuh tanggung jawab. Dengan cara seperti itu setiap kita pegiat pendidikan adalah pemimpin yang siap dimintai pertanggungjawaban dan pertanggunggugatan tentang apa-apa yang kita pimpin.

Kunci 5: there is a burning focus on student achievement atau difokuskan kepada hasil belajar siswa

Tidak ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba tanpa rencana dan usaha. Demikian juga dengan hasil belajar siswa. Tidak ada rencana dan usaha yang berhasil dengan baik tanpa ada fokus dalam rencana dan pelaksanaannya. Fokus terhadap hasil belajar peserta didik yang dimaksud adalah nilai rerata yang diperoleh peserta didik dalam ujian nasional. Keberhasilan akademis memang menjadi fokus kegiatan satuan pendidikan dan semua pemangku kepentingan di sekolah itu. Namun demikian, fokus keberhasilan dalam aspek nonakademis hendaknya juga menjadi perhatian bagi semua pihak. Dalam buku itu Ouchi juga menggambarkan dua dunia yang yang masing-masing harus mendapatkan perhatian.

”It gives students the best of two worlds: they can have the specialized programs like dance, jazz band, orchestra, football, swim team, and turbocharged classes in math, English, and other academics subjects” (hal. 149)

Untuk selalu terfokus kepada hasil belajar peserta didik tersebut, sekolah harus memiliki data yang lengkap tentang semua prestasi peserta didiknya dalam berbagai bidang. Bahkan, prestasi itu pun biasanya selalu dibandingkan prestasi peserta didik dari satuan pendidikan yang lain. Strategi ini dikenal dengan sebutan benchmarking, baik secara intern maupun secara ekstern. Dalam hal ini, sekolah perlu memberikan reward (penghargaan dan ganjaran) bagi peserta didik — bahkan gurunya — yang telah berhasil mencapai prestasi yang membanggakan bagi peserta didik setiap tahun.

Kunci 6: every schools is a community of learners atau setiak sekolah merupakan komunitas pembelajar

Masyarakat sesungguhnya merupakan pemilik sejati lembaga pendidikan atau satuan pendidikan. Dengan demikian, keberadaan lembaga pendidikan sekolah menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan masyarakatnya. Dalam hal ini orangtua siswa menjadi bagian dari masyarakat. Itulah sebabnya kemudian lembaga pendidikan sekolah ini harus memerankan diri sebagai satu institusi masyarakat belajar (learning community). Untuk menjadi institusi seperti itu, maka sekolah perlu melakukan tiga langkah sebagai berikut:

Pertama, mengadakan identifikasi kebutuhan dan keinginan warga masyarakat dan keluarga peserta didik. Dalam buku ini, ditegaskan satu konsep hubungan sinergis antara sekolah dengan masyarakat sebagai berikut.

”If you want a successful school, you have to first analyze the situation and find out what people want, and then you have to have courage and the persistence to move all of the obstacles out of the way. The key, though, is that the parents stuck to their guns, and the principal and the teachers took them seriously. What resulted was not a conflict but a creative struggle that produced and entirely new path for all” (hal. 161).

“Jika Anda menginginkan satu sekolah yang sukses, pertama kali yang harus Anda lakukan adalah menganalisis situasi dan menemukan keinginan masyarakat, dan kemudian Anda harus memiliki keteguhan hati dan ketekunan untuk mengatasi berbagai hambatan untuk keluar dari masalah itu. Kuncinya, lebih dahulu, adalah orangtua bertahan pada pendiriannya, dan kepala sekolah dan para guru mengajak secara sungguh-sungguh. Apa yang dihasilkan adalah bukan konflik tetapi satu perjuangan kreatif yang menghasilkan dan keseluruhannya sebagai jalan baru untuk semua”.

Dengan demikian, apa yang dilakukan sekolah bukanlah kemauan sekolah secara sepihak, apalagi kemauan kepala sekolah secara otoriter, melainkan kemauan bersama dengan orangtua dan masyarakat.

Kedua, mengorganisasikan unit-unit organisasi di lingkungan sekolah dan mampu bekerjasama dengan masyarakat. Di sekolah ini, semua siswa merasa sebagai rumahnya sendiri, meski mereka berasal dari unit-unit yang berbeda-beda, misalnya untuk Sekolah Menengah Kejuruan, mereka ada yang berasal dari jurusan teknologi informasi, jurusan mesin, otomotif, dan jurusan lainnya. Di Sekolah Menengah Atas, mereka berasal dari jurusan IPA, IPS, atau juga Bahasa. Demikian juga keberadaan unit-unit penunjang, seperti perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya. Semua unit melaksanakan tugasnya masing-masing untuk mendukung pencapaian visi dan misi sekolah.

Ketiga, membangun satu komunitas guru yang melaksanakan fungsinya bukan saja sebagai guru tetapi juga pendidik. The most important thing of all — how the teachers teach (hal. 169). Mereka mengajar dengan menggunakan paradigma baru pembelajaran. Problem-based learning (PBL), Student Active Learning (SAL), Joyful Active Learning (JAL), atau juga Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM). Penedekatan pembelajaran tersebut harus diakrabi oleh para pendidik di sekolahnya, dan berusaha untuk mengembangkannya.

Dengan motivasi yang diberikan oleh kepala sekolah dan pembinaan dan motivasi yang secara rutin dilakukan oleh para pengawas sekolah dan pejabat dinas pendidikan, para guru akan memiliki kompetensi yang memadai tentang bagaimana menyusun KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus disiapkan setiap tahun pelajaran.

Kunci 7: families have real choices among a variety of unique schools atau keluarga mempunyai pilihan nyata terhadap sekolah-sekolah yang memiliki keunikan yang beraneka ragam.

Semua kabupatan/kota kini telah diarahkan agar mulai mengembangkan model-model sekolah, mulai dari yang berstandar internasional sampai dengan yang berstandar lokal. Sebagai contoh, Sekolah berstandar internasional (SBI) — yang karena satu dan lain hal dipaksa hadir —, mampu menampung anak-anak berbakat, baik anak-anak yang berasal dari keluarga mampu maupun yang tidak mampu. Sekolah ini mementingkan kualitas akademis. Sudah tentu, perlu mengembangkan model sekolah yang unik yang mementikan kualitas nonakademis. Ada sekolah standar nasional (SSN) dan sekolah swasta yang kualitasnya memenuhi standar nasional. Ada sekolah yang sepenuhnya didanai dari anggaran pemerintah untuk menampung anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Di sekolah ini siswa seharusnya memang tidak akan dipungut biaya apa pun, karena sekolah ini dibangun sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam rangka pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.

Dengan kepelbagaian jenis layanan pendidikan tersebut, diharapkan keluarga akan dapat secara leluasa untuk menentukan pilihan sekolah sesuai dengan potensi peserta didik dan kemampuan sosial ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, sukses tidaknya sekolah di satu kabupaten/kota memberikan kemudahan keluarga untuk memilih sekolah yang mana yang dinilai sesuai dan terbaik untuk anak-anaknya.

Akhir Kata

Keputusan untuk menjadi sekolah yang sukses atau sekolah yang gagal terletak pada banyak pihak. Semua pemangku kepentingan pendidikan (educational stakeholders) akan menjadi komponen yang paling menentukan kesuksesan sekolah. Dua kata kunci menjadi faktor utamanya, yakni memiliki kemauan dan kemampuan untuk berubah, mencoba menerapkan tujuh kunci keberhasilan tersebut. Insyaallah.

*) Website: www.suparlan.com; E-mail: me [at] suparlan [dot] com.

Depok, 8 September 2008

Related Articles

Tak ditemukan hasil apapun.

17 Komentar. Leave new

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.